Oleh: Jumardi Putra*
Konstelasi politik Indonesia kiwari kian
memanas seiring proses kampanye partai politik dimulai sejak 12 Juli
2008 hingga 5 April 2009. Macam-macam
slogan, seperti Rakyat Bersatulah! Ekonomi Kerakyatan! Menang Kalah Tak Jadi
Soal! menjadi alasan nomor wahid bagi mereka sehingga bertungkus-lumus merebut kursi kekuasaan baik pemilihan calon legislatif maupun presiden.
Bursa calon presiden saat ini masih dihiasi oleh
wajah-wajah lama. Wajah yang sebenarnya tidak lagi meyakinkan membawa perubahan
di negeri ini, tetapi tetap saja melalui kemasan media secara sistematis lagi
massif baik elektronik maupun cetak, mereka seolah-olah begitu mengagumkan laiknya aktor film ternama.
Fenomena ini menandai keruwetan perilaku politik
manusia Indonesia, karena masyarakat dibuat bingung
untuk membedakan mana isi dan mana kemasan. Saat yang sama, kehadiran puluhan
partai membuat samar. Sedangkan barang yang samar adalah barang yang tak boleh
untuk dipilih, apalagi dimiliki, sebelum keraguan benar-benar pudar. Secara teoritis keberadaan partai politik
adalah sebuah institusi yang esensial di dalam demokrasi.
34 partai yang berlaga pada putaran pemiliham
umum kali ini patut dicermati dengan penuh kehati-hatian oleh seluruh elemen
masyarakat. Banyaknya partai seringkali menampakkan wajah yang ambigu. Di satu
sisi, banyak partai dinilai sebagai ekspresi dari demokrasi. Sementara
menjamurnya partai tidak diikuti dengan peningkatan kesadaran politik rakyat.
Hal itu terbukti dari laporan Lembaga Survei Indonesia(LSI) yang menyebutkan
65% responden menyatakan bahwa sikap dan perbuatan partai politik selama ini
tidak mewakili kepentingan rakyat.
Gairah masyarakat menyambut pemilu tidaklah
seperti tahun 1999 dan 2004, bahkan ada indikasi cukup kuat bagi kebangkitan
kaum golongan putih (golput) pada pesta demokrasi tahun 2009 mendatang. Faktornya banyak, antara lain puluhan parpol
tidak bertarung berdasarkan platform-bagaimana membawa republik ini menjadi
negara yang bermartabat, adil, makmur, sentosa, memosisikan kedaulatan rakyat sebagai pijakan dalam melahirkan setiap
kebijakan.
Selain itu, keberadaan politikus yang tampil di
partai baru sudah jelas jejak petualangannya. Mereka umumnya larut dalam
praktek korup sehingga gagal mewujudkan cita-cita reformasi. Maka, hasilnya
adalah kehidupan demokrasi yang palsu yang hanya bermanfaat bagi pembusukan birokrasi
dan penyelundupan kekayaan bagi para pejabat.
Dalam kondisi tersebut, meminjam istilah Arbi
Sanit, menjamurnya partai politik saat ini adalah pertanda terjadinya proses
minimalisasi demokrasi. Tidak salah kiranya muncul anggapan yang berkembang di
masyarakat bahwa semakin banyak partai semakin banyak pula (kemungkinan)
terjadinya tindakan pengkhianatan.
Namun demikian, apa pun yang terjadi di balik
buramnya kerja-kerja partai politik bagi perbaikan negeri ini, waktu terus
berjalan, dan sembilan bulan tetaplah momen strategis bagi tiap-tiap partai
untuk kembali marapatkan barisan dan mengencangkan ikat pinggang, dan bertarung
merebut kepercayaan seluruh warga Indonesia.
Terihat berbagai cara telah, sedang, dan akan dilakukan. Mulai dari
kampanye tertutup seperti yang diatur oleh Undang-undang Pemilihan Umum hingga
secara terbuka. Belum lagi proses Pilkada di beberapa daerah diyakini juga
menjadi lahan strategis untuk melakukan pendekatan-pendekatan politik dalam
menyongsong puncak pesta demokrasi tahun 2009 mendatang.
Karena itu, diperlukan inisiatif dan tekanan
pihak lain seperti kaum intelektual, pers, mahasiswa, LSM dan sebagainya,
untuk menyebarkan virus kritisisme terhadap seluruh komponen masyarakat dalam
menganalisa setiap tingkah laku partai dan calon-calon yang maju pada putaran
Pemilu kali ini.
Relevan kita merenungi apa yang dikatakan budayawan Radar Panca Dahana yaitu mengapa demokrasi sekadar menjadi dekorasi,
menjadi alat pemuas dahaga kekuasaan, bukan sebagai mekanisme pengabdian dan
pengadaban negeri? Satu upaya untuk memperluhur derajat kita sebagai bangsa dan
mempertinggi kualitas kita sebagai manusia.
*Ditulis tahun 2008.
0 Komentar