Bu Kartinem |
Oleh: Jumardi Putra
Laman dipenuhi sampah. Bangku dan meja bertumpuk di bucu warung. Situasi demikian berkebalikan dengan hari biasanya. Memang, sejak jalan yang menghubungkan antara Desa Sapen dengan gedung belakang Fakultas Syari’ah dan Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga ditutup seng rapat-rapat, membuat akses jalan bagi mahasiswa ke UIN terhambat. Sementara tak jauh dari pintu tersebut terdapat beberapa warung yang saban hari dipadati mahasiswa ikut terkena imbasnya. Mendadak sepi. Salah satunya warung milik bu Kartinem, sosok perempuan yang menjajakan nasi ketupat dan lontong.
Warung milik Ibu kelahiran 14 September 1961 di Wonosari ini nyatanya sudah dua minggu tutup. Rutinitas yang saban hari dilakukannya tak terlihat lagi. “Sejak pintu ditutup pengunjung jadi sepi. Terpaksa saya tutup,” ujar Kartinem.
Profesi sebagai pedagang nasi ketupat dan lontong digeluti Bu Kartinem sejak lima tahun terakhir. Berawal dari berjualan nasi kuning, kemudian buka angkringan, lalu warung lesehan dan akhirnya ia berjualan di barat kampus UIN Sunan Kalijaga.
“Pertama kali jualan menjual nasi kuning saya menjajakan dari kos ke kos, dan untuk yang terkahir ini saya buka warung di sebelah barat UIN dekat pintu gerbang Fakultas Syariah dan Tarbiyah dengan harapan bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga,” ungkap Kartinem.
Sebelum muncul kebijakan pintu itu ditutup, mahasiswa umumnya mampir makan dan minum di warung saya dan teman lainnya. Warung Kartinem tergolong ramai pengunjung, di samping karena harganya murah bagi saku mahasiswa UIN, juga karena makanannya dirasa enak. Bu Kartinem mengakui setiap hari bisa mengkantongi keuntungan sekitar Rp.250.000,- dan baginya itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Sejak kepergian suaminya, Jumadi, ke Lampung menjadi buruh supir truk, Bu Kartinem harus berjuang sendiri mencukupi kebutuhan keluarga. “Anak saya empat, yang pertama belum dapat kerja, yang kedua bekerja sebagai cleaning service, sedangkan yang ketiga dan keempat masih duduk di bangku Sekolah Dasar,” ujarnya kepada SLiLiT ARENA (25/11/07) saat ditemui di rumahnya yang beralamatkan di Papringan Jalan Ori I no 15 A.
Memang berat bagi Kartinem, di samping harus menjalankan roda keluarga, ia juga menyekolahkan dua anaknya yang masih kecil. Apalagi sekarang ketika pintu gerbang sebelah barat yang menghubungkan kampus dengan Desa Sapen ditutup rapat, membuat perekonomian Kartinem lumpuh. “Selama ini saya hanya berharap pada mahasiswa yang melewati pintu itu dan singgah di warung saya, tetapi saat ini tidak lagi demikian,” imbuh Kartinem dengan suara pelan.
Dalam situasi pelik itu, kebingungan menyergap Kartinem, lantaran harus membayar sewa warung sejumlah Rp 1,5 juta pertahun. “Saya bingung mas, dapat uang dari mana?” keluhnya.
Pernah Kartinem memaksakan berjualan meskipun pintu sudah ditutup. Alih-alih untung, ia malah menderita kerugian. Karena pada waktu pintu masih terbuka dan akses mahasiswa lancar, Kartinem bisa menjual nasi lima kilo dan 40-50 buah ketupat saban harinya. “Banyak ruginya dari pada untungnya, la wong dapat Rp.70.000,- saja itu susah sekali makanya lebih baik tutup saja dari pada rugi melulu,” lanjut Kartinem.
Sikap kampus yang menutup pagar pintu Barat tidak hanya merugikan Kartinem, warga Desa Sapen juga merasakan hal yang sama. Warga pun memasang spanduk bertuliskan “PINTU DITUTUP RAPAT, WARGA JADI RIBET, MAHASISWA MUMET, REJEKI MAMPET” tepat di pintu gerbang yang ditutup oleh pihak kampus.
Tidak hanya itu, warga Sapen juga mengadakan aksi tanda tangan seluruh warga agar menolak kebijakan penutupan pintu tersebut, karena bagi warga, itu juga merupakan jalan umum dan warga berhak melewatinya setiap hari. Tanda tangan yang dikumpulkan oleh warga Sapen tersebut pernah dibawa oleh Kartinem dan kawan-kawannya kepada pihak kampus, tetapi pihak kampus hanya menyuruh Kartinem menunggu. “Tunggu dua bulan setengah lagi,” ungkap Kartinem dengan penuh kekecewaan sembari menirukan perkataan pihak kampus.
“Sekarang saya bingung, Saya harus bagaimana lagi. Waktu dua bulan berjalan ini bukanlah sebentar, karena ia harus menyekolahkan anak dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Di mana lagi harus mencari uang, kalau engggak buka warung,” kilahnya dengan raut wajah bingung.
Kartinem sebenarnya tidak habis pikir mengenai alasan ditutupnya pintu gerbang tersebut. Selama ini alasannya hanyalah keamanan dan sering ada barang yang hilang. “Kalau keamanan yang dipersoalkan, untuk apa ada satpam? bukannya jalan untuk mahasiswa dan kami yang berjualan di sini menjadi tumbal,” cetusnya.
Sebenarnya, banyak potret pedagang senasib dengan Kartinem, tengok saja Mbah Sukir, Pak Har sang penjual angkringan, dan masih ada para pedagang lainnya yang menggantungkan jualannya kepada mahasiswa UIN. Namun kenapa UIN selalu memupuskan harapan mereka semua. Sirna ditelan kemegahan bangunan UIN yang semakin tidak ramah dengan masyarakat sekitar.
Terhadap kasus penutupan pintu gerbang Barat ini, Kartinem dan kawan-kawannya hanya bisa menunggu dan berharap kepada pihak UIN agar secepatnya membuka kembali pintu gerbang tersebut, karena hanya dengan begitu, terbukalah mata pencaharian mereka.
*Tulisan ini sudah dipublikasikan di Newsletter Slilit LPM Arena, edisi november 2007.
0 Komentar