Bung Rampai Puisi dan Cerpen TSI-IV Ternate |
Oleh:
Jumardi Putra*
Suguhan
Kiai Kanjeng Yogyakarta, pembacaan puisi oleh Happy Salma dan pembacaan cerpen
dan puisi oleh beberapa sastrawan Indonesia, menandai dimulainya perhelatan
Temu Sastrawan Indonesia (TSI) ke-4 yang berlangsung pada tanggal 24-29 Oktober
di lapangan terbuka Moloku Kie Raha-sebutan Maluku Utara, Ternate.
Sehari
sebelum pembukaan TSI, Kesultanan Ternate memberi gelar kehormatan kepada
budayawan Emha Ainun Najib, kerap disapa Cak Nun, dengan gelar “Ngai Ma
Dodera”. Gelar ini baru pertama kali diberikan oleh Sultan Ternate H. Mudaffar
Sjah.
Tidak
kurang 130 sastrawan Indonesia hadir dalam acara tahunan ini, di antaranya
Afrizal Malna (Jakarta), Acep Zamzam Noor (Tasikmalaya), Joni Ariadinata
(Yogyakarta), Agus R. Sardjono (Jakarta), Arif Bagus Prasetyo (Bali), Benny
Arnas (Palembang), Bandung Mawardi (Surakarta), Ahmad David Kholilurrahman
(Jambi), Arter Penther Olii (Sulawesi Utara), Ishack Sonlay (NTT), Sofyan Daud
(Ternate), Ni Made Purnamasari (Bali), dan Raisa Kamila (Aceh).
Dino
Umahuk, selaku panitia, mengatakan TSI-4 kali ini menerbitkan kumpulan esai,
cerpen, dan puisi. Selain itu, panitia memfasilitasi para peserta membacakan
karyanya di tempat-tempat umum, seperti taman kota, mal, benteng, pantai, dan
lain-lain. Selanjutnya pelatihan menulis puisi, cerpen, dan esei bagi para
siswa SMA sederajat.
Kegiatan
utama TSI-IV diskusi sastra tentang fenomena mutaakhir kesusasteraan Indonesia.
Diskusi tersebut dibagi ke dalam empat tema besar, yakni Estetika Sastra
Indonesia Abad 21 dengan pembicara Manneke Budiman dan Afrizal Malna. Komitmen
Sosial dalam Sastra Indonesia bersama Eka Kurniawan dan Hilmar Farid.
Pengembangan Komunitas Sastra dengan pembicara Firman Venayaksa, Sofyan Daud,
Bandung Mawardi, dan Azhari Aiyub, serta Telaah Karya Sastra Dekade Terakhir
oleh Bramantio.
Lain
hanya Afrizal Malna. Ia menelisik sastra Indonesia ketika berhadapan dengan
sejarah, dalam hal ini dinamika Orde Baru selama lebih dari tiga dasawarsa.
Bagi Afrizal, abad 21 berciri mengusung estetika pembelahan dan pengembaran
dari epedemi sejarah. Maksudnya, ketika sejarah resmi dibangun semata-mata
bukan hanya lewat fakta tetapi juga fiksi, maka manusia di dalamnya membelah
dirinya ke dalam dua sosok, yang bisa bertolak belakang atau saling melengkapi
dalam mengarungi sejarah itu sendiri (Baca Bunga Rampai Esai Telaah Sastra
Mutaakhir, Risalah dari Ternate,2011).
Diskusi
kian menarik saat bincang-bincang Komunitas Sastra di Indonesia. Tersebab
setiap daerah memiliki kekhasan masing-masing karena sesuai latar sosial budaya
masyarakatnya. Akan tetapi, yang menjadi catatan dalam diskusi tersebut adalah,
manakala komunitas sastra tidak lagi otonom, melainkan menjadi panjang tangan
bagi kepentingan politik segelintir orang, demi tujuan tertentu.
Karena
itu, gerakan komunitas sastra yang mandiri menjadi sebuah keniscayaan, agar
kesusasteraan tidak dikotori oleh kepentingan politik. Hal itu ditegaskan oleh
Penyair Afrizal Malna, bahwa komunitas yang mandiri adalah komunitas yang akan
melahirkan gagasan brilian tentang kesusasteraan. Namun, lanjutnya, jika
komunitas sastra telah berselingkuh dengan kepentingan politik, maka komunitas
tersebut menjadi noktah hitam bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia kini
dan ke depannya.
Joko
Pinurbo, salah seorang kurator puisi mengatakan, pada TSI kali ini, banyak
nama-nama baru yang menjanjikan bagi perkembangan puisi Indonesia. Karya penyair
pun variatif dan memperlihatkan kekuatan dalam puisi yang mereka kirimkan.
Sementara kurator bidang cerpen, Linda Christanty mengatakan hal yang sama.
Secara
keseluruhan, Dewan Kurator terbagi atas tiga genre, yaitu untuk genre esai yang
dikuratori oleh Nukila Amal, Zen Hae, dan Jamal D Rahman. Untuk genre cerpen ditugasi kepada Tarmizi
Rumahitam, Triyanto Triwikoromo, Sihar Ramses Simatupang, dan Linda Christanty.
Sedangkan untuk puisi, kuratornya adalah Isbedy Setiawan, D Kemalawati, Joko
Pinurbo, dan Rudi Fofid.
Tidak
terasa, hampir sepekan di Ternate, membuat para sastrawan muda kian optimis.
TSI bermakna positif bagi perkembangan kesusasteraan tanah air. Karena di
samping mendiskusikan hal-hal strategis soal sastra, peserta juga bisa belajar
segala hal yang berkaitan dengan fenomena tumbuhkembangnya komunitas sastra di
beberapa daerah di Indonesia.
Dengan
demikian, TSI yang pertama kali diadakan di Jambi, kemudian disusul Bangka
Belitung, berikutnya Tanjung Pinang, dan saat ini Ternate, merupakan mata
rantai yang terus menerus mempercakapkan kesusasteraan Indonesia mutakhir,
terutama soal minusnya kritik (telaah) sastra Indonesia.
*Tulisan
ini pertama kali terbit di koran Tribun Jambi, 1 November 2011.
0 Komentar