Buku Puisi Karya Jumardi Putra |
“…disini, negeri
beranak sungai, angin muson adalah biduk yang lihai menjemput dan memulangkan
kerinduan. Maka, datanglah!” (hal.7)
Penyair adalah saksi hidup dialektika waktu. Jumardi Putra
adalah penyair muda yang memiliki kesadaran kuat akan hal itu. Jumardi dengan
kesadaran penuh, berusaha menceburkan diri dalam pergulatan dialektika ini,
tentang bagaimana memahami perasaanya sendiri dalam lokus-lokus ke-Jambi-an.
Unsur subjektivitas ini adalah suatu sikap yang memihak dan dipengaruhi oleh
pendapat pribadi serta nilai-nilai yang melingkupinya. Dialektika dalam proses
interpretasi. Sungguh tepat, bila C.W Watson, Emeritus Professor University of
Kent, United Kingdom, dalam Endorsement buku ini, mengatakan bahwa penulis
mampu mengungkapkan hasil renungannya terhadap sejarah dalam bentuk keindahan
dan langsung memikat hati pembaca.
Jumardi telah menelusuri suatu proses yang panjang dalam
sebuah pencahariannya, sehingga ia menemukan sebagai apa yang disebut realitas
puisi. Ia kian semakin sadar akan kemampuannya menangkap dan berpegang teguh
pada realitas ke-Jambi-an nya, sebagaimana terlihat dalam sajak “Kampung Ini
Tak Menarik Lagi.” (hal.36) dan sajak “Riwayat Pencarian” (hal.37).
Sejarah, dalam mengungkapkan faktanya membutuhkan
interpretasi. Interpretasi melibatkan subyek. Dalam subjektivisme, dimana objek
tidak lagi dipandang sebagaimana seharusnya, tetapi dipandang sebagai kreasi
dan konstruksi akal budi. Subjektif diperbolehkan selama tidak mengandung
subjektivistik yang diserahkan kepada kesewenang-wenangan subjek.
Konsekuensinya tidak lagi real sebagai objek. Jumardi seolah-olah mengalami
sebuah perjalanan bolak-balik antar dua kutub: subjektivitas translokal dan
objektivitas waktu, ini terekam jelas dalam sajak “Di Jambi, Apalagi yang Kau
Cari?”(hal.9) dan di sajak “Tak Hilang Melayu Jambi”(hal. 10).
Penulis buku ini bukan hanya mencatat namun berusaha
memberikan makna pada sejarah, tradisi dan kearifan lokal yang sekian lama
diabaikan, terkubur dan hilang. Bahkan dengan sengaja dihancurkan dan
dihilangkan demi kepentingan pragmatis manusia modern, seperti dalam sajak
“Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir” (hal.69)
Kumpulan puisi “Ziarah Batanghari” ini merupakan gambaran
fotogenik dari kesan inderawi yang jernih, tajam dan lengkap. Penulis mampu
menulis dengan baik, agar pembaca dapat terlibat penuh dalam fanorama puitik
yang dihadapinya. Itulah pentingnya metafora, kiasan dan sejumlah ungkapan
dalam diksi pilihan dalam menyampaikan gagasan puitik.
Buku ini sangat bergizi. Buku ini juga sebaiknya dibaca dua
atau tiga kali seminggu. Pemakaian dan pilihan kata-kata yang sangat peka serta
halus dalam kumpulan puisi ini memberi kenikmatan tersendiri bagi pembaca.
sehingga pembaca mau membacanya berulang-ulang.
Akhir kata, saya teringat potongan pendek puisi yang pernah
ditulis sastrawan besar Radhar Panca Dahana, dalam bait-baitnya: “Maka,
berkatalah. Bukan untuk mengerti tapi untuk menjadi. Susunlah kata-kata hingga
ia menjadi hidup yang berwaktu dan bercinta. Susunlah ia jadi puisi, sehingga
ia memanusiakan kamu, sebagaimana sejarah waktu ada pada mu, sejarah cinta
membentukmu”.
Selamat membaca!
*Ulasan buku di atas ditulis oleh Syafriansyah Viola. Tulisan
ini terbit pertama kali di kompasiana: https://www.kompasiana.com/syafriansah_viola/5529906cf17e61ad05d6244c/romansa-batanghari-sebuah-reinkarnasi-kerinduan
*Identitas buku: Judul buku : Ziarah Batanghari. Penulis :
Jumardi Putra. Penerbit : Ayyana, Jogjakarta . Tanggal terbit: September, 2013.
Jumlah halaman: xxviii+82 hal.
0 Komentar