ilustrasi |
Oleh: Jumardi Putra*
“Banyak orang yang cerdas! Banyak orang yang pandai!
Tapi kecerdasan dan kepandaiannya
itu hanya
Diperuntukkan untuk tujuan yang
keji-keji belaka.
Itu banyak terjadi, dan engkau
tak boleh memasukkan dirimu
Ke dalam golongan orang yang
seperti itu”. (Pramoedya
Ananta Toer).
Usai menghadiri acara sukuran wisuda kawan-kawan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, penulis tercenung mengingat dua komponen yang saling menopang terciptanya tatanan nilai kehidupan (ekonomi, sosial, politik budaya dan pendidikan) yang lebih baik yakni sarjana dan lembaga pendidikan.
Sarjana dalam sejarah manusia adalah masa terbukanya tabir pencerahan di tengah karut marutnya realitas sosial. Sarjana yang menghadirkan dirinya sebagai sosok manusia kritis-praksis, seharusnya selalu tampil di garda terdepan sekaligus menjadi pencetus ide bernas di tengah kondisi bangsa Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja.
Namun, sejarah dalam perkembangannya telah mengabarkan bahwa sarjana yang dilahirkan dari rahim lembaga Perguruan Tinggi Indonesia saat ini justru menampakkan aura kesedihan yang berkepanjangan. Sarjana atau intelektual tidak lagi memosisikan diri sebagai transformator kesadaran sosial baru dan menjadi artikulator bagi masyarakatnya, tetapi justru sebaliknya tidak jarang keberadaan mereka menjadi penjilat dan penindas baru saat berkuasa.
Hal itu menjadi bukti bahwa pendidikan saat ini telah memisahkan diri dari kehidupan yang sesungguhnya; pendidikan tidak memberi harapan dan perubahan untuk masa depan; pendidikan tidak langsung berbaur dengan kehidupan; pendidikan menjadikan seseorang terasing dari lingkungannya. Atau pendidikan hanya mampu membangun rumah di atas awan. Jeritan, tangisan, bahkan teriakan lantang dari masyarakat miskin tidak lagi terdengar.
Pendidikan mesti kembali memosisikan diri dengan kesiapan seluruh perangkatnya untuk melahirkan individu-individu yang merdeka, matang dan bertanggung jawab terhadap realitas sosial di sekitarnya. Saya teringat ungkapan apik dari Seneca, seorang filsuf dan pujangga Romawi yaitu “Non Scholae, sed Vitae Discimus” (belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup). Puncaknya, investasi jangka panjang yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk mencapai jenjang kesarjanaan, demi meraih masa depan yang cerah adalah sebuah harapan yang sangat beralasan.
Bertolak dari hal itu, lembaga pendidikan diharapkan mampu menghadirkankan sarjana organik. Artinya, setelah bergelut dengan banyak teori dan metode, tiba saatnya mereka kembali kepada mereka yang selama ini tidak pernah merasakan kenikmatan hidup di bumi Ibu pertiwi, serta kembali dengan konsisten menafsirkan sekaligus memberi makna terhadap hidup ini serta memberikan gagasan bagaimana cara memandang dunia.
Demikian itu menjadi pekerjaan rumah bagi semua lembaga pendidikan saat ini bahwa realitas
sosial adalah ijazah yang sebenarnya untuk dimiliki para sarjana. Bukan semata
lembaran kertas yang berlabelkan nama sebuah lembaga serta tanda tangan pejabat berjubel gelar, yang sebenarnya hanya menjadi tabir gelap bagi
pembangunan karakter serta sikap kejujuran dalam menilai kapabelitas serta
responsibilitas yang terdapat dalam diri kita masing-masing sehingga bisa berkontribusi
terhadap pembangunan di Republik Indonesia.
Akhirnya, ungkapan Pramoedya di awal tulisan merupakan refleksi paling mendalam tentang pendidikan dalam arti yang sesungguhnya yakni pendidikan yang tidak melahirkan manusia-manusia cerdas atau pandai yang bertujuan keji.
*Ditulis 3 Februari 2009.
0 Komentar