alm. Bung Akmal Yude (2007) |
Oleh: Jumardi Putra*
Gawai saya bergetar tanpa nada dering. “Akmal Yude tutup usia. Kita kehilangan salah satu pejuang KMPD,” demikian isi pesan datang dari Yusri El-Kribo, sahabat sepergerakan (09/11/2007).
Setelah melewati 17 hari kepergian tanpa ada kabar, bayang-bayang optimisme selalu bersamanya adalah bahasa sesama kami sembari terus menghubungi kawan-kawan di berbagai daerah menanyakan keberadaan dirinya yang tidak diketahui.
Nyatanya Tuhan berkehendak lain, optimisme harus menyerah kalah pada takdir kuasa yang datang tanpa pernah kita sangka. Bung Akmal Yude dipanggil oleh Tuhan, Allah SWT, Jumat malam. Saya tidak tahu mengapa dia begitu cepat meninggalkan kita semua. Masih segar dalam ingatan, ekspresi wajahnya yang memerah bila sedang bergurau dan mimik muka serius saat berdiskusi.
“Lantaran terlalu panjang membentangkan wacana kapitalisme, tak
jarang teman obrolannya tertidur lelap, tanpa tahu kesimpulan dari diskusi
itu,” demikian sekelumit ingatanku tentang pria kelahiran Sumenep-Madura itu.
Jum’at malam, ia dijemput Sang Khaliq. Tubuhnya sudah kaku. Esoknya diantar sanak keluarga dan para sahabat ke peristirahatannya yang terakhir. Penggali kuburan menimbuni liangnya dengan tanah merah. Bunga-bunga putih bertaburan di atas gundukan tanah yang berbentuk peti panjang itu. Orang-orang menangis, bersedih, dan setelah itu kembali ke dalam keseharian.
“Saya menangis karena kepergiannya,” tutur Kiki Ahmad, sahabat yang ikut mengantarnya ke peristirahatan terakhir di kampung halaman mendiang di Madura.
“Ya Allah. Kau yang melahirkan dari perut seorang ibu, Kau juga yang menentukan akhir kontrak hidup seorang anak manusia. Kami tak bisa menolaknya, meski rasa kekeluargaan yang terbentuk beberapa tahun ini membuat rasa kehilangan begitu terasa,” batinku.
***
Pramoedya Ananta Toer mengatakan hidup adalah melawan kesulitan, bahkan tanaman pun bila terhalang dari sinar matahari menjalar, berjuang untuk mendapatkannya. Hidup adalah penerbangan ke matahari dan setiap orang adalah satu-satunya di dunia dan di sepanjang zaman.
Dia-Ode, telah mengisi kehidupan ini dengan lebih berarti. Berjuang atas nama rakyat adalah kecerdasan praksis semasa hidupnya (melakukan pendekatan terhadap materi sebagai kenyataan obyektif). Di samping disibukkan dengan kegiatan advokasi di FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia), pria kelahiran Sumenep, 17 September 1983 ini juga sibuk dengan kegiatan kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Semasa menjadi mahasiswa, ia aktif di organisasi pergerakan ekstra kampus KMPD (Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi), Lembaga Pers Mahasiswa ARENA, Koperasi Mahasiswa (Kopma), UKM JQH Al-Mizan, dan JCM.
Ode-begitu ia akrab disapa, tutup usia saat menjabat sebagai sekretaris redaksi LPM Arena-wafat dalam usia yang cukup produktif, 24 tahun. Namun, manusia tak bisa membuat keputusan ketika pilihan kematian datang menghampiri.
Ode telah pergi, tak bisa kembali lagi. Tugas kita yang ditinggalkannya mengarungi samudera kehidupan ke arah yang seringkali tidak pasti. Kepergiannya didoakan oleh para petani, buruh serta kaum miskin Desa-kota yang turut ia advokasi semasa berpegerakan.
Bung Akmal Yude, pergilah dengan segala kebaikan yang telah kau tancapkan di bumi ini. Ibu pertiwi jelas bersedih dan berdo’a, lantaran satu amunisi perubahan telah pergi menuju rumah abadi. Pergilah menemui Allah, sebab pastilah Allah tidak akan mengubah kebaikan menjadi keburukan.
Meminjam penggalan puisi karya penyair Chairil Anwar, kami hantar kepergian Bung Ode dengan tenang nan damai, walau rasa kehilangan tak kuasa kami tutupi. Berat memang, tetapi rakyat kuasa adalah impian bersama yang harus diejawantahkan.
“Bukan kematian benar yang menusuk kalbu
*Yogyakarta, 14 November 2007.
0 Komentar