Oleh:
Jumardi Putra*
Membicarakan
pendidikan, seketika itu juga pikiran kita terbawa pada arus dunia formal,
yakni sekolah-suatu lembaga, suatu organisasi besar dan segenap
kelengkapan-perangkatnya: sejumlah orang yang belajar, mengajar, sekawanan
bangunan gedung, secakupan peralatan, serangkaian kegiatan jadwal, selingkupan
aturan, dan sebagainya.
Namun, gambaran
di atas berbanding terbalik dengan pendidikan alternatif yang ada di komunitas
Suku Anak Dalam (SAD) di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD), yang
membentang di tiga Kabupaten di provinsi Jambi, yaitu Kabupaten Batanghari,
Muaro Tebo, dan Sarolangun. Mereka yang lebih dikenal dengan sebutan
“Orang-Orang Rimba”, tidak mengenal sekolah dalam pengertian umum kita. Dengan
kat lain, pendidikan formal masih jauh dari kenyataan sehari-hari mereka, yang
notabene hidup berpindah-pindah (nomaden).
Dalam
keadaan itu muncul pertanyaan, apakah kita harus menunggu peran pemerintah
untuk menjawab pemenuhan hak pendidikan bagi Orang-orang Rimba dan juga
komunitas-komunitas masyarakat yang tersebar di daerah pedalaman atau
perbatasan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia? Kita patut
menghaturkan rasa hormat atas kerja keras mendiang Yusak Andrian Hutapea, sang
pelopor pendidikan alternatif Orang Rimba, yang kelak diteruskan oleh Saur
Marlina “Butet” Manurung dan kawan-kawannya. Semasa pendampingan Orang Rimba,
Yusak berusaha menemukenali metode yang tepat dan dapat diterima oleh Orang
Rimba. Ringkasnya, berkat kesabaran dan kegigihan, kerja keras Yusak membuahkan
hasil. Sayang, ketika langkahnya baru menunjukkan tanda-tanda keberhasilan,
Yusak dipaksa menyerah oleh malaria yang merenggut nyawanya (Baca: Pahlawan
Pendidikan Orang Rimba, WARSI, 2013).
Nun jauh di
sana, kita juga mesti bangga pada pribadi Silas Wartandu, salah seorang guru
yang mengajar di pedalaman Manokwari, Papua Barat. Dengan tegas ia menjawab,
“Kalau kita menunggu pemerintah, kapan anak-anak kita bisa mendapatkan
pendidikan.” Hal yang sama juga diabdikan oleh Hj. Sabariyah, seorang perempuan
paruh baya yang tak pernah menyerah berjalan di pedalaman Papua, demi
komitmennya pada pendidikan anak bangsa (Guru dalam Tinta Emas, Kompas, 2005).
Dalam misi
yang sama, sejak tahun 2009, Anis Baswedan, tokoh dibalik kelahiran gerakan
Indonesia Mengajar berhasil menghimpun ribuan pendidik muda, yang sukarela
mencurahkan waktu dan pikiran mereka demi mengajarkan anak-anak di berbagai
pelosok daerah di wilayah Indonesia. Tentulah kehadiran pendidikan alternatif
semacam itu membawa angin segar bagi misi suci pendidikan, sebagaimana tertuang
dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, “Mencerdaskan kehidupan
bangsa.”
Butet
Manurung
Laiknya
perjalanan penuh onak duri Yusak Andrean Hutapea, Silas Wartandu, dan Hj.
Sabariyah, adalah Saur Marlina Butet Manurung, perempuan Batak kelahiran 21
Februari di Jakarta, secara sadar “mewakafkan” dirinya sebagai seorang guru
bagi Orang-orang Rimba di wilayah pedalaman Jambi, tepatnya berlokasi 225 km
dari kota Jambi ke-arah Barat. Berdasarkan penuturannya, sebagaimana tertuang
dalam buku Sokola Rimba (Insist, 2007), serta merujuk pada lembaran pengalaman
mendiang Yusak di masa awal mengenalkan pendidikan alternatif kepada Orang
Rimba (1998), hambatan budaya serta sikap tidak terima dari pihak Orang-orang
Rimba, membuat Butet dan beberapa sahabatnya, sejak 1999-2000, hanya bisa
berputar dan berbalik arah dari bukit ke bukit lainnya, untuk sekedar bisa
bergabung dan hidup secara baik bersama Orangorang Rimba.
Di samping itu,
sulitnya medan yang harus dijangkau dan resiko bagi para pendidik, yaitu
terserang malaria, pacet, atau tersasar di tengah rimba. Namun, berbekal
keinginan yang kuat dan adanya bantuan dari beberapa pendamping, serta kerja
sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat di Jambi (WARSI), memberi ruang yang
leluasa bagi Butet dan kawan-kawannya memberi pendidikan bagi Anak-anak Rimba.
Sokola Rimba
Butet
berhasil mendekati Anak-anak Rimba dan perlahan-lahan memberikan berbagai
informasi yang berkaitan dengan keseharian mereka. Dalam pada itu, Butet
bersama teman-temannya, menginginkan hal yang lebih jauh lagi, yaitu membentuk
satu komunitas yang bergerak pada pendidikan informal. Gayung bersambut,
setelah melewati jalan terjal, mereka dapat mewujudkan cita-cita pendidikan
alternatif bagi Anak-anak rimba, yang kelak dinamai Sokola Rimba.
Sokola Rimba
merupakan model sekolah yang dirintis oleh Butet bersama kawan-kawannya dengan
tujuan membantu orang rimba keluar dari keterbelakangan. Melalui sekolah
alternatif itu, Butet bersama kawan-kawannya berhasil membuat Anak-anak Rimba
haus akan pendidikan, sehingga mereka ingin terus belajar, meskipun di bawah
tekanan adat-istiadat yang berkecenderungan menolak apapun yang datang dari
luar mereka, karena dinilai akan merusak “halom rimba” (pengetahuan dan
kearifan orang Rimba yang telah berjalan secara turun-temurun).
Melalui
pendidikan alternatif itu, Butet terus berusaha hingga berhasil membuktikan
kedekatannya dengan anak-anak Rimba. Ia terbiasa tidur berbaur, ikut berburu
tikus, sama-sama menyantap babi nangoy (babi hutan), berjalan puluhan kilometer
untuk mengikuti pola nomaden, mengajak mereka bermain, mengajarkan naik sepeda,
menggambar bersama dan mengajarkan syair atau pantun asli
Orang Rimba, serta
menuntun mereka mengenal dan menghafal nama-nama diri mereka, misalnya, Gentar,
Linca, Mijak, Bekilat, Pengendum, Pemilang Laman, atau Peniti Benang.
Berbekal
metode mengajar yang digali dari Orang-orang Rimba sendiri, Butet dapat
diterima dengan baik. Karena, oleh Butet, Orang-orang Rimba diposisikan sebagai
subjek, bukan objek. Buahnya, Sokola Rimba pun berhasil melahirkan kader-kader
guru yang berasal dari anak rimba untuk anak rimba di kalangan mereka sendiri.
Para kader itu umumnya bisa membaca, menulis, menghitung, dan mulai mengerti
seluk beluk hukum.
Akhirnya,
sebagaimana pengorbanan yang telah dilakukan mendiang Yusak, Silas Wartandu,
Hj. Sabariyah, dan sahabat muda dalam gerakan “Indonesia Mengajar”, serta
kesungguhan Saur Marlina “Butet” Manurung, yang menaruh perhatian terhadap
segenap upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, sejatinya, adalah pesan cinta yang
patut dihayati dan diamalkan oleh masing-masing kita di negeri ini, terutama
pengambil kebijakan, pemimpin agama, kaum cerdik pandai, politisi, dan
pengusaha. Apa sebab? Kerja kita masih jauh dari selesai!
*Tulisan ini pertama kali terbit di Majalah Kajanglako,
Yogyakarta (2008/2009). Pemuatan di sini telah mengalami perbaikan.
0 Komentar