ilustrasi |
Oleh: Jumardi Putra*
“Permasalahan-permasalahan bahasa Indonesia saat ini telah
sampai pada perkembangan yang paling menyedihkan, menjengkelkan dan memuakkan.”
(Alif Danya Munsyi)
Ajip Rosidi dalam tulisannya, Mencari Jalan Keluar dari
Kekacauan Bahasa Indonesia (Seminar Akademi Jakarta, 2005), memaparkan pada
awal tahun 1950-an, ketika baru keluar dari revolusi kemerdekaan, kita bangsa
Indonesia banyak dikagumi dan dipuji orang, karena sebagai negara yang baru merdeka
setelah perang dunia II, kita mempunyai bahasa nasional, walaupun di wilayah
Republik Indonesia masih terdapat ratusan macam bahasa. Jumlah itu pun belum
termasuk ragam dan dialek yang antarkampung bisa berbeda. Berlainan halnya
dengan Negara-negara tetangga kita, seperti Filipina dan India, yang ketika
merdeka menghadapi masalah bahasa nasional yang tidak terselesaikan, sehingga
India menetapkan enam belas bahasa resmi di samping bahasa Inggris.
Begitu juga dengan Filipina yang kecuali mengakui bahasa
Tagalog, yang sekarang disebut bahasa Filipino, mengakui juga bahasa Inggris
sebagai bahasa resminya. Hal serupa juga terjadi dengan Persekutuan Tanah Melayu
Merdeka, yang tidak hanya mengakui satu bahasa nasional, tetapi mengakui juga
bahasa Inggris, bahasa Mandarin (Cina), dan bahasa Tamil sebagai bahasa resmi,
di samping bahasa Melayu.
Namun, memasuki usia ke-86 (jika mengacu pada hari lahir
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional) atau yang ke-96 (jika mengacu bahasa
Indonesia dikukuhkan secara yuridis sebagai bahasa negara), keistimewaan sejarah
terbentuknya bahasa nasional kita saat ini sedang dilanda “cuaca buruk”. Apa
pasal? Dalam berbagai forum diskusi, seminar ataupun hasil penelitian, mencuat
persoalan serius menyangkut ketahanan dan perkembangan bahasa Indonesia dalam
kondisi memperihatinkan, seperti yang dikatakan sastrawan Alif Danya Munsyi di
muka tulisan.
Kesimpulan Alif Danya Munsyi itu, menurut hemat saya,
tidaklah berlebihan. Apa pasal? Hasil penelitian dua orang sarjana Amerika, Daniel
Nettle dan Suznne Romaine, yang menulis buku yang berjudul Vanishing Voice: The
Extinction of the Word’s Languages (Oxford University Press, 2000), menyebutkan
sekarang di dunia ini ada 5.000-6.700 bahasa dan paling tidak-mungkin lebih-kurang
setengahnya akan mati dalam abad ke-21. Sekarang 60% dari bahasa yang masih ada
dalam kondisi punah.
Separah itukah bahasa Indonesia? Berikut sekelumit
permasalahan menyangkut bahasa nasional kita. Pertama, kecintaan generasi muda,
termasuk pelajar dan mahasiswa terhadap bahasa nasional menunjukkan grafik yang
mengkhawatirkan. Dalam kaitan itu, saya sependapat dengan penjelasan kepala
Badan Pengembangan Bahasa, Agus Dharma (29/11), antara lain, bisa jadi karena
nilai-nilai bahasa dan sastra kurang digali, sementara disaat yang sama, bahasa
asing dianggap lebih bergengsi. Terbukti, pada pelaksanaan ujian nasional
SMP/SMA, kegagalan ujian bahasa Indonesia mencapai 30 persen. Sebaliknya, kegagalan
di ujian bahasa Inggris berkisar 5 persen.
Di samping itu, hasil pantauan Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa terkait indek sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia, terutama
di kalangan anak-muda hanya 1,4 dari skala 5. Kedua, penyampaian pelajaran
bahasa Indonesia di jenjang pendidikan formal tidak berorientasi maju karena
lebih mementingkan target pencapaian nilai semata. Padahal, akan lebih baik
jika para siswa diberi waktu untuk berdiskusi, berdebat dan berkreasi dalam
menulis serta membaca. Dengan cara itu, hubungan dialektis-dialogis antara dosen
dan mahasiswa di perguruan tinggi atau guru dengan murid di sekolah, akan menghasilkan
pengetahuan yang optimal. Karena keduanya adalah sama, pembelajar. Ketiga,
menularnya penyakit sok-Inggris di kalangan pejabat di republik ini, baik eksekutif,
legislatif maupun yudikatif. Padahal, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16
Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau
Wakil Presiden serta Pejabat Negara lainnya, mengharuskan mereka menggunakan
bahasa Indonesia di dalam atau di luar negeri.
Keempat, bahasa Indonesia hanya menjadi keranjang sampah bagi
kata-kata berbahasa Inggris. Sehubungan hal itu, Remy Silado pada Kongres
Bahasa Indonesia, di Jakarta, 14-17 Oktober 2003, mengatakan melintasnya
kata-kata bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia memang patut diterima sebagai
sesuatu yang galib dalam perkembangan tatanan kebudayaan dunia. Bukan hanya
bahasa Indonesia yang tidak sanggup bertahan terhadap “serangan” bahasa Inggris,
tetapi juga masuk ke dalam bahasa Malaysia, Arab, dan Jepang.
Tetapi berbeda dengan Indonesia, yang melintaskan kata-kata
bahasa Inggris secara bulat, di Malaysia, Arab dan Jepang, kata-kata Bahasa
Inggris justru telah dimatikan sesuai dengan lafaz yang berlaku di alam masing-masing
bahasa tuturnya. Pendek kata, jika keengganan pemakai bahasa Indonesia untuk
mencoba mencari padanan atau terjemahannya belum terobati, maka kita patut
menimba konfidensi Bangsabangsa Eropa di sekitar perbatasan dengan Inggris
menyangkut “pertahanan” yang kuat terhadap bahasanya.
Kelima, pers, baik lokal maupun nasional adalah penjaga
paling tepat bagi kelangsungan bahasa Indonesia. Meski saat ini kita juga tidak
menampik, bahasa pers sekarang dilintasi banyak istilah dan perkataan bahasa Inggris.
Sejurus hal itu, setelah pers, penjaga bahasa Indonesia yang akan menentukan
harkat bangsa Indonesia adalah sastra Indonesia. Sebab dalam sastra, merujuk
Yudi Latif (2009), termuat keluasan horizon pikiran, kemudahan dalam bertutur,
dan ketajaman etik-estetik.
Kemudian, tentu yang diharapkan turut menjaga dan
mengembangkan bahasa Indonesia adalah dari kalangan munsyi, sarjana bahasa dan
para pegiat atau pecinta bahasa dan sastra Indonesia. Akhirnya, sebagaimana
kita ketahui bersama, telah berpuluh tahun usia bahasa Indonesia. Berkali-kali
pula kongres bahasa dilaksanakan. Beratus-ratus bahkan beribu-ribu kali
diskusi, seminar, simposium, dan yang lain sejenisnya, dilakukan di seluruh
pelosok negeri ini. Semuanya diselenggarakan dengan salah satu tujuan untuk mengangkat
martabat bahasa Indonesia di tengah pesatnya kemajuan zaman. Maka, pertanyaan
yang relevan bagi masing-masing kita saat ini adalah apakah bahasa Indonesia
telah dapat mengimbangi kecepatan perubahan itu? Apakah nasionalisme bahasa
Indonesia masih mengakar dalam jiwa masing-masing kita? Tugas kita semua menemukan
jawabannya.
Jambi, Desember 2011
0 Komentar