sumber: ANRI |
Oleh: Jumardi Putra*
10 Maret 2016, saya berkesempatan mengunjungi gedung Arsip
Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jalan Ampera Raya, Daerah Khusus Ibukota
Jakarta. Tujuan saya saat itu berburu sumber rujukan tentang wilayah yang saat
ini disebut sebagai Jambi, terutama "sejarah sosial" masa kolonial
dan pascakemerdekaan.
Sependek penelusuran, merujuk kearsipan tentang Jambi di
ANRI (daftar katalog dan komputer), tersimpan sekira seratusan. Berdasarkan
wujudnya, arsip tersebut didominasi surat (arsip korespondensi) yang
menggambarkan penyelenggaraan kehidupan organisasi, seperti telegram, naskah
pidato, perjanjian/kontrak, akta, notulen rapat, undang-undang, keputusan
menteri, laporan, dan naskah berita acara.
Data yang tersimpan di ANRI berupa arsip sebelum 1945
(kolonial), sesudah 1945 (Republik), foto, film, mikrofilm, rekaman suara,
arsip kartografi, arsip Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Sulawesi Selatan,
serta arsip Algemene Rijksarchief (ARA). Hanya saja, disebabkan keterbatasan
waktu, selain arsip berupa buku dan surat-menyurat, hal ihwal Sumatera Tengah
itu, baik peristiwa atau keberadaan tokoh-tokoh sebelum dan sesudah 1945, belum
sempat saya inventarisasi.
Tentu di sini saya tidak akan mengurai semua buku dan
surat-menyurat tersebut, tetapi hanya yang saya anggap urgen, dalam arti belum
saya temukan di Jambi, membuka ruang lebar bagi studi lanjut, sebagai bahan
diskusi, dan juga barangkali belum termaktub dalam katalog weblog Jambi Studies
(jambistudies.blogspot.com), atau bahkan perpustakaan sekaliber Institute of
Southeast Asian Studies (ISEAS) di Singapura yang saya kunjungi tiga tahun
lalu.
Berikut beberapa arsip berbentuk buku dan surat-menyurat
yang mencuri perhatian saya, antara lain:
(1) DPP PNI Cabang Jambi: Penyataan resmi 17 Januari 1966
tentang dukungan warga PNI/Front Marhaenis atas amanat Bung Kurno mengenai
masalah Neokolim; (2) Sekretariat Menko Hubra: Tentang reaksi masyarakat Jambi
terhadap Khotbah Drs. Ruslan Abdul Gani, Dekan Fakultas Islam IAIN Jambi, pada
sembahyang Idul Fitri 1965; (3) Telegram masalah Cina mengenai resolusi Bi
Chung Hwa Chung Hwee di Jambi: resolusi Bangsa Thoa di Balige, seruan
perkumpulan buruh Tionghoa di Aceh Timur untuk setia pada Pemerintah Republik
(1947-1948); (4) Surat-surat Bulan September–Desember 1948 tentang penghitungan
hasil usaha candu di Jambi, 1948; (5) Laporan tanggal 7-8 Desember 1948 tentang
penyelundupan opium dengan pesawat Catalina PBYS –RI -005 dan rencana pendirian
Cobley di Djambi Rep Commercial Airlines; (6) Berkas mengenai perkembangan Pemerintah Daerah Jambi,
Desember 1949; (7) Surat-surat mengenai keterangan J.N. Akerman, ahli
pertanian, urusan getah di Jambi, dengan surat pengantar dan kawat, 1950; (8)
Menteri Kesehatan RI kepada Presiden RI: Laporan tanggal 22 Februari 1955
tentang keadaan banjir di sekitar daerah Kabupaten Batanghari, Jambi; (9)
Pidato Presiden di hadapan para pembesar pemerintahan, Pemimpin-pemimpin Partai
Politik, Golongan Karya dan lain di Jambi, 11 April 1962; (10) Pidato Presiden
pada rapat raksasa di lapangan Garuda, Sipin, di Jambi, 11 April 1962; dan (11)
Surat dari Pimpinan Muhammadiyah wilayah Jambi tahun 1972.
Umumnya arsip di atas menggambarkan dinamika, gejolak, dan
pasang-surut peristiwa ekonomi, politik, sosial, agama, dan budaya jelang serta
pascakemerdekaan di Jambi-Indonesia. Sudah barang tentu, peristiwa yang terjadi
semasa itu perlu dipandang tidak dalam bilik politik dan kekuasaan an-sich,
sebagaimana ciri utama penulisan sejarah di masa Orde Baru, melainkan sejarah
sosial, yang di dalamnya memuat hubungan antaretnis, sikap keagamaan,
keterlibatan kelompok/komunitas pada ideologi dominan, pertanian, karet, dan
bencana banjir, bahkan usaha-usaha gelap seperti opium dan bisnis candu, yang
kanyataannya menyertai usaha-usaha memerdekakan negara dari kungkungan
kolonial. Dan itu, menurut hemat saya, dalam konteks historiografi Jambi hingga
saat ini, boleh dikata jarang atau mungkin belum tersentuh sama sekali.
Di luar soal kearsipan, sebagaimana jabaran di atas,
barangkali yang juga penting, menurut hemat saya, adalah mengenai fasilitas dan
layanan ANRI. Secara pribadi, saya merasa cukup puas dengan layanan staf dan
pegawai ANRI. Mereka sigap menerima kehadiran para pemburu arsip seperti saya, sebagaimana juga pada pemburu lainnya, yaitu diawali memberi tahu tentang
jenis, periodesasi, dan jumlah data apa saja yang dimiliki ANRI, serta tata
cara mengakses data, baik manual via katalog maupun komputer. Di samping itu,
sepanjang pencarian arsip, saya merasakan ruang baca yang nyaman.
Bagaimana tidak, dalam waktu yang cukup singkat, ketik
“Jambi” sebagai kata kunci dapat mengantarkan kita pada keberadaan arsip yang
dibutuhkan, sebagaimana lebih detail tertera dalam tabel di komputer di sentral
ANRI, yaitu data penataan arsip berupa kode referensi arsip, judul deskripsi,
tanggal pembuatan, jumlah fisik, lembaga pencipta, struktur arsip, pengaturan
arsip, bahasa, lokasi arsip asli, keterangan, dan kopi digital.
Di samping itu, seolah kian mengukuhkan visi ANRI, yaitu
arsip sebagai simpul Pemersatu Bangsa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia, hadir Museum Diorama Sejarah Perjalanan Bangsa yang berisikan
"babakan" sejarah perjalanan (peristiwa dan profil) tokoh yang
berperan dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Diorama dimulai dari masa
kejayaan Nusantara, kebangkitan nasional, proklamasi, upaya mempertahankan
kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan masa Reformasi, serta
teater renungan yang berisikan tayangan film dokumenter tentang sejarah
perjuangan bangsa dari 1942 hingga era Reformasi sekarang serta beberapa film
dokumenter pidato dan biografi Presiden Soekarno.
Arsip Daerah Jambi
Yang terlihat di ANRI oleh saya saat itu menyembulkan tanya,
bagaimana keadaan kantor arsip daerah Provinsi Jambi saat ini? Satu minggu
lepas, saya mengunjungi Kantor Arsip Daerah Provinsi Jambi, yang berlokasi di
belakang kantor Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi
Jambi dan Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Jambi, Kecamatan Telanaipura.
Sejak 2008, Kantor Arsip Daerah Provinsi Jambi tidak lagi
berdiri sendiri, tetapi bergabung dengan Perpustakaan Wilayah Provinsi Jambi,
sehingga belakangan dikenal Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Jambi,
yang kini dikepalai Asvan Deswan.
Gedung arsip tersebut terletak di lantai 1 dan 2, sementara
lantai paling atas dihuni Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah
(Balitbangda) Pemerintah Provinsi Jambi. Karena itu, kantor arsip ini nyaris
tak terlihat dari luar.
Saat memasuki gedung itu, bau menyengat langsung menusuk
hidung. Di lantai satu gedung, tampak rongsokan kayu, sampah, bahkan alat-alat
yang tak terurus lagi. Debu dan jejaring laba-laba di dinding dan jendela
seolah mengisyaratkan kantor ini jarang mendapat sentuhan.
Di lantai 2 keadaannya hampir sama. Tumpukan arsip berada di
sepanjang koridor. Ada yang tersusun rapi, ada pula yang berantakan. Padahal
aturan jelas menyebutkan yaitu berupa cara pengemasan arsip, suhu ruangan,
cara penyimpanan, kerahasiaan dan masih banyak lagi aturan lainnya. Dengan kata
lain, saat ini dua ruangan untuk penyimpanan arsip sudah tidak memungkinkan
lagi untuk ditambah. Bahkan ruang penyimpanan saat ini juga digabung dengan
ruang kerja, yang semestinya itu tidak perlu terjadi.
Kondisi gedung itu lebih menyerupai gudang. Pelayanan
terhadap pemburu arsip belum berjalan secara sistemik alias hanya bergantung
pada individu tertentu. Komputerisasi arsip masih jauh panggang dari api.
Meski jauh dari standar, katalogisasi arsip mulai rapi, yang
dibagi ke dalam tiga kategori utama, yaitu Citra Jambi dalam Arsip Jambi oleh
ANRI, Daftar Arsip Peta Kearsitekturan, Daftar Arsip Statis Peta Kartografi,
dan Daftar Arsip Statis Bentuk Buku. Di samping itu, beberapa buku tentang Jambi, baik berhasa
Belanda maupun hasil terjemahan Indonesia “dimuseumkan” dalam closed stacks (rak tertutup). Itu
artinya, perlu permintaan terlebih dulu ke petugas untuk membacanya.
Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan ANRI dan
perpustakaan Pusat Kajian Asia Tenggara di Singapura yang terbuka dan mudah
diakses. Kondisi serupa saya temukan di Ruang Deposit Perpustakaan Daerah
Provinsi Jambi, Telanaipura, yang secara khusus menyimpan dokumentasi dan
publikasi tentang Jambi, baik itu berupa buku, jurnal, laporan penelitian,
laporan statistik, buletin, kliping koran, dan jenis dokumentasi lainnya. Tidak
representatif. Tak ada katalog dan tidak rapi.
Meskipun kondisi gedung arsip tidak representatif, di sana
tersimpan pelbagai jenis arsip penting mengenai sejarah dan dinamika masyarakat
di Jambi, arsip SKPD seperti keuangan atau kepegawaian, bukti-bukti hukum, dan
masih banyak lagi. Begitu juga arsip berbentuk hard copy seperti kertas maupun berbentuk foto, film, dan VCD.
Beberapa buku penting yang sempat saya pantau
dan catat, di antara 926 judul arsip statis berbentuk buku yang tersimpan di kantor Arsip Daerah Jambi, antara lain Djambi karangan J. Tideman (dan Sigar),
yang diterbitkan oleh Koninklijke
Vereeniging Koloniaal Instituut di Amsterdam pada 1938. Sebagai buku
terbitan Institut Kolonial, buku ini disebut oleh Elsbeth Locher-Scholten
kental beraroma kolonial dan bias menggambarkan wilayah Jambi.
Koleksi terbitan kolonial lainnya adalah Zuid-Sumatra: Overzicht van de Literatuur
der Gewesten Bengkoelen, Djambi, de Lampongsche Districte karya Johan
Willem Jules Wellan (Nederlandsche Boek-en Steendrukkerij, 1923-28); Bangsawan
Bengkulu dan Jambi karangan Helfrich, 1906; Orang Kubu karangan C.J. van Dongen
(1906); Sumatraans Sultanaat en Koloniale
Staat: De Relatie Djambi-Batavia (1830-1907) karangan Elsbeth Locher-Scholten;
Surat-surat Perdjandjian Antara Kesultanan Riau dengan Pemerintah V.O.C dan
Hindia-Belanda Tahun 1970.
Selanjutnya, Perjalanan Sejarah Jambi di tahun 1833-1954 dan
Sejarah Pulau Berhala di tahun 1460-1480; Kliping Pers Tahun 1987-1989; Sejarah
Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Jambi (Depdikbud,
1983/1984); Kumpulan Naskah Tulisan Tangan Sekretaris Residen Palembang; G.J.
Velds, De Onderwerping van Djambi in 1901-1907 (Batavia: Departement van
Oorlog, terjemahan oleh S. Hertini Adiwoso dan Budi Prihatna, 1909); Di sana
Diusahakan Sesuatu yang Besar atau Bagaimana Kerajaan Belanda Kehilangan
Jajahannya yang Besar (terjemahan R. Soedarsono) karya Chrish Van Estrik-Kees
Van Twist, 23 Desember 1980.
Merujuk kearsipan Jambi di atas, terlihat secara jelas,
Badan Arsip Daerah menyimpan dokumentasi penting yang akan menjawab rasa ingin
tahu kita seputar sejarah dan dinamika daerah kita sendiri, sebagaimana
sebagian lainnya tersimpan rapi di ANRI dan di banyak tempat, seperti di jurnal-jurnal
internasional, antara lain Indonesia (Cornell University, USA); Bijdragen tot
de Taal-, Land–en Volkenkunde (KITLV, Belanda); Archipel (Prancis), Indonesia
and the Malay World (SOAS, Inggris), British Library Malay Manuscripts
(London), Institute Southeast Asean Studies atau ISEAS (Singpura), serta di
kampus tempat disertasi/tesis tersebut diajukan, baik di luar maupun dalam
negeri.
Amat disayangkan, kepemilikan data yang dahsyat itu,
Pemerintah Provinsi Jambi belum menunjukkan potret keberpihakan yang kuat pada
dunia arsip, buku, dan perpustakaan, terutama pada pengayaan literatur dan
arsip Jambi. Padahal, sejatinya kesadaran akademisi yang dilandasi oleh beban
moral untuk menyelamatkan arsip sebagai bukti pertanggungjawaban daerah sekaligus sebagai warisan budaya bangsa, dapat menghindari hilangnya informasi
sejarah perjalanan sebuah bangsa, Jambi khususnya, serta harkat sebagai entitas
yang berbudaya.
Akhirnya, mengetengahkan peran kearsipan sekaligus menagih
komitmen Pemerintah Provinsi Jambi terhadapnya adalah usaha sadar masing-masing
kita, juga pemerintah Provinsi Jambi, agar terhindar dari cacat ingatan.
*Tulisan ini terbit pertama kali di portal Jambiindependent.com dengan judul "Sepulang dari ANRI" pada tanggal
10 Maret 2016.
0 Komentar