Oleh: Jumardi Putra*
Sebuah musim di negeriku yang kerap berulang dan
membuat hati miris. Laksana langit dan bumi, betapa gambaran ideal sebuah tanah
air, Indonesia, yang alamnya begitu indah, dikenal sebagai 'the
mega–biodiversity', keragaman hayatinya nomor wahid di dunia, dan oleh Tuhan
telah diberkati, itu kini kehilangan ghirah dan pesonanya.
Suatu pagi melalui twitter, tepatnya Maret empat tahun
lepas, transit lounger, julukan
Goenawan Mohamad menulis, “Di bawah matahari berjuta-juta, mungkin Tuhan
menanda tangani hanya satu pagi: pagi yang begitu berharga, meskipun tak
selama-lamanya.”
Seolah mendapati nujumnya, pagi yang tak abadi itu kini
datang menyerupai bulir air mata yang menyembulkan tanda-tanda. Apa sebab? Berdiri dan tidak putus asa dalam situasi kabut asap yang mengkhawatirkan ini adalah tugas yang tidak mudah untuk
ditaklukkan.
Waktu menjelma bagai diri yang tunggang langgang dalam
keliaran asap yang sulit dijinakkan. Pagi, siang, petang, dan malam tak dapat
lagi disateliti keceriaan dan peristiwa heroik lainnya. Kalender atau buku
agenda terperdaya di balik masker dan kening berkerut merapal pekat dan ISPU
yang naik-turun.
Sementara protes dan narasi keperihatinan di layar televisi
atau pun kicauan bertagar darurat asap di jejaring sosial seperti twitter dan
facebook terus bermunculan, meski terkadang diciutkan oleh podium-podium
politik yang kerap retorik dan khutbah nan dogmatik.
Apa yang sebetulnya terjadi sekarang
ini? Saya tidak bisa memberikan jawaban pasti. Barangkali
dalam kesempatan ini kita memang patut berduka. Di saat para calon Gubernur
atau Bupati dalam masa Pilkada serentak 2015 berjanji membawa masyarakatnya
ke arah yang lebih baik dalam segala hal, ketika sebagian dari intelektual kita
berseminar atau mengikuti pelatihan seharian penuh di hotel-hotel berbintang,
lalu sebagian dari penulis Indonesia mempersembahkan beribu kekayaan imajinasi
Nusantara di Frankfurt Book Fair 2015 , justru pada saat yang sama banyak warga
Indonesia mati setiap hari, seperti jamaah haji yang tertimpa ‘crane’ dan
tragedi mina di Arab Saudi, terorisme seksual yang merampas anak-anak dan
remaja desa dan kota, kebakaran rumah, kantor, dan pasar yang disulut konflik
horizontal, pembakaran rumah ibadah (Gereja) di Singkil, Aceh, dan ribuan warga
di Sumatera maupun Kalimantan yang mengalami gangguan infeksi saluran
pernapasan akut.
Terbesit bahasa puitik Chairil Anwar: masing-masing kita
hanya menunda kekalahan, adalah situasi yang sesungguhnya kita hadapi untuk
jangka waktu panjang di republik ini. Tetapi segera saya menghalaunya jauh-jauh
dari hati dan pikiran, karena saya tidak
memiliki kemampuan yang serba tepat dan pasti menerka apa yang sebetulnya
membuat krisis multidimensi tak berkesudahan di republik ini, tak terkecuali
ritus kabut asap belakangan ini.
Merujuk pandangan Th. Sumartana (Merajut Masa Depan
Indonesia, Interfidei: 2001), barangkali saya mulai lagi bertanya, tidak hanya
memberikan jawaban, terlebih jagad politik kontemporer kita surplus kata dan
kuasa, jauh dari dunia berfikir dan kontemplasi (untuk menyebut defisit
kesunyian). Yang tinggal hanyalah aktifisme dan aktifisme agenda seolah-olah
jawaban sudah ada dan kita hafal dengan jawaban dan tidak peduli dengan
pertanyaan.”
Maka, siapa “aku” dalam kebumian dan ke-alam-an kita sebagai
manusia dewasa ini? Secara filosofis, manusia bertanggung jawab atas tragedi
kabut asap ini. Tidak perlu menuduh El-Nino yang panjang menyulut kebakaran
hutan dan lahan gambut. Manusia mesti diminta pertanggungjawaban karena ia
sudah mendapat anugerah yang paling hebat dari sang pemilik kehidupan yakni
daya akal budi untuk mampu menimbang baik dan buruk.
Faktanya, manusia baik secara korporasi atau perorangan
tiada henti mengeksploitasi sumber daya alam demi keuntungan pribadi dan
kelompok. Keseimbangan alam pun menjadi tumbalnya. Padahal, berkaca pada pengalaman beratus-ratus tahun lalu, kearifan masyarakat tradisional (komunitas adat), menempatkan dirinya, alam,
dan relasi di antara keduanya dalam perspektif spiritual, yang selalu
manuggaling dalam alam yang kudus.
Akan tetapi, kearifan yang
berhasil membuat sikap egosentrisme dan antroposentrisme gagal menjelma
bagai ‘monster’ yang semena-mena memeras madu sumber daya alam untuk pemuas
dahaga kerakusannya, itu kini terdengar kian samar dalam amuk api di
semak-semak belukar hutan dan lahan gambut.
Apatahlagi, terutama sejak 1970-an, ketika lingkungan hidup
menjadi agenda politik, ekonomi, dan bisnis global, “fundamentalisme ekologi”
yang mengakar kuat dalam kearifan tradisional telah digantikan dengan
modernitas (sebagai agama dan spiritualitas baru), yang justru membuat hutan
yang rimbun, hijau, dan riak air yang mengalirkan cahaya jatuh sebagai
peristiwa ekonometrik belaka.
Ekosentrisme (melengkapi biosentrisme-Albert Schweitzer)
yang digagas filusuf Arne Naess (1973), yang kemudian lebih familiar dikenal
sebagai ecosophy, merupakan etika lingkungan hidup yang mesti menjadi
paradigma, budaya, dan gaya hidup baru manusia secara global.
Akhirnya, kabut asap dua bulan ini dapat dimaknai suatu
latihan pemantapan masa depan, seperti dikatakan Albert Schweitzer, pemenang
Nobel perdamaian 1952, yaitu sikap hormat sedalam-dalamnya terhadap kehidupan
(reverence for life). Dengan begitu, kita bisa membayangkan Bumi macam apa yang
akan ditinggalkan kepada anak cucu kita nanti? Atau kita kembali gagal membaca
tanda-tanda tentang pagi yang begitu berharga, sebagaimana celetukan Goenawan
di awal tulisan, sehingga kita kerap jatuh di lobang serupa.
*Tulisan ini dibuat 20 Oktober 2015 saat Provinsi Jambi dan
beberapa daerah lain di tanah air dilanda kebakaran hutan dan lahan.
0 Komentar