Karl Marx. Sumber: https://civita.no/handlekurv |
Oleh: Jumardi Putra*
Suatu siang, seorang lelaki paruh
baya membantu mengangkat sebuah rak buku dari bak mobil ke dalam rumah
kontrakanku. Rak itu saya beli di sebuah tokoh mebel yang berlokasi tak jauh
dari pertigaan pasar Mama, jalan ke arah RSUD Abdul Manaf, Kota Jambi.
Belum rapi benar posisi rak buku itu, tetiba ia bertanya
sekaligus mengarahkan jari telunjuknya ke sudut rak buku lainnya di ruang tamu,
“Mas, itu buku Mao Tse-tung”? “Iya,” balasku tak panjang lebar.
Lantaran hampir seribu halaman, buku itu mudah
dilihat dari jarak sekira 3 meteran. Apatahlagi buku Mao (Gramedia,
Terjemahan dari Mao: The Unknown Story, 2005) berada satu rak dengan
biografi tokoh-tokoh lainnya, seperti Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Sjahrir,
Muso, Njoto, Che Guevara, Lenin, Stallin, Hitler, Pramoedya Ananta Toer, Ali
Syri’ati, Hasan Hanafi, Nurcholis Madjid (Cak Nur), dan Abdurrahman Wahid (Gus
Dur), serta puluhan biografi tokoh gerakan politik-intelektual publik dari masa
awal kemerdekaan hingga reformasi.
“Wah, buku itu berbahaya, Mas. Tokoh kiri. Komunis. Ateis
pula. Ajarannya sesat,” imbuhnya dengan suara agak tergesa.
“Mas, sudah baca buku itu,” kilahku pada pria berusia kepala
tiga itu memulai percakapan agak serius.
“Belum,” jawabnya.
“Dari mana Mas tahu jika isinya menyebarluaskan paham
komunisme,” sambung saya.
“Saya mendengar cerita dari teman-teman,” imbuhnya enteng.
“Buku ini ditulis melalui riset serius dan memakan waktu
satu dekade. Buku yang memotret perjalanan sebuah tirani, penghilangan hak
hidup secara massal (38 juta orang dalam bencana kelaparan dan ribuan lainnya
di masa damai), dan pandangan-pandangan radikal hingga membawa Mao ke puncak
kekuasaan. Ini biografi Mao dan kisah pasang surut hubungannya dengan
orang-orang di luar China, seperti hubungannya yang rumit dengan Stalin sejak
tahun 1920-an. Sekalipun kita tidak setuju, membaca Mao dapat menjelaskan pada
kita mengenai pertarungan ideologi dan gejolak ekonomi politik masa itu,”
ungkapku sembari melap buku yang diselimuti debu.
“Sesuatu yang jelas keliru perlu kita hindari,” ungkapnya
berlagak bijak.
“Begini saja, saya pinjamkan buku ini untuk dibaca. Kita
bisa berbagi cerita isi buku tersebut di lain hari,” tawaranku.
“Wah, gak mas. Gak berani saya,” tukasnya.
Mafhum bila membaca buku setebal ukuran bantal menjadi
persoalan (kalau bukan buang-buang waktu) di tengah keberadaan media sosial
(facebook, twitter, dan instagram) sekarang ini. Tapi yang membuat saya kaget
justru ketidakberaniannya membaca sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami.
Demikianlah hari-hari kita. Orang-orang dengan begitu mudah melabeli ‘kiri’ itu
otomatis PKI-komunis-ateis dan seabrek stigmatisasi lainnya.
Akankah situasi demikian sebagai gejala tunabaca, galibnya
negara berkesedaran literasi yang masih rendah? Atau pengalaman traumatis masa
lalu, sebut saja peristiwa 1965, yang sengaja dirawat oleh kekuasaan demi
‘status quo’?
Gayung pun bersambut, dalam diskusi bertajuk “Dilarang Belok
Kiri!”: Menyoal Pelarangan Buku di Indonesia, di kafe Etalase Kopi, berlokasi
di belakang kampus STIMIK NH, Kota Jambi (8/9/19), peristiwa empat tahun itu
kini menemukan konteksnya.
Tajuk Dilarang Belok Kiri!, dikatakan aliansi penggiat
literasi Jambi, merespon maraknya aksi penyitaan (razia) buku-buku berhaluan
kiri di beberapa daerah di tanah air, seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh
beberapa orang dari Brigade Muslim Indonet (BMI) di toko buku Gramedia di
sebuah Mall di Makasar (3/8/2019).
Di antara buku-buku yang disita, tak luput dua karya
Profesor Franz Magnis Suseno, Guru Besar Filsafat STF Driyarkara, yang berjudul
Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme dan
Dalam Bayang-Bayang Lenin: Enam Pemikiran Marxisme dari Lenin sampai Tan
Malaka. Fatalnya (untuk menyebut ironi), selain karena caver buku itu
berwajahkan Karl Marx dan Lenin, juga hanya bermodalkan membaca sinopsis di
kaver belakang buku, disimpulkan bahwa buku milik Franz telah menyebarkan
ajaran komunisme dan marxisme. Padahal, isi karya Prof Magnis itu justru
mengkritik komunisme dan marxisme.
Aksi serupa jelas terus berulang. Ambil misal, tiga tahun
setelah reformasi, tepatnya 19 April 2001, terjadi pembakaran dan aksi sweeping
atas buku-buku yang dianggap berhaluan kiri. Lagi, aksi tersebut tidak hanya
pada beberapa jenis buku yang menitikberatkan gagasan Marxisme atau yang
dianggap mengganggu ‘status quo’ kekuasaan dominan, tetapi juga buku-buku yang
memuat pemikiran-pemikiran yang mengkritik komunisme dan marxisme.
Tindakan penyitaan buku-buku yang dianggap menyebarkan
ajaran komunisme, leninisme dan marxisme (dengan alasan merujuk Ketetapan MPRS
Nomor XXV Tahun 1966) selama ini ternyata lebih didasarkan pada asumsi tanpa
data, opini tanpa argumentasi yang kuat, serta mekanisme penilaian yang tidak
terukur (kalau bukan serampangan). Dengan kata lain, serangkaian bentuk
pelarangan terhadap buku telah mengingkari logika kritisisme terhadap produk
literasi dan kerja-kerja pemikiran.
Setakat hal itu, jelas Mahkamah Konstitusi pada 2010 telah
mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap
Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Pada
putusan tersebut lantang ditegaskan tidak boleh ada lagi pelarangan buku,
kecuali melalui proses peradilan.
Sebenarnya, bila kita sedikit bersabar sehingga
berkesempatan membaca literatur, memaknai “kiri” sebagai semata komunis, ateis,
dan bahkan menyepadankannya dengan Karl Marx, adalah problematis. Istilah kiri
sudah muncul jauh sebelum Karl Marx hidup (1818-1883), tepatnya saat Revolusi
Perancis pada ujung abad ke-18, di masa sekitar Raja Louis XVI dipancung
guillotine pada 1792.
Di Prancis, abad ke-17 dan 18, saat di sidang-sidang
Kerajaan, kelompok yang melawan dan anti pada para bangsawan dan tuan tanah serta
mereka yang mendapat hak istimewa dari Raja memosisikan diri di sebelah kiri
persidangan. Posisi di sebelah kiri ternyata tidak semata menunjukkan tempat
mereka duduk (place), tetapi lebih dari itu bersemai cita-cita perlawanan yang
disimbolkan melalui istilah “Kiri” ini.
Dalam perjalanannya paham “Kiri” tidak berhenti pada
persoalan monarki/feodalisme/kerajaan semata, sebagaimana revolusi Prancis yang
terkenal dengan semboyan liberté, egalité, dan fraternité, tetapi juga mulai
bersemai ke dalam pergerakan komunisme dan sosialisme, sehingga gagasan utama
yang kerap kita baca sekaligus dengar adalah pertarungan kelas. Di mana buruh
dan tani merepresentasikan kaum “Kiri” dan kaum borjuis sebagai kekuatan
penindas baru menggantikan kaum feodal/kerajaan dan tuan tanah.
Sebagai ideologi perlawanan terhadap monopoli kapitalisme
masa itu, gagasan “Kiri” terus meluas, menginspirasi tokoh di banyak negara,
tidak terkecuali di Indonesia. Bahkan, kita dapat melacak gagasan
"kiri" justru berakar jauh dalam tubuh sejarah bangsa, yakni dari
pergumulan Islamisme, Komunisme, Nasionalisme, di awal-awal kemerdekaan perihal
gagasan besar mengenai falsafah negara.
Merujuk buku Cindy Adams berjudul Sukarno: An Autobiography
as told to Cindy Adams (1965), tertulis sebuah ungkapan bernas Pemimpin Besr
Revolusi (PBR), Soekarno: “Orang Kiri adalah mereka yang menghendaki perubahan
kekuasaan (kapitalisme dan imperialisme) yang ada sekarang. Kehendak untuk
menyebarkan keadilan sosial adalah Kiri. Ia tidak perlu Komunis. Orang Kiri
bahkan dapat bercekcok dengan orang Komunis. Kiriphobi (penyakit takut akan
cita-cita kiri) adalah penyakit yang kutentang habis-habisan seperti
Islamophobi. Nasionalisme tanpa keadilan sosial menjadi nihilism.”
Itu artinya, nasionalisme yang dikaitkan dengan prinsip
“kiri” itu telah menjadi bagian penting dari pemikiran para pendiri bangsa
Indonesia, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sjahrir dan tokoh
bangsa semasa. Meski terdapat perbedaan pemikiran secara tajam di antara
mereka, tapi mereka memiliki titik singgung bersama pada penolakan terhadap
borjuisme dan mendorong terwujudnyanya keadilan sosial sebagai cita-cita utama
sebagai sebuah bangsa merdeka. Tentu banyak literatur yang membentang
dialektika pemikiran "kiri" di antara tokoh bangsa kita di masa itu.
Dan itu perlu kita baca-pelajari. Bukan dirazia, apalagi dibakar!
Sayangnya, sekalipun pasca reformasi sampai sekarang terus
bermunculan buku-buku (karya ilmiah) yang terus menjelaskan (untuk menyebut
membuka tabir gelap) peristiwa kelam yang pernah terjadi dalam sejarah
perjalanan republik ini, pengertian “kiri”, sebagaimana cerita di awal tulisan,
mengandung bias di masyarakat yang seolah sengaja dirawat dari rezim ke rezim
kekuasaan.
Bias tersebut, salah satu kemungkinan, bisa jadi buah dari
politik pengendalian ingatan kolektif sepanjang Orde Baru (32 tahun di bawah
kepemimpinan Soeharto), yang membatasi ingatan warga hanya seputar peristiwa
dinihari 1 Oktober 1965, yang berujung
terbunuhnya enam Jenderal dan berakhir di lubang buaya. Apatahlagi tayangan
film G.30 S PKI besutan Arifin C. Noer, yang wajib ditonton warga masa itu
menjadikannya seolah abadi.
Akibatnya, aksi massa pemberangusan massal sepanjang sisa
1965 dan berlanjut hingga era setelahnya, pencabutan paspor mahasiswa Indonesia
di luar negeri sehingga menjadi orang terbuang (eksil), pembuangan paksa ke
Pulau Buru, stigma dan diskriminasi terhadap keluarga korban 65, yang dianggap
anggota dan simpatisan PKI beserta keluarga dan kerabatnya, dan termasuk
rentetan sejarah lainnya yang hingga sekarang terus menjadi kontroversi,
menjadi noktah hitam yang seolah menapalbatas terwujudnya rekonsiliasi.
Belum lagi, wacana seolah kebangkitan PKI (dengan diembeli
isu-isu populisme: politik identitas keagamaan) di republik ini senantiasa
muncul ke publik secara musiman, seperti jelang September tiap tahun dan jelang
momentum politik elektoral, baik pemilihan Presiden maupun kepala daerah. Tak
syak, delusi akan PKI-Komunisme dan kelompok yang tergolong ke dalam gerakan
‘kiri’, datang seolah sebagai “Hantu” yang tujuannya sengaja menciptakan rasa
takut.
Akhirnya, pertanyaan yang segera muncul di pikiran saya,
siapa sesungguhnya yang berkepentingan terhadap maraknya aksi pembodohan dalam
bentuk pelarangan, sweeping atau razia dan bahkan pembakaran buku-buku
berhaluan kiri sebagai sumber pengetahuan sekaligus menjaga asa untuk
senantiasa kritis terhadap kekuasaan dan realitas sosial yang timpang di
sekeliling kita? Laiak sebagai renungan akhir pekan kita jelang lebaran Idul
Adha.
*Tulisan ini pernah terbit di portal kajanglako.com pada 10 Agustus 2019.
0 Komentar