Candi Muarajambi |
Oleh: Jumardi Putra*
Jumat, 27 September 2019, bertempat di ruang rapat kantor
Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Jambi, Balai Arkeologi Sumatera
Selatan menyelenggarakan kegiatan Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) bertajuk
“Kompleks Percandian Muarajambi Menuju Warisan Dunia”.
Budi Wiyana, Kepala Balai Arkeologi Sumatera Selatan, dalam
sambutannya, mengatakan DKT ini bertujuan menampung saran dari narasumber
maupun peserta tentang arah penelitian dan kegiatan pelestarian kawasan situs
Muarajambi sehingga bisa membantu kajian akademis yang diperlukan untuk
pengusulannya sebagai warian dunia.
“Mendapatkan predikat warisan dunia bagi kawasan Percandian Muarojambi memerlukan proses panjang dan tidak mudah, tetapi optimisme harus terus dipupuk, terutama komitmen sekaligus kerja-kerja terukur dan berkelanjutan pemerintah daerah Kabupaten Muarajambi sebagai ujung tombak,” ungkapnya di hadapan peserta DKT.
Peserta DKT ini terdiri dari unsur pemerintah daerah, yakni
Bappeda dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Muarojambi, Camat
Marosebo dan Tanggorajo, Ketua Umum Perkumpulan Umat Budha Jambi, dan akademisi
arkeologi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Jambi. Sementara narasumber
diskusi terpumpun ini adalah Nungrahani dari Departemen Arkeologi FIB UGM dan
Mubarok, peneliti di Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi.
Nugrahani, dalam presentasinya, memaparkan contoh daerah maupun negara lain yang berhasil meraih predikat warisan dunia, khususnya kesiapan dokumen atau dossier pengusulan warisan budaya dunia sekaligus penyusunan kriteria Outsanding Universal Values (OUV) sebuah situs cagar budaya.
Menurut pengajar arkeologi UGM ini, selain sebagai pusat peribadatan umat Budha, kompleks Percandian Muarajambi seluas 3.981 hektar ini juga sebagai pusat pendidikan atau pembelajaran pada abad ke-7 sampai 14 Masehi. Sebuah kompleks yang memiliki reputasi internasional di masa itu, sehingga kita bisa mengenal tokoh besar seperti Atisha Dipamkara dari Tibet pernah tinggal menetap dan belajar dengan Guru Besar Dharmakitri di Candi Muarojambi, Sumatera, selama 11 tahun lamanya atau sekitar tahun 1011-1023 Masehi.
Di samping itu, kawasan percandian Muarajambi berlokasi di sekitar Sungai Batanghari yang merupakan dataran banjir, telah direkayasa sedemikian rupa agar bisa ditempati sebagai tempat peribadatan dan permukiman pada saat itu. Begitu juga kanal buatan yang mengelilingi kompleks percandian dan kolam penampungan air itu juga berfungsi sebagai sarana transportasi dan sumber protein atau pangan dari beragam jenis ikan.
“Kanal buatan itu merupakan salah satu pencapaian kemahiran masyarakat pendukung Kompleks Percandian Muarajambi di masa itu,” tukasnya.
Sebagai ekosistem, lanjut perempuan yang akrab disapa bu Ani
ini, Mahavihara Kompleks Muarajambi tentu memiliki suatu unsur-unsur: pola
hidup masyarakat dan pengelolaan orang-orang yang datang dari dunia internasional.
Bertolak dari hal di atas, Nugrahani mengusulkan perlu kajian ulang terhadap dossier kawasan percandian Muarojambi yang sebelum ini diajukan ke UNESCO untuk mendapatkan warisan budaya dunia, utamanya penjelasan tentang kriteria OUV. Apalagi, sejak tahun 2009 status tentative list (daftar tunggu) kompleks Percandian Muarojambi yang diusulkan ke UNESCO belum berhasil meraih predikat sebagai warisan dunia.
Selanjutnya menurut Nugrahani, menimbang keberadaan prasasti di Sumatra tergolong terbatas, mengkaji Mahavihara Muarajambi yang berabad lampau itu bisa melalui cerita lisan atau tambo yang tersimpan dan disampaikan secara turun temurun oleh masyarakat setempat. Sedangkan Mubarok, dalam presentasinya, fokus mengetengahkan pergesaran paradigma warisan dunia sekarang ini, baik yang bersifat natural, benda cagar budaya, dan atau gabungan dari keduanya, serta peta warisan dunia di kawasan Eropa dan Asia plus ketimpangan antar keduanya.
Di samping itu, Mubarok juga memaparkan langkah, tahapan,
dan tawaran OUV (Outsanding Universal Values) yang melekat pada Kawasan
Percandian Muarajambi sebagai cagar budaya pendidikan dalam rentang waktu abad
ke-7 sampai abad ke 14 Masehi.
Menurutnya, kompleks Percandian Muarajambi dapat dilihat dalam beberapa aspek, yang satu dengan yang lainnya saling terhubung, yaitu: merupakan kawasan percandian yang berfungsi sebagai pusat peribadatan atau keagamaan serta pusat pendidikan; bagian dari jalur perjalanan para biksu Buddha menuntut ilmu; memiliki kesamaan secara bentuk arsitektural dan teknologi pembuatan; berada dalam satu kawasan Asia dan Asia Tenggara; dan merupakan satu rangkaian pertautan dan pertukaran kebudayaan Hindu-Buddha yang berkembang sejak abad ke-2 hingga abad ke-14 di kawasan Asia.
Beberapa agenda penting dan mendesak untuk pengusulan Kompleks Percandian Muarajambi sebagai warisan dunia ke UNESCO, lanjut Mubarak, adalah pertama, pembentukan tim yang terdiri dari unsur Pemkab Muarajambi, Pemprov Jambi, BPCB Jambi, Balar Sum-Sel, institusi pendidikan, pemerhati budaya, elemen masyarakat, dan kalangan Swasta; kedua, konsultasi dan koordinasi ke Pemerintah Pusat (dalam hal ini Direktorat Warisan dan Nilai Budaya Kemdikbud); ketiga, penelusuran data dan informasi: penelitian, kajian, publikasi, naskah/foto/gambar lama; keempat, penyusunan Dossier (Naskah dan dokumen pendukung); kelima, studi komparasi situs warisan dunia (dalam negeri dan luar negeri); keenam, pendampingan ahli (dalam negeri dan luar negeri); dan ketujuh, fokus penelitian/riset: mengungkap nilai penting kompleks Percandian Muarajambi.
Bersamaan hal itu, kata Mubarak, Pemkab Muarojambi perlu
menyusun regulasi dalam bentuk peraturan daerah tentang cagar budaya serta
membentuk badan pengelola percandian Muarajambi lintas stakeholder (elemen
masyarakat, pemerintah, swasta, dan akademisi) serta menyusuan Rencana
Pengelolaan (Management Plan) kawasan Percandian Muarojambi sebagai “Heritage
of Education”
Sepanjang FGD berlangsung, komitmen pemerintah kabupaten
Muarajambi menjadi perhatian narasumber dan peserta, karena dinilai belum
maksimal menjalankan peran dan tanggung jawabnya untuk pengusulan Kompleks
Percandian Muarajambi sebagai warisan budaya dunia. Hingga sekarang pemerintah
Kabupaten Muarajambi belum menyusun Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati serta
manajemen pengelolaan kawasan Percandian Muarajambi. Dan, tim Ahli Cagar Budaya
Kabupaten Muarojambi yang dibentuk semasa Bupati Muarajambi, Burhanuddin Mahir,
hingga kepemimpinan Bupati Muarajambi sekarang, Masnah-Bambang Bayu Susesono,
tidak difungsikan.
Menanggapi permasalahan pengusulan Kompleks Percandian Muarajambi sebagai warisan dunia, Kristanto, peneliti BPCB, mengatakan kita bisa belajar pada keberhasilan Kota Sawahlunto ditetapkan oleh UNESCO sebagai World Heritage alias Situs Warisan Dunia dengan nama Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto, pada Sabtu, 6 Juli 2019, di Kota Baku, Azerbaijan. Capaian itu tidak lepas dari komitmen dan kerja keras pemerintah Kota Sawahlunto dengan didukung pemerintah provinsi Sumatra Barat dan Ditjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Karena itu, lanjut Kristanto, pemerintah Kabupaten Muarajambi perlu serius dan fokus.
Sementara dua lembaga seperti BPCB Jambi dan Balai Arkeologi Sumatra Selatan, kata Kristanto, merupakan lembaga pendukung, baik dari sisi kajian maupun pelestarian yang menjadi tupoksi kedua lembaga tersebut.
Bambang Novrianto, kepala bidang ekonomi, Bappeda kabupaten Muarajambi, mengatakan Pemda Muarajambi berkomitmen untuk turut serta menjadikan kompleks Percandian muarajambi sebagai warisan dunia. Sebagai destinasi pariwisata unggulan, Pemda Muarajambi telah banyak berbuat, baik dalam bentuk dukungan anggaran maupun program. “Kami mengapresiasi kegiatan diskusi terpumpun ini, sehingga masukan dari bapak/ibu menjadi bahan bagi pemerintah Muarajambi,” imbuhnya.
Senada dengannya, Ahmad Arif Nazori, Kabid Fisik Bappeda Muarojambi, mengapresiasi kegiatan diskusi ini. Dikatakannya, kompleks Percandian Muarajambi sebagai destinasi wisata unggulan masuk ke dalam visi-misi pemerintah Muarajambi. Hanya saja, kendala bagi pemerintah Kabupaten Muarojambi sekarang ini adalah belum adanya kepastian zonasi kawasan pengembangan Kompleks Percandian Muarojambi.
Harapan kami, lanjutnya, kabupaten Muarajambi diberikan ruang untuk melakukan pembangunan di zonasi kawasan pengembangan percandian Muarajambi untuk mendongkrak jumlah kunjungan wisatawan. “Pemerintah Kabupaten Muarajambi berterima kasih kepada pemerintah pusat selama ini yang terus membantu, salah satunya pembangunan infrastruktur untuk pelebaran jalan ke arah Candi Muarajambi,” kilahnya.
Tidak jauh berbeda dari keduanya, Robi Juwanda, Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kepemudaan Olahraga Kabupaten Muarojambi, mengatakan perhatian kementerian Pariwisata terhadap kawasan Percandian Muarajambi sangat luar biasa. “Saya akan mengusulkan ke kepala Dinas Pariwisata agar membuat FGD seperti ini, dimana kami akan mengumpulkan stakeholder terkait untuk bersama-sama mendorong agar kompleks Percandian Muarajambi sebagai warisan dunia dapat terwujud,” ungkapnya.
Dua tahun ini, lanjutnya, kami mendapat bantuan dana Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah pusat, seperti pembangunan fasilitas kios souvenir dan jalan setapak antara situs di Kompleks Percandian Muarajmbi.
Diakui Juwanda, pemerintah Kabupaten Muarajambi belum memiliki peraturan daerah tentang cagar budaya maupun konsep pengelolaan kompleks Percandian Muarajambi. Baru Tahun 2020 disusun Perda tentang Rancangan Induk Pengembangan Pariwisata (RIPPDA) Kabupaten Muarajambi. Ripparda tersebut, kata Robi, adalah dasar bagi Pemerintah Kabupaten Muarajambi melakukan pengembangan pariwisata di Kabupaten Muarajambi, tidak terkecuali destinasi wisata Kompleks Percandian Muarajambi
Salah satu program Dinas Pariwisata Kabupaten Muarajambi, yaitu Festival Candi Muarojambi. Festival ini sudah berlangsung ke-15 tahun. Sayangnya, menurut Juwanda, sejak dua tahun 2017 dan 2018, Festival ini tidak lagi masuk ke dalam kalender 100 iven nasional. “Kami akan bekerja keras agar bisa masuk lagi ke dalam kalender 100 even nasional,” imbuhnya.
Camat Marosebo, Umar Ahmad, mengatakan masyarakat selama ini mendukung upaya mewujudkan kompleks Percandian Muarajambi sebagai warisan dunia. Masyarakat hanya membutuhkan kerja kongkrit-berkelanjutan dari pengambil kebijakan, baik pemerintah kabupaten Muarajambi, provinsi Jambi dan pemerintah pusat. Salah satunya, ia mencontohkan, pembangunan infrastruktur jalan menuju ke arah Candi dan di dalam area kawasan Percandian yang selama ini kita ketahui belum memadai.
Sedikitnya dua Desa, yakni Muarojambi dan Danau Lamo, yang membackup kawasan percandian Muarojambi selama ini. Sayangnya, kata Umar, kedua kepala Desa tersebut tak hadir dalam kesempatan FGD ini. “Misi kami di kecamatan Marosebo sudah selaras dengan BPCB dan Balar Akerologi Sumatra Selatan untuk mendorong kompleks percandian Muarajambi dapat ditetapkan sebagai warian dunia,” tuturnya.
Menurutnya, diskusi seperti ini harus terus digalakkan dengan melibatkan ketua pemuda, kepala Desa, ketua BPD, dan karang taruna. “Dana desa juga dapat digunakan untuk menunjang pengembangan kawasan wisata percandian Muarajambi. Untuk mendukung itu, saya sudah berkomunikasi dengan Bupati, dan beliau setuju dengan gagasan kami mewujudkan Desa Pelangi,”imbuhnya.
Khusus soal pelepasan hak tanah, lanjutnya, pihak kecamatan dengan warga masyarakat di kawasan Percandian sepakat tidak akan menjual tanah miliknya, dan itulah bentuk dukungan masyarakat.
Asyhadi Mufsi Sadzali, ketua program studi arkeologi FIB
Universitas Jambi, mendukung penuh upaya mewujudkan Kompleks Percandian
Muarajambi sebagai warisan dunia. Secara institusi, arkeologi FIB UNJA akan
mendukung dalam bentuk kajian/penelitian dan mensosialisasikannya.
“Kami tentu terbuka untuk kerjasama dengan pemerintah Kabupaten Muarajambi dan pemerintah provinsi Jambi,”kilahnya.
“Kami tentu terbuka untuk kerjasama dengan pemerintah Kabupaten Muarajambi dan pemerintah provinsi Jambi,”kilahnya.
Hanya saja, lanjut pria yang biasa disapa Didi ini, upaya
pemerintah Muarajambi belum terlihat secara jelas, terukur dan memberikan efek
domino bagi upaya ke arah perwujudan warisan dunia.
“Kami berharap, pemerintah kabupaten Muarajambi gencar
membangun kerjasama dengan berbagai pihak, tak terkecuali dengan institusi
pendidikan tinggi. Beberapa hasil penelitian kami di kawasan percandian
Muarajambi sejatinya dapat digunakan pemerintah daerah untuk menyusun
kebijakan. Sayangnya, meski selalu kami undang, beberapa kali sosialisasi hasil
penelitian kami tidak dihadiri langsung oleh pengambil kebijakan di Kabupaten
Muarajambi. Bahkan, tawaran MOU penelitian arkeologi FIB UNJA ke pemerintah
daerah Muarajambi, hingga sekarang belum ada sambutan,” ungkapnya.
Asyhadi menambahkan FIB UNJA beberapa waktu ke depan akan melakukan studi banding ke situs warisan dunia Sawahlunto. Hasil kunjungan tersebut nantinya kami serahkan ke pemeritah Kabupaten Muarajambi agar menjadi salah satu bahan masukan dalam upaya mewujudkan Percandian Muarajambi sebagai warisan dunia.
Senada dengan Asyhadi, Rudy Zhang, ketua umum perkumpulan umat Budha Jambi, mengatakan upaya mewujudkan kompleks Percandian Muarajambi sebagai warisan dunia membutuhkan kerjasama berbagai pihak, tak terkecuali keterlibatan umat Budha, mengingat kawasan Percandian Muarajambi, dalam sejarah panjangnya, adalah pusat peribadatan sekaligus pusat pendidikan terkenal pada masanya.
“Komunitas umat Budhis siap berkontribusi bersama stakeholder lainnya mewujudkan kompleks Percandian Muarajambi sebagai warisan dunia,” tegasnya.
Berkaitan penyusunan UOV Kompleks Percandian Muarojambi, Rudy Zhang, mengusulkan perlunya para peneliti mengkaji kitab-kitab ajaran umat Budha, karena terlihat jelas peran dan fungsi kompleks Percandian Muarajambi di dalamnya sebagai pusat pembelajaran tentang nilai-nilai kemanusiaan, selain juga ilmu pengetahuan
Di samping itu, bagi Rudy, konsekuensi menjadikan Percandian Muarajambi sebagai destinasi wisata, adalah meniscayakan ketersediaan infrastruktur yang memadai, terutama akses jalan ke arah Candi, parkir dan fasilitas pendukung lainnya di kawasan Percandian.
“Kami umat Budhis memiliki hari-hari penting keagamaan yang mendatangkan umat Budha dari berbagai negara ke kawasan percandian Muarajambi, tetapi dalam pelaksanaannya sering menemui kendala, yakni fasilitas jalan, parkir dan kebutuhan pendukungnya lainnya yang belum memadai. Karena itu, pemerintah daerah Muarajambi harus betul-betul menyiapkan secara matang dan melibatkan banyak pihak,” pungkasnya.
*Catatan ini merupakan hasil keikutsertaan penulis pada
Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) bertajuk “Kompleks Percandian Muarajambi
sebagai Warisan Dunia” pada Jumat, 27 September 2019, bertempat di kantor Balai
Pelestarian Cagar Budaya Jambi. Tulisan ini terbit pertama kali di portal kajanglako.com pada tanggal 5 Oktober 2019.
0 Komentar