Oleh: Jumardi Putra*
Dua minggu lepas, saya mengunjungi kediaman Fauzi Zubir, yang berlokasi di Jalan Arif Rachman Hakim, Lorong Citra, Karya Maju Rt 34 Nomor 06, Kelurahan Simpang Sipin IV, Telanaipura, Kota Jambi.
Kehadiran saya malam itu tidaklah sendirian. Sebelum saya dua orang mahasiswa Universitas Jambi tengah asyik berdiskusi dengan Pakwo Fauzi, begitu ia biasa disapa.
“Ramai macam ni hal lumrah di rumah kami,” kilahnya sembari mempersilakan saya masuk.
Tanpa tedeng aling-aling saya ikut ngota (untuk menyebut kongkow). Di atas meja dan sisi kanan beliau bertumpuk buku-buku seni rupa. Kami pun jatuh dalam percakapan yang intens, tak terkecuali mengungkai hal-ihwal pendirian sanggar Tanah Pilih yang dimotori perupa Jafar Rasuh bersama dirinya 32 tahun lalu.
Selain tempat berkumpul para seniman, sanggar seni rupa Tanah Pilih merupakan tempat belajar melukis, mulai dari anak kecil hingga orang dewasa. Tak syak, di ruangan berukuran 6x8 meter tersebut terpajang puluhan lukisan karya dari anak didik yang sempat belajar bersamanya.
“Tamu dan peneliti terus berdatangan ke sanggar ini, ambil misal, seperti Konjen Amerika, peneliti dari Jepang, dan kalangan akademisi maupun mahasiswa dari berbagai kampus,” ungkapnya bahagia.
Meski tergolong tua, Sanggar Tanah Pilih (1984) tidaklah sendirian. Setahun setelahnya (1985), atas prakarsa beberapa perupa Jambi dibentuklah Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Jambi. Sementara itu, hingga tahun 1988 bermunculan sanggar-sanggar seni lukis lainnya, yakni Prapanca yang dimotori Suherman, Mayang Mengurai oleh Thomas Heru Sudratat, Adyanari oleh Heri dan Agustina, dan Merah Putih oleh Arifin Akhmad dan Anik Arifin.
“Hanya saja, SMSR berhenti di tahun 1992, tepat ketika Taman Budaya Jambi (TBJ) mulai berdiri. Seluruh tenaga pendidik pindah tugas mengurusi TBJ. Sementara lulusannya kami indukkan ke Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Padang,” jawabnya.
Lalu pada tanggal 16 Februari 1990 terbentuk Himpunan Seni Rupawan Indonesia Jambi (HSRIJ) dengan Ja’far Rassuh sebagai Ketua Umum dan Maman Suherman sebagai Sekretaris Umum.
“HSRIJ telah memacu kreativitas para perupa Jambi, setidaknya setiap tahun dilaksanakan kegiatan pameran bersama. Beberapa karya pelukis terkemuka Indonesia seperti Abbas Alibasyah, AJ. Pirous, Ahmad Sadali, Bagong Kusudiardjo, Danarto, Irsam, Kusnadi dan Popo Iskandar pernah mereka dampingi dalam ajang pameran bersama,” ungkapnya.
“Apa peristiwa penting dalam pasang surut organisasi seni rupa Jambi di masa Pakwo Fauzi,” tanyaku.
“HSRIJ berhasil memprakarsai Pameran Lukisan dan Dialog Perupa Se-Sumatera (PLDPS) yang digelar pertama kali pada tanggal 9 s.d 14 Oktober 1993 di Jambi. Itulah tonggak penting bagi PLDPS berikutnya, yang kita tahu telah belasan kali terselenggara,” tegasnya sembari mengingat pengalamannya sebagai Ketua Panitia (PLDPS) X Jambi 2007.
***
Dua minggu lepas, saya mengunjungi kediaman Fauzi Zubir, yang berlokasi di Jalan Arif Rachman Hakim, Lorong Citra, Karya Maju Rt 34 Nomor 06, Kelurahan Simpang Sipin IV, Telanaipura, Kota Jambi.
Kehadiran saya malam itu tidaklah sendirian. Sebelum saya dua orang mahasiswa Universitas Jambi tengah asyik berdiskusi dengan Pakwo Fauzi, begitu ia biasa disapa.
“Ramai macam ni hal lumrah di rumah kami,” kilahnya sembari mempersilakan saya masuk.
Tanpa tedeng aling-aling saya ikut ngota (untuk menyebut kongkow). Di atas meja dan sisi kanan beliau bertumpuk buku-buku seni rupa. Kami pun jatuh dalam percakapan yang intens, tak terkecuali mengungkai hal-ihwal pendirian sanggar Tanah Pilih yang dimotori perupa Jafar Rasuh bersama dirinya 32 tahun lalu.
Selain tempat berkumpul para seniman, sanggar seni rupa Tanah Pilih merupakan tempat belajar melukis, mulai dari anak kecil hingga orang dewasa. Tak syak, di ruangan berukuran 6x8 meter tersebut terpajang puluhan lukisan karya dari anak didik yang sempat belajar bersamanya.
“Tamu dan peneliti terus berdatangan ke sanggar ini, ambil misal, seperti Konjen Amerika, peneliti dari Jepang, dan kalangan akademisi maupun mahasiswa dari berbagai kampus,” ungkapnya bahagia.
Meski tergolong tua, Sanggar Tanah Pilih (1984) tidaklah sendirian. Setahun setelahnya (1985), atas prakarsa beberapa perupa Jambi dibentuklah Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Jambi. Sementara itu, hingga tahun 1988 bermunculan sanggar-sanggar seni lukis lainnya, yakni Prapanca yang dimotori Suherman, Mayang Mengurai oleh Thomas Heru Sudratat, Adyanari oleh Heri dan Agustina, dan Merah Putih oleh Arifin Akhmad dan Anik Arifin.
“Hanya saja, SMSR berhenti di tahun 1992, tepat ketika Taman Budaya Jambi (TBJ) mulai berdiri. Seluruh tenaga pendidik pindah tugas mengurusi TBJ. Sementara lulusannya kami indukkan ke Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Padang,” jawabnya.
Lalu pada tanggal 16 Februari 1990 terbentuk Himpunan Seni Rupawan Indonesia Jambi (HSRIJ) dengan Ja’far Rassuh sebagai Ketua Umum dan Maman Suherman sebagai Sekretaris Umum.
“HSRIJ telah memacu kreativitas para perupa Jambi, setidaknya setiap tahun dilaksanakan kegiatan pameran bersama. Beberapa karya pelukis terkemuka Indonesia seperti Abbas Alibasyah, AJ. Pirous, Ahmad Sadali, Bagong Kusudiardjo, Danarto, Irsam, Kusnadi dan Popo Iskandar pernah mereka dampingi dalam ajang pameran bersama,” ungkapnya.
“Apa peristiwa penting dalam pasang surut organisasi seni rupa Jambi di masa Pakwo Fauzi,” tanyaku.
“HSRIJ berhasil memprakarsai Pameran Lukisan dan Dialog Perupa Se-Sumatera (PLDPS) yang digelar pertama kali pada tanggal 9 s.d 14 Oktober 1993 di Jambi. Itulah tonggak penting bagi PLDPS berikutnya, yang kita tahu telah belasan kali terselenggara,” tegasnya sembari mengingat pengalamannya sebagai Ketua Panitia (PLDPS) X Jambi 2007.
***
Nama Fauzi Zubir tak asing lagi di kancah seni rupa. Pertemuan awal saya dengan lelaki berusia 64 tahun itu sekira lima tahun lalu di Taman Budaya Jambi, tepatnya usai mengikuti peluncuran website Angosoduo.net, yang kini entah di mana rimbanya.
Sejak itu kami bertemu dalam pelbagai kegiatan seni, baik di Dewan Kesenian Jambi, Taman Budaya Jambi, dialog budaya di tv-tv Lokal, atau pun dalam forum-forum dialog seni. Dalam proses itulah, saya melihat sosoknya yang bersahaja dengan lukisan yang meninggalkan kesan yang amat dalam. Segala hal menyangkut ketajaman pikiran, citra, harapan, gaya, estetika, dan kekayaan batiniah menyembul dari goresan di kanvasnya.
Herman, dalam tulisannya, Selayang Pandang Perkembangan Seni Lukis Jambi, sebagaimana dilansir tamanbudayajambi.com (2009), menyebutkan Fauzi Z merupakan salah satu pelukis muda yang menonjol dengan lukisan ilustrasi-impresif pada tahun 1980-82 bersama perupa lainnya, untuk menyebut contoh, seperti Jafar Rassuh dan Suherman muncul dengan ekspresif, Sabri Jamal dengan gaya semi figur, Noor Saga, Tukiran, Sunaryo dan Junaidi muncul dengan gaya dekoratif, sedangkan Sumardi DS tampil dengan karya patung dan sketsa, Agus Hadi dengan karya patung dan lukisan realis, serta beberapa pelukis lainnya seperti Dadang, Nanang Hadi, Suhojo, Joko KR dan M. Pakpahan tampil dengan gaya yang berbeda pula.
Merujuk beberapa katalog seni rupa (untuk menyebut lolos kurasi) yang tersimpan di rumahnya, terlihat secara jelas bahwa Fauzi adalah salah satu pelukis Jambi yang hingga saat ini diakui kualitasnya. Tak pelak, Kusnadi sekalu pengamat dan kritikus Seni Rupa Indonesia menyatakan bahwa karya-karya yang ditampilkan para pelukis Jambi, tak terkecuali Fauzi Z selalu menarik dan mengejutkan.
Setidaknya, sekira 900 buah lukisan telah ia hasilkan sampai saat ini. Umumnya lukisan tersebut telah diikutkan ke dalam pameran di beberapa daerah di tanah air.
“Tersisa enam atau tujuh lukisan saya yang belum diikutkan ke dalam pameran. Selebih itu sudah,” ungkap lelaki kelahiran Batanghari 27 November 1952 itu.
Sejak itu kami bertemu dalam pelbagai kegiatan seni, baik di Dewan Kesenian Jambi, Taman Budaya Jambi, dialog budaya di tv-tv Lokal, atau pun dalam forum-forum dialog seni. Dalam proses itulah, saya melihat sosoknya yang bersahaja dengan lukisan yang meninggalkan kesan yang amat dalam. Segala hal menyangkut ketajaman pikiran, citra, harapan, gaya, estetika, dan kekayaan batiniah menyembul dari goresan di kanvasnya.
Herman, dalam tulisannya, Selayang Pandang Perkembangan Seni Lukis Jambi, sebagaimana dilansir tamanbudayajambi.com (2009), menyebutkan Fauzi Z merupakan salah satu pelukis muda yang menonjol dengan lukisan ilustrasi-impresif pada tahun 1980-82 bersama perupa lainnya, untuk menyebut contoh, seperti Jafar Rassuh dan Suherman muncul dengan ekspresif, Sabri Jamal dengan gaya semi figur, Noor Saga, Tukiran, Sunaryo dan Junaidi muncul dengan gaya dekoratif, sedangkan Sumardi DS tampil dengan karya patung dan sketsa, Agus Hadi dengan karya patung dan lukisan realis, serta beberapa pelukis lainnya seperti Dadang, Nanang Hadi, Suhojo, Joko KR dan M. Pakpahan tampil dengan gaya yang berbeda pula.
Merujuk beberapa katalog seni rupa (untuk menyebut lolos kurasi) yang tersimpan di rumahnya, terlihat secara jelas bahwa Fauzi adalah salah satu pelukis Jambi yang hingga saat ini diakui kualitasnya. Tak pelak, Kusnadi sekalu pengamat dan kritikus Seni Rupa Indonesia menyatakan bahwa karya-karya yang ditampilkan para pelukis Jambi, tak terkecuali Fauzi Z selalu menarik dan mengejutkan.
Setidaknya, sekira 900 buah lukisan telah ia hasilkan sampai saat ini. Umumnya lukisan tersebut telah diikutkan ke dalam pameran di beberapa daerah di tanah air.
“Tersisa enam atau tujuh lukisan saya yang belum diikutkan ke dalam pameran. Selebih itu sudah,” ungkap lelaki kelahiran Batanghari 27 November 1952 itu.
***
Meski keluarga besarnya tinggal di Batanghari, Jambi, tahun 1958 sampai 1969 Fauzi Z justru memulai bangku Sekolah Dasar sampai SMP di Palembang. Sejak di Palembang itulah ia aktif melukis.
Adapun keterlibatannya dalam pameran lukisan dimulai sejak ia menempuh pendidikan di SSRI Padang tahun 1970-an. Saat itu SSRI hanya ada tiga di Indonesia, yaitu di Padang, Bali, dan Yogyakarta. Bahkan saat di Padang, melukis mulai menjadi mata pencaharian Fauzi.
Salah satu pameran di masa itu yang berkesan baginya adalah saat mengikuti pameran lukisan di Pekanbaru, karena ia berangkat hanya menggunakan sepeda. “Saat itu sudah ada motor, tetapi orang semacam saya belum punya kemampuan memilikinya. Karena itu, memilih bersepeda untuk jarak yang begitu jauh adalah kenangan yang sulit dilupakan,” ungkapnya mengenang.
Setamat dari SSRI Padang, Sumatera Barat (1973), Fauzi memilih melanjutkan pendidikan tinggi di STSRI ASRI, yang sekarang lebih dikenal dengan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan mengambil jurusan ilustrasi grafis. Di Yogyakarta, selain dosen di ISI, Fauzi selalu merujuk pelukis Affandi, Wakidi, dan pematung Edi Sunarso.
Usai merampungkan kuliah di Yogyakarta selama hampir lima tahun (1973-1978), Fauzi tidak langsung pulang ke kampung, Jambi, melainkan memilih bekerja di Jakarta selama hampir dua tahun, tepatnya di Museum Gajah.
Bersamaan itu, Fauzi terlibat dalam pelbagai kegiatan seni di Ancol. Di situ ia kembali menemukan dunia kesenian, sebagaimana di Yogya, bergeliat dengan estetika, pemikiran, dan kelompok-kelompok intelektual yang tiada henti mendedah karya-karya seni, tak terkecuali seni rupa.
Meski keluarga besarnya tinggal di Batanghari, Jambi, tahun 1958 sampai 1969 Fauzi Z justru memulai bangku Sekolah Dasar sampai SMP di Palembang. Sejak di Palembang itulah ia aktif melukis.
Adapun keterlibatannya dalam pameran lukisan dimulai sejak ia menempuh pendidikan di SSRI Padang tahun 1970-an. Saat itu SSRI hanya ada tiga di Indonesia, yaitu di Padang, Bali, dan Yogyakarta. Bahkan saat di Padang, melukis mulai menjadi mata pencaharian Fauzi.
Salah satu pameran di masa itu yang berkesan baginya adalah saat mengikuti pameran lukisan di Pekanbaru, karena ia berangkat hanya menggunakan sepeda. “Saat itu sudah ada motor, tetapi orang semacam saya belum punya kemampuan memilikinya. Karena itu, memilih bersepeda untuk jarak yang begitu jauh adalah kenangan yang sulit dilupakan,” ungkapnya mengenang.
Setamat dari SSRI Padang, Sumatera Barat (1973), Fauzi memilih melanjutkan pendidikan tinggi di STSRI ASRI, yang sekarang lebih dikenal dengan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan mengambil jurusan ilustrasi grafis. Di Yogyakarta, selain dosen di ISI, Fauzi selalu merujuk pelukis Affandi, Wakidi, dan pematung Edi Sunarso.
Usai merampungkan kuliah di Yogyakarta selama hampir lima tahun (1973-1978), Fauzi tidak langsung pulang ke kampung, Jambi, melainkan memilih bekerja di Jakarta selama hampir dua tahun, tepatnya di Museum Gajah.
Bersamaan itu, Fauzi terlibat dalam pelbagai kegiatan seni di Ancol. Di situ ia kembali menemukan dunia kesenian, sebagaimana di Yogya, bergeliat dengan estetika, pemikiran, dan kelompok-kelompok intelektual yang tiada henti mendedah karya-karya seni, tak terkecuali seni rupa.
“Nah di tahun 80-an, oleh Datuk di kampung, saya diminta segera pulang ke Jambi,” ungkap Fauzi.
Sesampai di Jambi, hal pertama yang dilakukan Pakwo Fauzi mencari tempat mengajar, khsusunya seni rupa (baca: menggambar). Saat itu ia mulai mengajar di SPG dan Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan (sekarang LPMP) selama lima tahun.
Setelah tidak lagi mengajar, tahun 1989 Fauzi Z berkerja di Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jambi, tepatnya di bidang kesenian selama tiga tahun. Selah itu ia ditugaskan bekerja di Taman Budaya Jambi (TBJ) tahun 1992, awal mula TBJ lahir.
“Bagaimana perjalanan TBJ di masa awal hingga saat ini,” tanyaku.
Sebagai salah seorang yang terlibat di masa awal pendirian TBJ tahun 1992, Fauzi Z bersama Ja’far Rasuh (selaku Kepala TBJ), Edi Suroso, Raden Rizal, Bayu (kini kepala Anjungan Jambi di TMII), dan Syam (almarhum), berupaya menjadikan TBJ sebagai wadah strategis bagi seniman untuk berkarya, memperkaya wawasan dan jaringan, sekaligus mempublikasikan karyanya kepada khalayak luas. Saat itu, lanjut Fauzi, beberapa seniman daerah juga diajak bergabung ke TBJ, seperti saudara Hambali (Sarolangun), Iskandar Zakaria (Kerinci), Zul Bahri, Masykur (Bungo), dan Ahun.
Sesampai di Jambi, hal pertama yang dilakukan Pakwo Fauzi mencari tempat mengajar, khsusunya seni rupa (baca: menggambar). Saat itu ia mulai mengajar di SPG dan Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan (sekarang LPMP) selama lima tahun.
Setelah tidak lagi mengajar, tahun 1989 Fauzi Z berkerja di Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jambi, tepatnya di bidang kesenian selama tiga tahun. Selah itu ia ditugaskan bekerja di Taman Budaya Jambi (TBJ) tahun 1992, awal mula TBJ lahir.
“Bagaimana perjalanan TBJ di masa awal hingga saat ini,” tanyaku.
Sebagai salah seorang yang terlibat di masa awal pendirian TBJ tahun 1992, Fauzi Z bersama Ja’far Rasuh (selaku Kepala TBJ), Edi Suroso, Raden Rizal, Bayu (kini kepala Anjungan Jambi di TMII), dan Syam (almarhum), berupaya menjadikan TBJ sebagai wadah strategis bagi seniman untuk berkarya, memperkaya wawasan dan jaringan, sekaligus mempublikasikan karyanya kepada khalayak luas. Saat itu, lanjut Fauzi, beberapa seniman daerah juga diajak bergabung ke TBJ, seperti saudara Hambali (Sarolangun), Iskandar Zakaria (Kerinci), Zul Bahri, Masykur (Bungo), dan Ahun.
Masih segar dalam ingatan Fauzi Z, meski saat itu hanya ada fasilitas gedung teater Arena (yang terbakar tahun 2009) dan satu gedung kantor yang belum sebagus sekarang, TBJ di bawah kepemimpinan Jaraf Rasuh bergeliat dinamis. Semua genre seni diberi tempat yang sama. Bahkan, setiap pegelaran saat itu selalu disertai diskusi (formal-informal). Pun demikian perpustakaan, website dan buletin seni berjalan baik. Bahkan, lanjutnya, pelbagai seni tradisi, baik hasil olahan, eksperimen, dan penciptaan baru-modern berjalan menggembirakan.
Akan tetapi, menurut bapak dua anak ini, semangat tersebut berkebalikan dengan kondisi TBJ saat ini yang dari aspek fasilitas jauh lebih baik. TBJ perlahan-lahan mulai kehilangan gairah dan ruhnya. Yang mengemuka justru aktivisme belaka. Bahkan, antusiasme seniman saat ini tidak seperti masa-masa sebelumnya.
“Khusus mengenai penelitian seni tradisi Jambi saat ini berjalan lambat, bahkan boleh dikata stagnan. Kita belum melihat ada upaya signifikan untuk melanjutkan penelitian-penelitian yang dilakukan generasi sebelumnya ke taraf yang lebih maju, baik berkaitan dengan kualitas penelitian maupun medium publikasi yang beragam,” imbuhnya menaruh rasa heran.
“Bagaimana kegiatan seni di Jambi pada tahun 90-an?,” lanjutku.
Kegiatan seni di tahun 90 sampai 2000-an tidak kalah dengan sekarang. Kesenian masa itu hadir di ruang-ruang publik di Kota Jambi, seperti di Tugu Juang, Gedung Wanita, dan Universitas Jambi Pasar.
Bahkan jauh sebelum tahun 90-an, lanjut Fauzi, Persatuan Pelukis Daerah Djambi di tahun 1960 telah menyelenggarakan pameran bersama di Gedung Nasional (Gedung BKOW sekarang). Berlanjut pada awal tahun 1963, kelompok Seruja mengadakan pameran di Singapura dengan misi kesenian Rangkayo Hitam. Kemudian pada tahun 1971 kegiatan pameran pun mulai sering dilakukan, bahkan rutin dimulai dari tahun 1973, 1976, 1977, 1978, 1979, 1980, 1983, 1989, dan sampailah ke tahun 1990, yaitu memeriahkan hari jadi ke-33 Provinsi Jambi, seniman lukis bersama Kanwil Depdikbud Provinsi Jambi melakukan pameran di Gedung Olah Seni (Taman Budaya Jambi).
***
Hari larut malam. Kami masih bersetia ngota. “Bagaimana Pakwo mengamati Jambi saat ini?” tanya saya spontan.
Saat ini kebudayaan berjalan tanpa kendali. Globalisasi seolah tidak memberi kemungkinan-kemungkinan bagi tumbuh-kembangnya seni budaya lokal. Semua terkurung dalam budaya massa. Orang-orang manjadi pragmatis dan serba materialistis. Saat bersamaan, orang tak mau lagi duduk bersama membincangkan perkara kepublikan.
“Saya melihat antara pemerintah, seniman-budayawan, kaum adat, dan penikmat seni tak lagi berjalan bersama membanguan seni budaya Jambi. Faktanya, infrastruktur dan sumber pendanaan kesenian bagi tiap-tiap komunitas tak ada. Mereka dibiarkan berjuang sendiri-sendiri. Ada yang berhasil bertahan berjuang seadanya. Tak sedikit yang gagal. Pun demikian, regulasi yang secara khusus memperkuat keberadaan individu seniman berserta lembaga seni masih jauh panggang dari api,” ungkapnya.
Sementara itu, lanjut Pakwo Fauzi, bila kita merujuk negara seperti Jepang, di setiap kecamatan setiap minggu selalu ada pergelaran seni. Begitu juga dengan Tiongkok, peran budayawan, sejarawan, arkeolog, seniman, dan media sangatlah besar.
“Upaya mereka harus kita puji dan jadikan contoh betapa usaha meneruskan makna demi memberikan koordinat bagi generasi muda memandang ke depan itu dilakukan dengan kesadaran akan hari depan suatu negara dan bangsanya,” kilahnya.
“Apa yang harus segera kita lakukan Pakwo?” pinta saya.
Banyak hal yang dapat kita lakukan, kata Pakwo Fauzi, salah satunya, kita memerlukan budaya pembentukan ruang-ruang kultural (yang historis) dan tertulis ke dalam berbagai medium kreativitas seni. Dengan cara itu, Jambi berjalan secara dinamis, karena bergerak dalam ruang-ruang kultural, intelektual serta proses pendewasaan terhadap simbol-simbol kebudayaan yang menghiasi lintasan zaman, yang puncaknya menghadirkan harmoni dan keadaban bersama.
“Adakah yang lain, Pak wo?” yakinku.
“Pemerintah Provinsi Jambi beserta pemerintah Kabupaten/Kota harus menjadikan kebudayaan sebagai bagian integral dari pembangunan ke depan. Jangan reduksikan budaya hanya soal pariwisata. Fasilitasilah komunitas/kelompok seni. Niscaya ke depan Jambi berjalan dinamis, lantaran pemimpin dan warganya tidak melupakan sejarah dan akar budayanya," imbuhnya optimis.
Akan tetapi, menurut bapak dua anak ini, semangat tersebut berkebalikan dengan kondisi TBJ saat ini yang dari aspek fasilitas jauh lebih baik. TBJ perlahan-lahan mulai kehilangan gairah dan ruhnya. Yang mengemuka justru aktivisme belaka. Bahkan, antusiasme seniman saat ini tidak seperti masa-masa sebelumnya.
“Khusus mengenai penelitian seni tradisi Jambi saat ini berjalan lambat, bahkan boleh dikata stagnan. Kita belum melihat ada upaya signifikan untuk melanjutkan penelitian-penelitian yang dilakukan generasi sebelumnya ke taraf yang lebih maju, baik berkaitan dengan kualitas penelitian maupun medium publikasi yang beragam,” imbuhnya menaruh rasa heran.
“Bagaimana kegiatan seni di Jambi pada tahun 90-an?,” lanjutku.
Kegiatan seni di tahun 90 sampai 2000-an tidak kalah dengan sekarang. Kesenian masa itu hadir di ruang-ruang publik di Kota Jambi, seperti di Tugu Juang, Gedung Wanita, dan Universitas Jambi Pasar.
Bahkan jauh sebelum tahun 90-an, lanjut Fauzi, Persatuan Pelukis Daerah Djambi di tahun 1960 telah menyelenggarakan pameran bersama di Gedung Nasional (Gedung BKOW sekarang). Berlanjut pada awal tahun 1963, kelompok Seruja mengadakan pameran di Singapura dengan misi kesenian Rangkayo Hitam. Kemudian pada tahun 1971 kegiatan pameran pun mulai sering dilakukan, bahkan rutin dimulai dari tahun 1973, 1976, 1977, 1978, 1979, 1980, 1983, 1989, dan sampailah ke tahun 1990, yaitu memeriahkan hari jadi ke-33 Provinsi Jambi, seniman lukis bersama Kanwil Depdikbud Provinsi Jambi melakukan pameran di Gedung Olah Seni (Taman Budaya Jambi).
***
Hari larut malam. Kami masih bersetia ngota. “Bagaimana Pakwo mengamati Jambi saat ini?” tanya saya spontan.
Saat ini kebudayaan berjalan tanpa kendali. Globalisasi seolah tidak memberi kemungkinan-kemungkinan bagi tumbuh-kembangnya seni budaya lokal. Semua terkurung dalam budaya massa. Orang-orang manjadi pragmatis dan serba materialistis. Saat bersamaan, orang tak mau lagi duduk bersama membincangkan perkara kepublikan.
“Saya melihat antara pemerintah, seniman-budayawan, kaum adat, dan penikmat seni tak lagi berjalan bersama membanguan seni budaya Jambi. Faktanya, infrastruktur dan sumber pendanaan kesenian bagi tiap-tiap komunitas tak ada. Mereka dibiarkan berjuang sendiri-sendiri. Ada yang berhasil bertahan berjuang seadanya. Tak sedikit yang gagal. Pun demikian, regulasi yang secara khusus memperkuat keberadaan individu seniman berserta lembaga seni masih jauh panggang dari api,” ungkapnya.
Sementara itu, lanjut Pakwo Fauzi, bila kita merujuk negara seperti Jepang, di setiap kecamatan setiap minggu selalu ada pergelaran seni. Begitu juga dengan Tiongkok, peran budayawan, sejarawan, arkeolog, seniman, dan media sangatlah besar.
“Upaya mereka harus kita puji dan jadikan contoh betapa usaha meneruskan makna demi memberikan koordinat bagi generasi muda memandang ke depan itu dilakukan dengan kesadaran akan hari depan suatu negara dan bangsanya,” kilahnya.
“Apa yang harus segera kita lakukan Pakwo?” pinta saya.
Banyak hal yang dapat kita lakukan, kata Pakwo Fauzi, salah satunya, kita memerlukan budaya pembentukan ruang-ruang kultural (yang historis) dan tertulis ke dalam berbagai medium kreativitas seni. Dengan cara itu, Jambi berjalan secara dinamis, karena bergerak dalam ruang-ruang kultural, intelektual serta proses pendewasaan terhadap simbol-simbol kebudayaan yang menghiasi lintasan zaman, yang puncaknya menghadirkan harmoni dan keadaban bersama.
“Adakah yang lain, Pak wo?” yakinku.
“Pemerintah Provinsi Jambi beserta pemerintah Kabupaten/Kota harus menjadikan kebudayaan sebagai bagian integral dari pembangunan ke depan. Jangan reduksikan budaya hanya soal pariwisata. Fasilitasilah komunitas/kelompok seni. Niscaya ke depan Jambi berjalan dinamis, lantaran pemimpin dan warganya tidak melupakan sejarah dan akar budayanya," imbuhnya optimis.
Akhirnya, dalam era tumpah ruah informasi sekaligus mobilitas sosial tanpa limit saat ini, percakapan saya dengan perupa Fauzi Z menandai sebuah jeda. Ruang di mana masing-masing kita perlu berjalan ke dalam diri, sejenak keluar dari kebisingan hari-hari, dan bertanya sedemikian rupa. Apa di tengah semua ini?.
“Dalam proses berkesenian yang begitu panjang dan tidak mudah, apa refleksi Pakwo Fauzi,” tanyaku sebelum pamitan.
“49 tahun bertungkus lumus di jalan seni, saya menemukan kebahagiaan di jalur ini,” jawabnya mengakhiri.
*Tulisan ini terbit pertama kali di Jambiindependent.com pada tanggal 02 Mei 2016.
“Dalam proses berkesenian yang begitu panjang dan tidak mudah, apa refleksi Pakwo Fauzi,” tanyaku sebelum pamitan.
“49 tahun bertungkus lumus di jalan seni, saya menemukan kebahagiaan di jalur ini,” jawabnya mengakhiri.
*Tulisan ini terbit pertama kali di Jambiindependent.com pada tanggal 02 Mei 2016.
0 Komentar