Oleh: Jumardi Putra*
Sependek pembacaan saya, riset Jang Aisjah tentang Sarikat
Abang di Jambi masih dalam satu tarikan nafas (untuk menyebut seirama dengan
riset-riset yang ia lakukan sebelumnya), yang meneroka kemunculan perlawanan
rakyat lokal di beberapa daerah dalam bingkai konflik sosial, ekonomi politik,
dan hubungannya dengan struktur kuasa penjajah/kolonial, seperti tesisnya di
Universitas Kebangsaan Malaysia, tahun 1983, yang berjudul “Social Structure In
Rural Java: A Historical View On Rural Transformation Since The 1960” dan “The Pahang Rebellion, 1891–1895,
Kelantan/kota bharu: Pustaka Aman, 1972. Tahun 1980/1981, Jang Aisjah Muttalib
bersama tim, yang diketuai Prof. Sartono Kartodirdjo, melalui lembaga
besutannya, Pusat Penelitian dan Studi Pedesaan dan Kawasan UGM bersama
Rockefeller Foundation, meneliti tentang Respon Masyarakat Desa Terhadap Pogram
Pembangunan Desa Terpadu.
Rumput hijau penuh seluruh di atasnya. Di hadapan gundukan
tanah itu saya terpaku agak lama. Tidak ada bunga, kecuali tangan kanan saya
memegang erat sebuah disertasi. Sempat menaruh rasa tidak percaya, terlebih
setahun ini muncul kabar dirinya telah tiada, tetapi pusara di hadapan saya
benar adanya.
Segera saya meletakkan disertasi yang berjudul “Jambi 1900-1916:
From War to Rebellion (Columbia University, 1977)” itu di bucu kanan-bawah
nisan warna hitam dan bertuliskan dengan tinta kuning keemasan: Innalillahi
Wainnailaihi Rojiun, Jang Aisjah Muttalib binti Abang Abdul Muttalib. Lengkap
tanggal, bulan dan tahun wafat perempuan kelahiran 16 Juli 1942 itu.
***
Selasa, 10 Desember 2019, jarum jam tepat menunjukkan angka
13.35 WIB. Jakarta Selatan diguyur hujan. Berbekal informasi dari pak
Syamsurizal, saudara Jang Aisjah, dari arah Tebet, Jakarta Selatan, dengan
menggunakan gojek, saya menuju TPU Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur.
Ini kali pertama saya ke TPU Pondok Ranggon, peristirahatan
terakhir ratusan korban tak bernama dalam tragedi Mei 1998, setelah napak tilas semacam ini kerap saya lakukan bila bepergian ke ibu kota.
“Siapa perempuan ini, Mas,” tanya mas Haviz, gojek yang
mengantarkan saya, mengawali pembicaraan.
Pertanyaannya persis saat pertama kali saya menemui petugas
TPU Pondok Ranggon. Pasalnya, amat sulit mencari makam di antara ribuan pusara
bila tidak dilengkapi identitas nama, hari, tanggal, dan tahun pemakaman. Sementara saya hanya berbekal informasi bulan dan tahun pemakamannya. Namun
berkat kesabaran dan ketelitian petugas membaca buku daftar jenazah yang
dikebumikan di TPU ini, ditemukanlah identitas Jang Aisjah Muttalib, yang
meninggal pada 5 April 2019, berada di blok AAI Islam, blad 71 dan petak 319.
Almarhumah Jang Aisjah ini pernah menulis sebuah episode
perlawanan rakyat lokal terhadap kolonial Belanda di daerah Muaratembesi, Sarolangun dan Merangin di
provinsi Jambi sebagai tugas akhir pendidikan doktoralnya di Universitas
Columbia, Amerika Serikat, tahun 1977.
Kelompok rakyat ini dalam disertasinya
disebut Sarekat Abang dan bercorak milinearisme. P.E. Korver, dalam bukunya
“Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil”, menegaskan bahwa Sarikat Abang adalah suatu
tarekat. Semangat perang suci itu pula yang membuat Sarekat Abang menjadi
pendorong pemberontakan di Jambi. Begitu juga menurut sejarahwan Kuntowijoyo,
gerakan Mesianisme khas pada 1910-an, merupakan percampuran antara tradisi
pedesaan dan magi serta pemujaan nenek moyang dan orang keramat.
“Hubungannya dengan Anda,” sambungnya.
“Penelitiannya penting diketahui generasi sekarang ini, dan kami
di Jambi telah mendiskusikan buah pikiran beliu, meski belum bisa melampaui yang
ia kerjakan sebagai akademisi dengan terus menulis di usia senja hingga
merambah banyak topik di luar soal Jambi,” balas saya.
Keberadaan pusara Jang Aisjah ini segera saya kabarkan ke
Ratna Dewi, Husnul Abid, dan Wiwin Eko Santoso, yang selama ini bersetia
mengumpulkan literatur sejarah dan budaya tentang Jambi, dan sekaligus
mendiskusikannya melalui beragam medium dan forum. Memang, Ratna Dewi tengah menerjemahkan disertasi tersebut untuk diterbitkan sehingga
dapat dibaca publik luas. Terutama bagi kalangan mahasiswa jurusan ilmu sejarah,
tak terkecuali mahasiswa FIB ilmu sejarah Universitas Jambi.
Bukan tanpa alasan kepastian keberadaan Jang Aisjah membuat
lega saya dan kawan-kawan, karena hampir enam tahun hasil riset Jang Aisah tak
pernah luput menjadi pembicaraan di antara kami di Seloko Institute. Mulanya
tulisan Jang Aisjah kami temukan dalam versi artikel panjang di jurnal
Prisma 8 (1980) berjudul “Suatu
Tinjauan Mengenai Beberapa Gerakan Sosial di Jambi pada Perempatan Pertama Abad
ke 20” hal 26-37), "Social Movements in Jambi During the Early 20th
Century", Prisma: Indonesian Journal of Social and Economic Affairs, 22
(1981), dan berlanjut setelahnya mendapatkan versi utuh disertasi berkat kebaikan
saudara Ikhsan, sahabat yang kebetulan tengah menempuh pendidikan jenjang
doktoral di salah satu kampus di Belanda, yang membawa ke tanah air khusus
untuk kami di Seloko Institute.
Elsbeth Locher-Scholten, sejarahwan yang dikenal dengan
karyanya, "Sumatraans Sultanaat en Koloniale Staat: De Relatie
Djambi-Batavia (1830-1907)", menyebutkan bahwa sejarawan kritis yang
menulis tentang Jambi, selain Barbara Watson Andaya, adalah Jang Aisjah
Muttalib. Kapasitas Jang Aisjah sebagai sejarahwan juga diamini oleh sejarahwan
Prof. Kuntowijoyo, yang secara khusus di lembar kata pengantar di bukunya yang
berjudul “Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940”
menyebutkan ide-ide Jang Aisjah Muttalib turut mewarnai (kalau bukan menolong)
persiapan perumusan bukunya itu.
***
Segera mesin waktu di kepala saya seperti memutar kembali ke
Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) di Yogyakarta enam tahun lalu (2013). Di
sela forum KKI itu saya bertemu sejarahwan Prof. Anhar Gongong dan menanyakan ihwal
Jang Aishah. Tak banyak informasi yang saya dapatkan dari pak Anhar, kecuali
beliau menyarankan agar saya bertanya langsung ke jurusan ilmu sejarah
Universitas Gadjah Mada (UGM) atau sejawatnya yang sama-sama kuliah di
Universitas Columbia maupun kampus lain di Amerika Serikat. “Sudah lama sekali saya tidak tahu keberadaan
beliau. Semasa kuliah S1 di UGM, saya pernah dipercaya menjadi asisten dirinya,”
kenangnya.
Kali lain, peneliti senior LIPI, Dr. Riwanto Tirtosudarmo mengajak saya mengikuti diskusi kecil di LIPI, dan kebetulan hadir ketika itu
sejarahwan Prof. Taufik Abdullah. Usai diskusi, tanpa tedeng aling-aling, saya
menanyakan ihwal Jang Aisjah. Harapan saya tentu tak berlebihan pada sejarawan
yang dikenal dengan tesisnya di universitas Cornell, Ithaca, New York, berjudul
“Minangkabau 1900– 1927: Preliminary Studies in social Development, itu
lantaran dirinya pernah menjadi
kontributor dalam buku berjudul Pengetahuan Budaya, Ilmu-ilmu Sosial, dan
Pengkajian Masalah-masalah Agama. Sebuah buku kumpulan makalah kuliah yang
disampaikan pada kegiatan Pusat Latihan Penelitian Agama (PLPA) angkatan ke-3
(1978/1979), dimana di dalamnya juga memuat tulisan para ahli seperti Dr. Jang
Aisah Muttalib, Dr. Parsudi Suparlan, Dr. Soerjanto Poespowardoyo, Prof. Dr.
Harun Nasution, Prof. Dr. Haryati Soebadio, Prof. Dra. Siti Baroroh Baried,
Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar, Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, dan Dr. Mely G.
Tan.
Lagi, sebagaimana jawaban sejawatnya yang lain yang pernah
saya temui, Prof Taufik Abdullah pun tidak mengetahui pasti keberadaan Jang
Aisjah. Selain Prof. Taufik Abdullah dan Dr. Riwanto, saya juga
bertanya ke sejarahwan Prof. Erwiza Erman dan juga peneliti muda LIPI,
Saiful Hakam, melalui jaringannya sesama alumni ilmu sejarah UGM. Mereka turut
membantu saya mencarikan informasi keberadaan Jang Aisah dan menghubungkan saya
ke beberapa peneliti lain yang diharapkan bisa memberikan titik terang.
Waktu terus berjalan. Pencarian terus berlanjut. Dalam
sebuah kesempatan ketika saya mengikuti salah satu sesi diskusi dalam
rangkaian acara Borobudur Writers and
Cultural Festival (BWCF) tahun 2018 di Yogyakarta dan Magelang, Jawa Tengah,
dengan tajuk Nusantara dalam Catatan Pelawat Asing, saya bertemu dengan Azumardi Azra, profesor yang terkenal dengan penelitiannya tentang Jaringan
Ulama Nusantara: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII, padanya
sekilas saya bertanya mengenai Jang Aisah. “Saya pernah mendengar nama
tersebut, tapi sudah lama tidak tahu keberadaannya. Coba anda kontak
teman-teman di LIPI dan UGM,” jawab peraih Ph.D. dari Columbia University,
tahun 1992, sebuah kampus dimana Jang Aisah juga menyelesaikan pendidikan
doktoral lima belas tahun sebelumnya.
Tahun 2013 sampai 2019 berjalan begitu cepat. Pembicaraan mengenai karya
Jang Aisjah belum sepenuhnya pudar. Puncaknya, Senin, 21 Oktober 2019, Dinas
Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Jambi, bekerjasama dengan portal kajanglako.com dan Seloko Institute, menyelenggarakan diskusi sejarah dengan
topik sejarah Gerakan Pemberontakan Sarikat Abang di Jambi.
Djang Aisjah Muttalib, Sejarahwan (Kanan). Sumber: Syamsurizal |
Diskusi tersebut
mendapat sambutan positif dari para akdemisi, terutama mereka yang menekuni
sejarah dan budaya Jambi, bahkan saat informasi diskusi itu tersebar luas
melalui jejaring facebook, tak sedikit nitizen menyarankan agar panitia
mengundang Jang Aisjah Muttalib sebagai pembicara kunci. Penyelenggara mafhum
atas saran itu.
Meski tak bisa menghadirkan Jang Aisah, yang sedikit melegakan
panitia dan peserta diskusi, pembicara utama diskusi publik tersebut
adalah Erwiza Erman, profesor riset sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), yang kebetulan pernah diajar langsung oleh Jang Aisjah saat dirinya
menempuh studi s1 ilmu sejarah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Menariknya, kehadiran Prof. Erwiza Erman, selain membedah substansi disertasi
Jang Aisjah, juga mengungkai perspektif ekonomi politik penjajah dalam bingkai
global pada masanya, resistensi rakyat lokal terhadap keterlibatan kelompok
elit lokal yang sengaja didatangkan dari luar daerah sebagai panjang tangan
kolonial, serta mengemukakan beragam respon masyarakat agama (non Islam) di
Belanda terhadap Gerakan Sarikat Abang di Jambi yang bercorak millenearisme,
sebagaimana termuat di dalam koran-koran berbahasa Belanda.
Tidak hanya itu,
perempuan yang akrab dipanggil Bu Eng ini juga mengetengahkan
kemungkinan-kemungkinan studi lanjutan yang bisa dilakukan oleh peneliti
sekarang terhadap peristiwa pemberontakan Sarikat Abang di Jambi periode
1901-1916 itu.
***
Dua hari setelah diskusi publik itu saya ke Jakarta. Melalui
bantuan peneliti Saiful Hakam, usai menunaikan shalat Jumat kami bertemu
sejarahwan LIPI, Prof. Asvi Warman Adam, yang dikenal publik sebagai juru
bicara korban tragedi 1965 melalui riset dan tulisan populer, di ruang
kerjanya di lantai 11 gedung Widya Graha LIPI.
Selain berbicara tentang risetnya mengenai 1965 di Sumatra,
saya pun bertanya ihwal sejarahwan Jang Aisjah, meneruskan pembicaraan kami
sebelumnya melalui pesan pendek aplikasi whatsapp. Setelah agak lama
mengingat-ingat, Pak Asvi menghubungi seseorang di LIPI untuk mencari tahu
nomor telepon pak Syamsurizal, keluarga pihak Jang Aisjah, yang kebetulan juga
pernah bekerja di LIPI.
Berkat Pak Asvi saya mendapatkan nomor telepon pak
Syamsurizal beserta istrinya. Sejak mendapatkan nomor tersebut komunikasi saya dengan pak Syamsurizal terjalin baik. Meski belum bertemu secara langsung,
lantaran suatu hal, sedikit banyak informasi mengenai Ibu Jang Aisjah selama
menempuh pendidikan doktoral di Columbia Universty hingga bekerja setelah tidak
lagi mengajar di UGM menjadi penerang bagi kami di Seloko Institute untuk
mencatat pikiran sekaligus kiprah Jang Aisjah sebagai salah satu peneliti tentang
Jambi.
Gayung bersambut, pak Syamsurizal berjanji akan mencari tahu
keberadaan saudaranya itu, Jang Aisjah tadi. Dua hari setelah komunikasi antara
kami via telepon maupun melalui pesan pendek aplikasi whatsapp, pak syamsurizal
menghubungi saya, bahwa keinginan kami untuk bisa berjumpa bu Jang Aisjah tak
bisa lagi, lantaran beliau telah meninggal dunia. “Kapan, Pak, ibu meninggal,” tanya saya tak sabar.
“April 2019”. Sontak saya kaget menerima kabar tersebut,
karena belumlah lama. Masih di tahun 2019. Sejenak kemudian kepada saya mengucapkan bela sungkawa untuk keluarga mendiang sembari mendoakan
almarhumah. “Dimana beliau dimakamkan,” sambung saya. “Di TPU Pondok Ranggon,
Jakarta Timur,” jawabnya. “Baik, pak, terima kasih atas infromasinya,” balas
saya. “Amin,” jawabnya dengan suara pelan di ujung telepon.
***
Menurut Pak Syamsurizal, selama menempuh studi S1 di jurusan
ilmu sejarah UGM dan master di Universitas Malaya, Malaysia, Jang Aisjah
merupakan mahasiswi bimbingan sejarahwan Prof. Ibrahim T. Alfian, dan bahkan
beliau merekomendasikan Jang Aisjah meneruskan studi doktoralnya di Universitas Columbia. Namun, karena suatu hal, lanjut pak Syamsurizal, hubungan Jang
Aisjah Muttalib dengan Pak Ibrahim T. Alfian di masa akhir studi Jang Aisjah di
Columbia menjadi renggang.
Selanjutnya, setelah tidak lagi mengajar di UGM tahun 1983
Jang Aisjah bekerja sebagai staf di UNICEF-Indonesia dan menjabat sebagai
koordinator program Sub-district and community Cafasity Builiding. Ia juga
pernah bekerja sebagai asisten pengajar di Departemen sejarah Universitas
Malaya, Kuala Lumpur dari tahun 1968-1970.
Saya
menyadari masih banyak informasi mengenai sepak terjang beliau baik sebagai
akademisi maupun aktivitasnya setelah tak lagi mengajar di UGM beserta karya
tulisnya, penting untuk dicatat kembali dan disempurnakan oleh tangan-tangan
kreatif kemudian.
Salah satu karya Jang Aisjah Muttalib |
Sependek penelusuran saya, tulisan Jang Aisjah
pada periode berikutnya banyak mengangkat isu seputar gender, seperti
“Menggunakan Kerangka Pemampuan Wanita”, dalam Moeljarto Tjokrowinoto, dkk.
Bahan Pelatihan Jender dan Pembangunan. Kantor Menteri Negara Urusan Peranan
Wanita (1993); “Pemberdayaan Wanita: Antara Harapan dan Kenyataan”, E.K.M.
Masinambow, ed. Koentjaraningrat dan Antropogi di Indonesia. Jakarta: Asosiasi
Antropologi Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia,1997; "Sulasikin: konsisten
dan dimanis", Jang A. Muttalib, Moeljarto Tjokrowinoto, Titiek Edardono,
Jakarta, Pusat informasi Wanita dan Pembangunan PDII-LIPI, 2000; "Analisis Situasi Wanita
Indonesia", Moelyoto Tjokrowinoto, Jang Aisjah Muttalib, dan Poedjiwati
Sayogyo, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, Kantor Menteri
Negara Urusan Peranan Wanita (1998); "Anak Indonesia Membangun Budaya
Damai", Jang Aisjah Muttalib, dkk, Jakarta: YABI, 2005.
Keseluruhan
tulisannya tersebut, hemat saya bertiti-mangsa pada gagasan bahwa penguatan
kafasitas dan pemerataan gender merupakan suatu nilai yang paling mendasar
untuk turut mewujudkan kebangkitan ekonomi Indonesia.
***
Hari beranjak sore. Perlahan pusara Jang Aisjah Muttalib
menjauh dari pandangan saya. Bersama Mas Havis, sang Gojek, saya melanjutkan
perjalanan menuju Tugu Tani. Kembali menerobos kemacetan jalanan Ibu Kota. Dalam pada itu, melewati pintu utama TPU
Pondok Ranggon, teringat sebuah pesan Jang Aisjah, yang berulang kali saya
bentangkan di forum diskusi maupun tulisan, yakni “Suatu daerah yang tidak memiliki [catatan]
sejarah daerahnya sendiri menunjukkan seakan daerah itu belum matang.
Dianjurkan agar putra daerah berusaha menulis sejarah daerahnya secara ilmiah.”
*Melalui
tulisan ini penulis berharap mendapatkan tambahan informasi (karya tulis dan
dokumentasi foto) sejarahwan Jang Aisjah Muttalib. Tulisan ini terbit pertama kali di kajanglako.com pada 17 Desember 2019.
0 Komentar