Oleh: Jumardi Putra*
Meski Pemilihan Presiden baru akan dilaksanakan April 2019,
tensi ritus politik lima tahunan ini terus memanas. Di media sosial tampak
jelas, publik (nitizen) seolah terbelah menjadi dua kelompok mainstream, yakni
antara Pro Jokowi-Maruf Amin dan Prabowo-Sandigo Uno (untuk menyebut kelompok
Kecebong vs Kampret).
Dalam proses itu, wacana keseharian yang menguat adalah isu
politik identitas yang dikemas berdasarkan kesamaan latar belakang daerah, ras,
etnis, maupun agama.
Meski dengan frekuensi yang berbeda, tetapi benang merahnya
sama, wacana politik identitas juga menggejala dalam proses pemilihan kepala
daerah serentak 2018, bahkan yang amat mencolok ketika pemilihan Gubernur
Jakarta 2017.
Pertanyaannya kemudian, “Apakah menentukan pilihan politik
berdasarkan kesamaan agama, ras, atau jenis kelamin, itu salah?”
Tentu tidak salah bila disertai cara yang menjunjung tinggi
rasionalitas, data dan argumentasi, serta kesadaran kultural yang menjadikan Pilpres/Pilkada
sebagai ruang publik yang mencerahkan dan mendewasakan. Bukan sebaliknya,
menyebarluaskan berita bohong (hoax), memperluas episentrum kebencian, dan
bahkan membangun ketidapercayaan antar sesama warga, yang ujungnya bisa memicu
konflik horizontal.
Konflik di atas menjadi mungkin, bila kebencian dilibatkan
dalam pembentukan identitas yang pada gilirannya dimobilisasi dalam panggung
politik oleh kalangan elit dan partisan serta direproduksi melalui media dan
karya jurnalistiknya.
Setakat hal itu, perkembangan sains dan teknologi membuat
penyebaran “racun” kebencian tersebut makin menjadi-jadi dan tidak terkendali. Fatalnya, teknologi seringkali memperbesar kemampuan indera kita, tetapi tidak memperbesar
kemampuan emosi dan nalar kita. Suatu keadaan yang perlu kita refleksikan di
era airbah informasi dewasa ini.
Peran media massa (media cetak dan online) diharapkan
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk lebih cermat membaca dan memaknai
dinamika kontestasi pilpres, utamanya berkaitan politik identitas, melalui
serangkaian kerja-kerja jurnalistik yang mensyaratkan independensi serta
menjunjung tinggi prinsip dan etika jurnalistik. Nilai independensi dalam hal
ini bukan hanya berguna sebagai ‘code of conduct’ bagi jurnalis, melainkan juga
prinsip utama yang membuat profesi ini dipercaya oleh publik.
Bertolak dari hal itu, diskusi yang ditaja portal berita dan pemikiran kajanglako.com bertajuk Jurnalisme dan Politik
Identitas menemukan titik relevansinya. Sebuah diskusi kecil yang memberikan ruang sepenuhnya bagi sikap
kritis terhadap beberapa hal utama yaitu bagaimana isu politik identitas
diartikulasikan oleh media dan jurnalis (dalam hal ini karya jurnalistik)?
Bagaimana efek politik identitas terhadap perspesi publik tentang demokrasi?
Bagaimana pula wacana politik identitas (spesifik dalam kasus/peristiwa di
Jambi) berlangsung, baik dalam mementum periodik, seperti Pileg, Pilkada maupun
pemilihan pucuk pimpinan kelembagaan lainnya? Terakhir, apa yang mesti
dilakukan oleh media, jurnalis, dan warga agar menempatkan politik identitas
pada ‘ruangnya’ secara tepat, bukan sebaliknya, yang justru terseret turut
menguatkan polarisasi politik sebagaimana sekarang kita saksikan.
*Diskusi bertajuk Jurnalisme dan Politik Identitas berlangsung pada Hari Selasa, 16
Oktober 2018. Pukul 14.00 WIB-selesai. Bertempat di Kampus STISIP NH Jambi.
0 Komentar