Antologi jurnalisme sastrawi |
Oleh: Jumardi Putra*
Kebutuhan warga pada informasi secara utuh, lebih daripada apa yang disebut sebagai in-depth reporting
adalah tugas utama yang diemban insan jurnalis maupun media massa. Walakin,
beragam informasi yang diwartakan media massa dewasa ini menampakkan potret
sebaliknya yaitu tidak mendasarkan pada laporan mendalam dari lapangan. Sulit menyangkal bahwa sulit bagi kita mendapatkan reportase mendalam, apalagi memikat, dari suratkabar maupun media elektronik.
Di lain sisi, genre jurnalisme infotaimen saat ini telah
menabrak tapal batas antara alam fiksi dan non-fiksi. Pembaca justru digiring
untuk tidak bisa membedakan antara what is the real and what is not, sehingga
liputan mendalam terhadap sebuah peritiswa terabaikan.
Sejurus kemudian, budaya
pemberitaan secara mendalam, panjang, dan memikat layaknya novel faktual, atau
biasa disebut dengan genre “jurnalisme sastrawi” belum menjadi titik pangkal
bagi industri media (elektronik dan cetak) menghasilkan laporan peristiwa
secara utuh dan komprehensif.
Meskipun saat ini terdapat beberapa media yang memberi ruang
eksplorasi lebih luas, untuk menyebut beberapa, seperti majalah Prisma, Basis,
Kalam, dan Wacana dengan corak esai panjangnya, tetapi media tersebut tidak
memiliki daya jangkau laiaknya media mainstream. Begitu juga dengan
majalah Pantau, yang tersandung nasib tidak mampu hidup karena kesulitan biaya.
Memang banyak tantangan mewujudkan media yang benar-benar
mewartakan hasil liputan secara mendalam dan memikat, karena harus menyediakan
ruang pembahasan lebih luas, kebutuhan dana yang tidak sedikit dan tingkat
kesulitan selama di lapangan.
Di Amerika, genre yang disebut dengan new-jurnalisme ini
mengalami perkembangan cukup baik. Sementara di Indonesia sebaliknya. Dalam
sejarah perkembangan Jurnalistik di Amerika, genre ini mulai dipublikasi oleh
New York lewat Tom Wolfe pada 1973. Wolfe-cum-novelis, mengenalkan sebuah genre
baru saat itu (1960): New Journalism. Ia memadukan disiplin keras dalam
jurnalisme dengan daya pikat sastra.
Genre ini kemudian dikenal dengan nama
narative reporting atau literary journalism. Jurnalisme sastrawi memadukan
disiplin paling ketat serta kehalusan dan kenikmatan bercerita dalam karya
fiksi. Wawancara bisa dilakukan dengan puluhan, bahkan lebih dari ratusan
narasumber, risetnya tidak main-main, waktu bekerjanya juga tidak satu minggu,
bisa berbulan-bulan, dan penulisan dilakukan dengan gaya sastrawi, sehingga
hasilnya enak dibaca dan mudah dicerna.
Wolfe dan Jhonson dalam kata pengantar antologi The New
Journalism yang diterbitkan pada tahun 1973, menjelaskan genre ini berbeda
dengan yang lain, pasalnya, ia bertutur menggunakan adegan demi adegan (scene
by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting),
menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person view) dan penuh dengan
detail.
Ambil contoh, laporan Cik Rini dalam liputannya, Sebuah Kegilaan di
Simpang Kraft (Jurnalisme Sastrawi, KPG, 2008). Ia berhasil menyuguhkan laporan
berita dengan gaya bertutur bahasa yang mudah dicerna dan ia mampu menghadirkan
fakta berat menjadi ringan tanpa melewati sedetail pun pernak-pernik persoalan
yang menyertai peristiwa tersebut. Bahkan, sampai pada relung terdalam
psikologis korban atau pun mereka yang membacanya.
Melalui liputannya, pembaca justru dibawa jalan-jalan
menelusuri jejak peristiwa berdarah di kota berjuluk serambi Mekkah, tepatnya
di simpang kraft, sebuah pertigaan yang terletak di sebelah kiri jalan lintas
barat Banda Aceh. Dari Lhoksamawe berjarak sekitar 19 kilometer, terjadi
bentrokan antara penduduk sipil dengan manusia berbaju loreng alias tentara
pada masa operasi militer dari tahun 1999-2001.
Saya mengutip sebagian dari laporan Cik Rini berikut
ini, “Lengang sekali. Yang tersisa hanya para korban yang terkapar dan keempat
wartawan. Jerit kesakitan dari orang yang kena tembak mulai terdengar
sayup-sayup. Tapi suara-suara itu jauh, tidak jelas dari mana. Bahkan Imam,
salah satu wartawan yang meliput tidak percaya dan sesekali meneteskan air mata
setelah melihat bagian kuping kiri seorang anak bolong setengah, air otaknya
terlihat jelas. Hal yang sama juga dirasakan Umar, setelah mengabadikan photo
tepat saat peluru menghantam kepala anak dan isi otaknya berhamburan. Umar
terkejut luar biasa, hingga kameranya terjatuh dari pegangannya.” (hal. 25)
Cuplikan laporan jurnalistik di atas menunjukkan Cik Rini mampu membawa
pembaca ke ranah psikologi yang paling dalam, terkadang menohok ulu hati,
kemudian membuat sedu sedan.
Hal serupa juga ditulis Andreas Harsono dalam buku
yang sama, Jurnalisme Sastrawi (KPG, 2008), melalui liputannya yang berjudul
Dari Thames ke Ciliwung (Seluk Beluk Privatisasi Perusahaan Air Minum di
Jakarta), pembaca kembali diyakinkan bahwa jurnalisme sastrawi sama persis
layaknya genre lainnya, di mana fakta dan kedalaman data merupakan prasyarat
mutlak untuk menghasilkan liputan yang berkualitas, tanpa meninggalkan gaya
bertutur yang memikat (hal. 233-292).
Dengan demikian, jurnalisme sastrawi merupakan genre penting
yang harus digalakkan oleh perusahan media dan insan jurnalis di tanah air.
Apa sebab? Hasil reportase surat kabar, baik cetak maupun elektronik dewasa ini
mengabaikan kedalaman.
*Ditulis tahun 2008. Identitas buku: Jurnalisme Sastrawi (Antologi Liputan
Mendalam dan Memikat). Penyunting; Andreas Harsono dan Budi Setiyono. Penerbit
: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), cetakan II : Mei 2008 (edisi revisi).
0 Komentar