Oleh: Jumardi Putra*
Segalanya menjadi demikian jelas: berjuta hektar hutan dan
lahan gambut terbakar dalam kecepatan yang mencengangkan. Bak mesiu kabut asap melesatkan racun. Defenisi ruang “bebas asap” menjadi usang.
Asap menyergap apa dan sesiapa saja, sekalipun ruang berdinding beton dan kaca
tebal. Pendeknya, ia dengan begitu mudah, sekira haluan angin meliuk-liuk dari
wilayah antah berantah hingga melesap ke sistem pernafasan.
Jika ada di antara kita, tentu mereka yang berpunya
(beruang), dalam waktu yang serba cepat, mengungsi sekehendaknya ke wilayah
aman lainnya, maka bagaimana dengan berjuta-juta saudara kita, yang terbatas secara ekonomi dan kemampuan penyelesaian lainnya, sementara kabut
asap menyelimuti wilayah mereka?
Saat yang sama, tak ada cara selain menghirup udara (asap),
karena jasa masker hanya bersifat “seolah-olah” menangkal efek negatifnya.
Faktanya, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) yang melampaui ambang normal,
membuat beribu jiwa, dari kanak-kanak hingga orang dewasa terkena ISPA, iritasi
mata, hidung, tenggorokan, kulit, dan sederet penyakit lainnya. Bahkan,
satu-dua warga berujung tutup usia. Imbas lainnya, sekolah diliburkan,
aktivitas penerbangan lumpuh, petani gagal panen, kelangkaan air bersih, dan
kekeringan meluas.
Warna warni-wicarana di jejaring sosial
seperti twitter dan facebook, pun tak kalah “berasap”nya. Mulai dari unjuk
simpati, meme hingga sumpah serapah. Bahkan ada warga penghuni Dunia Maya yang
meminta perhatian (bantuan) dunia internasional agar terlibat mengurusi kabut
asap dalam tata permusiman di republik ini. “Bupati/Wali Kota, Gubernur,
Menteri, hingga Presiden dinilai gagal mengamalkan kekuatan “sapujagad”nya.”
Begitu kira-kira, ungkapan kalang-kabut warga Maya.
Betul. Segala daya upaya telah dikerahkan. Dalam
blusukannya, instruksi presiden ke kepala daerah jelas nada, bunyi, dan ambang
waktunya. Segenap unsur dari TNI, Polri, bersama tim Badan Penanggulangan
Bencana Nasional dan Daerah, serta sebagian warga berjibaku memadamkan
titik-titik api yang berada nun jauh di kedalaman belantara hutan. Modifikasi
cuaca dan water booming terus dilakukan. Entah berapa jumlah uang APBN dan APBD
habis digunakan untuk melumpuhkan titik-titik api yang membuat Indonesia meraih
prestasi sebagai pengekspor asap ke negeri tetangga.
Di tengah usaha dan optimisme pemerintah serta berbagai
unsur masyarakat yang terus menerus itu, kabut asap yang kian pekat, sejatinya
menyadarkan kebumian kita dan ke-alam-an kita sebagai manusia.
Anda boleh jadi manajer atawa direktur berdasi, tetapi kabut
asap tetap kabut asap, bisa membuat Anda terjerat ISPA dan penyakit berbahaya
lainnya. Begitulah asap dengan caranya mengembalikan manusia ke labirin
(ke)gagah-gagahan(nya) yang serba lemah.
Belum terlambat untuk mencegah imajinasi “hancur lebur alam”
menjadi kenyataan. Manusia harus belajar kembali
melihat alam sebagai komunitas etis, yang berpadu-padannya sistem sosial dan
sistem alam, sehingga alam tidak dilihat semata-mata sebagai obyek yang
ditangkap dan dianalisis secara clara et distincta sebagaimana pada Descrates.
Alam (hutan, laut, danau, sungai, gunung, binatang-binatang, dan
tumbuh-tumbuhan) harus dipahami sebagai kerabat yang penuh dengan nilai dan pesan
moral, sebagaimana tercerminkan dalam tunjuk-ajar Melayu, “Tebasnya tidak menghabiskan,
tebangnya tidak memusnahkan dan bakarnya tidak membinasakan”.
Di samping itu, kita juga harus meninggalkan pendapat yang
sekilas tampak rasional dan relevan bahwa kita boleh secara ceroboh menyalahgunakan
sumber daya alam yang berharga karena akan ada teknologi yang akan
menyalamatkannya.
Yang benar adalah tidak ada perbaikan yang dapat dilakukan
oleh teknologi untuk sebuah planet yang telah binasa alamnya, seperti kekhawatiran Garret Hardin, dalam Tragedy of the Commons, 1968, “suatu
ketidakbahagiaan akibat kekejaman/kerakusan dalam merebut sumberdaya alam
bersama”.
Ini bukan khutbah tentang “azab”, buah dari
dosa manusia modern secara berjamaah, melainkan suatu latihan pembayangan masa
depan. Bumi macam apa yang akan ditinggalkan kepada anak cucu kita nanti? Atau
apakah kita tidak bisa membaca tanda-tanda.
*Ditulis pada tanggal
25 Oktober 2015 saat Provinsi Jambi dan beberapa daerah lainnya di tanah
air dilanda kebakaran hutan dan lahan.
0 Komentar