Oleh: Jumardi Putra*
Di hadapan pusara itu saya baru menyadari bahwa Bung Firdaus Al-Khatami telah pergi meninggalkan kita (30/12/2015). Itu pun dengan catatan, ia meninggalkan sepilihan puisi, kerja dan pengorbanan, serta jalan sunyi (baca: kesenian) yang mengasah kesadaran, memperluas horizon pikiran, mempertajam etik-estetik, serta memperkaya makna dunia material.
Sependek yang saya ketahui, prosesi “kemelaratan” secara sadar ia tempuh untuk menyentil (kalau bukan menertawai) peradaban “hasrat” yang menggergaji hidup manusia abad ini. Bahkan dengan pilihan itu, tak jarang ia harus hidup dalam dunia yang begitu aneh (kalau bukan asing) di mata orang lain, bahkan orang-orang terdekatnya sekalipun.
Bung Firdaus manusia biasa, sebagaimana saya dan Anda. Tentu lupa dan salah menyertai tutur-tindaknya. Begitu juga pro-kontra menyertai sepak terjang persinggungan masing-masing kita dengannya. Akan tetapi, tak bisa disangkal ia telah mencinta, menangis, mengecam, dan mengkritik, dengan proses berkesenian yang pada ujungnya keterbatasan usialah yang memberhentikan langkah kakinya. Karena itu, tak ada yang perlu disesalkan atas kepergiannya, sebagaimana mendiang Wahyu Sulaiman (W.S.) Rendra pernah berujar, “Suatu hari nanti/Semua akan sampai pada kematian/Hidup hanyalah prolog menuju Tuhan.”
Sebuah adagium berbunyi, “ketika seorang besar meninggal, alasan-alasan kedengkian kerap hilang” terasa menyertai kepergiannya. Ada orang-orang yang kehilangan lalu mendoakannya. Ada juga orang-orang yang pernah dikecewakan lalu memaafkannya. Apa sebab? Takaran kebaikan (untuk menyebut kontribusi) yang pernah ia dermakan semasa hidup, baik bagi individu-individu ataupun lembaga, lebih berarti ketimbang kesalahan atau kekecewaan yang ditimbulkannnya. Dengan kata lain, mengutip kata novelis Eka Kurniawan, “Segala sesuatu mestinya senantiasa berguna. Yang hidup maupun yang mati.”
Berselang dua hari setelah kepergiannya, pertanyaan yang segera muncul, apa setelah kepergian Bung Firdaus? Dua bulan lagi menutup lembaran tahun 2015 ini, relevan kita menghayati bait puisi Octavio Paz “1 Januari” berikut ini: Esok, kita mesti menemukan isyarat-isyarat/mengurai lanskap, merancang rencana, di halaman ganda/helai hari dan kertas kerja/Esok, kita mesti menemukan, sekali lagi, kenyataan dunia ini (terjemahan bebas Muhammad Al-Fayyadl, 2015).
Dalam tulisan yang singkat ini, saya persempit perihal potret kesenian Jambi dewasa ini. Sekira sebulan lepas, sebagaimana hal serupa saya lakukan bersama budayawan Ja’far Rasuh, tepatnya jelang kegiatan Bung Firdaus di Jaringan Sumatera untuk Pelestarian Pusaka (Pansumnet) di Sawahlunto, Sumatera Barat (Oktober), dan Kongres Kesenian III di Bandung (Desember), saya berkesempatan bercakap-cakap dengannya di sela perhelatan Pergelaran Seni Tradisi Lisan di Kantor Bahasa Jambi.
Banyak hal yang kami bicarakan kala itu, sebut saja, seperti rendahnya daya tawar organisasi atau komunitas seni, minimnya dukungan pemerintah dan regulasi, institusi dan pendidikan seni yang macet, dan riuh-rendah pesta demokrasi (baca: Pilgub Jambi) yang menjadikan kebudayaan sebagai subordinasi dari ekonomi dan kekuasaan.
Tentu obrolan itu hanyalah penggalan di antara riwayat perjumpaan dan diskusi antara saya bersamanya, apatahlagi usai dilantik sebagai sekretaris umum Dewan Kesenian Jambi (DK-Jambi). Dari situ saya menangkap pesan betapa kegelisahan pria kelahiran 13 Januari 1968 itu terhadap dinamika kesenian (terutama institusi seni) di Jambi melebihi kebanyakan orang yang justru lebih tertarik dan berbusa-busa membicarakan kesenian sebagai program (untuk menyebut sekadar proyek) ketimbang “perspektif”.
Konsekuensinya tidak mengherankan bila muncul keganjilan dalam melihat catatan prestasi kerja pemerintah di bidang kebudayaan, yang antara lain berisi: jumlah pengunjung museum, jumlah wisatawan domestik dan mancanegara, jumlah situs, jumlah rumah makan, hotel, biro perjalanan pariwisata, produksi dan penonton teater, sertifikasi karya budaya tak benda (intangible), dan sebaran kantong-kantong kesenian. Pendek kata, kebudayaan pun tertinggal melulu sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) atau hitungan statistik belaka.
Hemat saya, kesenian sebagai perspektif sekaligus program (untuk menyebut tidak ada dikotomi antar keduanya) terlihat dalam pemikiran maupun laku kesenian Bung Firdaus. Kenapa? Ia berkeyakinan, dengan cara itu kerja-kerja kesenian dapat melibatkan banyak pihak, seperti lintas satuan kerja perangkat daerah (SKPD), baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun pusat, lembaga penelitian/kajian, komunitas/kelompok seni, industri seni, dan perguruan tinggi yang memiliki keberpihakan terhadap seni dan budaya, yang secara keseluruhan dijalankan secara konsisten, terintegrasi, dan berkesinambungan.
Maka, dengan tidak menutup perspektif lain dari sosok Bung Firdaus, kepergiannya jelang tutup tahun 2015 merupakan “nol kilometer” bagi teman-teman seniman, terutama pegiat di lembaga seni yang ia geluti untuk menemukan apa yang dikatakan Oktavio Paz, “isyarat-isyarat, mengurai lanskap, merancang rencana, di halaman ganda/helai hari dan kertas kerja” untuk progresivitas (kebangunan) seni dan budaya Jambi di masa kini dan mendatang.
Selamat jalan, Bung Firdaus. Kau baru saja memulai sebuah pengembaraan ke Istana Bunga yang jauh, yang mungkin tak pernah kau bayangkan sebelumnya. Semoga kau bertemu dengan mendiang Ghazali Burhan Riodja, Tamjid Wijaya, Zubir Mukti, Ari Setya Ardhi, Fakhrudin Saudagar, Syamsuri Rachman, Tukiran, Anton J. Senda, Chory Marbawi, dan barisan seniman-budayawan lainnya, yang penuh cinta bertungkus lumus menjadi pejuang dari pandangan-pandangan keindahan, yang bercita-cita melaksanakan kebaikan yang disumbangkan kepada masyarakat lintas zaman. Amin.
*Catatan ini saya buat usai menghadiri pemakaman Bung Firdaus. Tulisan ini terbit pertama kali di koran Posmetro Jambi, 4 Januari 2015.
*Catatan ini saya buat usai menghadiri pemakaman Bung Firdaus. Tulisan ini terbit pertama kali di koran Posmetro Jambi, 4 Januari 2015.
0 Komentar