Oleh: Jumardi Putra*
Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek merilis 59 pegiat budaya yang ditetapkan sebagai penerima anugerah kebudayaan dan maestro seni tradisi 2019. “Adakah di antara 59 pegiat budaya itu berasal dari Jambi?” batinku.
Pelan namun pasti, di urutan ke-37 tertulis nama Maryam berasal dari Jambi. Sontak saya bersuka-cita. Segera saya mencari tahu seluk-beluk perempuan satu ini. Tak syak, peristiwa 7 tahun lalu (Januari, 2012) kembali menyeruak dalam ingatan saya, tepat saat Dewan Kesenian Jambi (DK-Jambi), menyelenggarakan pergelaran Malam Keagungan Melayu Jambi (sekarang menjadi Malam Apresiasi Seni Melayu). Sebuah perhelatan kesenian yang membangun ‘kesinambungan’ kesenian tradisi agar selalu menemukan nilai-nilai barunya; sehingga hadir bukan sebagai barang antik masa kini dan selebrasi aktivisme belaka, tetapi sebagai cermin proses sejarah, dan sekaligus sebagai roh tindak laku kontemporer.
Pada perhelatan inilah kali pertama saya berjumpa dengan Nek Maryam, seniman Senandung Jolo asal Desa Tanjung Kumpeh Hilir, Kabupaten Muaro Jambi. Ketika itu, Nek Maryam hadir bersama dua seniman tradisi lainnya, yakni Mak Rena, penekun krinok yang sengaja didatangkan dari Desa Rantau Pandan, Kabupaten Bungo, dan seniman Kuau, Nek Jumilah, dari desa Pulau Aro, Kabupaten Merangin.
Hasil penelitian koreografer ternama tanah air, Tom Ibnur, pada tahun 1995 hingga 1998 menunjukkan hampir 40 % tarian tradisional Jambi punah. 20% selebihnya dalam kondisi kritis atau nyaris punah, 20% lagi mulai terlihat gejala sakit, dan 20% sisanya masih eksis dan bertahan.
Penelitian Tom Ibnur memang fokus pada seni tari tradisi, sehingga perlu di-update sekaligus diperluas ke cabang seni tradisi lainnya, tetapi menimbang sebaran dan keberadaan para pelakunya, bisa memberi gambaran kasar keberadaan seni tradisi lainnya. Terbukti, dalam dokumen Pokok-pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) Provinsi Jambi 2018, tradisi lisan (seperti krinok, kuau, dideng, dan senandung jolo) masuk kategori terancam punah dengan ditandai tiga hal pokok, yakni model pewarisan bergantung secara alamiah (non formal), keterbatasan ruang pertunjukan bagi penutur tradisi lisan, dan belum adanya penghargaan bagi pelaku dan komunitas pemilik kebudayaan.
Memang, baru-baru ini Kantor Bahasa Jambi, kembali menyelenggarakan pergelaran tradisi lisan (setelah absen dua tahun sebelum ini). Begitu juga Taman Budaya Jambi, UPTD Dinas Kebudayaan Pariwisata Provinsi Jambi, dalam bentuk iven pelatihan maupun lomba seni tradisi. Namun, kegiatan semacam ini tidak berkesinambungan, sehingga sulit mengukur pengaruh serta keberlanjutannya di tempat dimana seni tradisi itu tumbuh, apatahlagi memberi efek kesejahteraan secara ekonomi bagi para penekunnya. Bahkan, diakui oleh penekun seni tradisi, setiap kehadiran mereka di panggung-panggung undangan terbuka, salerinya masih jauh dari mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Apakah mereka putus asa? Tidak! Mereka tetap bersetia melestarikannya. Tetapi, sekali lagi, letak persoalanya bukan di situ (dalam kesempatan lain akan saya tulis soal ini).
Nek Maryam (77 tahun) ditetapkan sebagai penerima anugerah Maestro Seni Tradisi Indonesia tahun 2019 bersama empat maestro seni tradisi lainnya, yaitu Usman Lajanja (Sulawesi Tengah), Gustaf Bame (Papua Barat), Warsad Darya (Jawa Barat), Maryam, dan Usman (Kalimantan Barat).
Keberhasilan Nek Maryam ini menambah daftar penerima anugerah Maestro Seni Tradisi asal Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah-julukan provinsi Jambi. Lima Tahun sebelumnya, Nek Jariah (76 tahun), pelaku seni tradisi Dideng asal Kabupaten Bungo, ditetapkan sebagai penerima penghargaan Maestro Seni Tradisi Tahun 2014. Anugerah serupa, empat tahun sebelum Nek Jariah, gelar Mastero Seni Tradisi 2010 disematkan kepada budayawan Iskandar Zakaria asal Kerinci.
Diakui Nek Maryam, usaha menghidupkan seni tradisi Senandung Jolo tidak dilakukannya sendirian. Sejak 1983 ia bersama dua seniman lokal lainnya, yakni Datuk Zuhi dan M. Alfian, berupaya menghidupkan kembali kesenian senandung jolo di Desa Tanjung hingga sekarang, dan bahkan mereka membuat sanggar seni Mengorak Silo. Di sanggar seni inilah mereka melatih siswa-siswi menandungkan pantun sembari memainkan dan membuat alat musik gambang, gong, dan gendang.
Senandung jolo merupakan karya seni dengan materi utamanya sastra tutur dalam bentuk pantun yang disenandungkan. Belum diketahui secara pasti mula kelahiran Senandung Jolo. Berbeda halnya dengan seni tradisi krinok yang berasal dari zaman Melayu pra-Islam.
Mulanya, cerita Nek Maryam, senandung jolo berfungsi sebagai curahan hati yang diungkapkan sambil menunggu Humo atau pematang sawah, mengisi malam hiburan bagi ibu-ibu yang memasak sebelum acara perkawinan dan sunatan, dan atau saat berada di perahu seusai memasang alat tangkap ikan di Sungai. Secara khusus, lanjut Nek Maryam, senandung jolo dimainkan warga beramai-ramai di tepi sawah menjelang masa tanam padi. Warga biasa menyebut tradisi ini nugal jolo.
Berjalannya waktu, seni tutur ini muncul sebagai seni pertunjukan dengan ditandai kehadiran alat musik pendukung, seperti Gambang Kayu-terdiri dari 4 bilah kayu yang terbuat dari jenis kayu Marelang-; Tetawak, Rebana, Gendang Panjang, Gong dan Beduk.
Sebagai seni pertunjukan, selain tambahan alat musik, juga pemain musik dan penyanyinya senantiasa dalam posisi duduk. Jumlah pemain musik dan penyanyi tidak dibatasi, tapi minimal dua orang. Syair pantun dinyanyikan secara berbalasan, diiringi dengan alat musik. “Momen berbalas pantun itulah yang membuat senandung jolo menemukan keunikannya, baik dari sisi konten syair pantun, juga kepiawaian si pemantunnya,” ungkapnya.
Bagian dari seni pertunjukkan pula, senandung jolo kerap tampil di forum-forum yang lebih luas dengan beragam latar balakang penikmatnya, seperti pesta politik elektoral daerah dan acara-acara seremonial pemerintahan. Tak ada aturan baku lama permainan dan waktu penyelenggaraannya.
Laku Nek Maryam di lapangan kesenian tradisi, sebagaimana juga Nek Jariah (seniman Dideng) dan Mak Nur’aini (seniman tari), budayawan Iskandar Zakaria (sastra, tari dan seni tutur), Marzkuli Laim (pencipta tari sekapur sirih), Okta Hadri (Pencipta Tari Selampit Delapan), dan Datuk Masykur Musa (Seniman Krinok), dan maestro seni tradisi di Jambi lainnya, yang tak bisa saya sebut satu per satu dalam tulisan singkat ini, menyembulkan tanda tanya besar, yaitu sejauhmana keseriusan pemerintah provinsi Jambi dan Kabupaten/Kota terhadap keberlangsungan kesenian tradisi dan sekaligus para pelaku dan komunitas/sanggarnya?
Faktanya, sulit menyangkal bila urusan kebudayaan (termasuk di dalamnya kesenian tradisi) menjadi pelengkap dokumen pertanggung jawaban keuangan (administratif) dengan dibumbui narasi-narasi kesuksesan, dan atau komentar pejabat dalam talkshow di tivi-tivi maupun lembar-lembar advetorial koran lokal. Telak, kesenian tradisi dalam wacana pembangunan di provinsi Jambi adalah pinggiran.
Padahal, sebagaimana pemajuan ekonomi, yang senantiasa menjadi jargon pembangunan di setiap ajang pemilihan kepala derah, kebahagiaan juga muara dari hakikat kebudayaan. Toh, kalau pun menyebut komitmen pada kesenian tradisi, sebut saja dalam debat pilkada maupun dialog seni budaya, nyatanya oleh kontestan disimplifikasikan ke dalam bejana kepariwisataan. Padahal, antara keduanya, meski memiliki titik persinggungan, untuk keperluan penyusunan kebijakan, skala prioritas program serta target yang hendak dicapai, adalah hal yang tidak sama.
Saya menyambut baik penghargaan anugerah maestro seni tradisi ini, meskipun keseriusan pemerintah, baik pusat maupun daerah terhadap dunia kebudayaan (dalam pengertian luas dan khusus untuk kesenian dengan keseluruhan cabangnya), belumlah ideal. Tidak sedikit dari forum kepublikan, baik itu dalam bentuk paguyuban (non-formal) hingga seminar dan konferensi kebudayaan, muncul kritik pedas (konstruktif tentunya) sekaligus tuntutan agar pemerintah serius mengurusi kebudayaan.
Sejurus hal itu, anugerah Maestro Seni Tradisi ini tidak dapat dipandang bersifat hirarkis-struktural (ditetapkan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini, Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Ditjen Kebudayaan), melainkan bagian dari sebuah penghargaan budaya atas dedikasi pelakunya, yang bisa datang dari pihak dan lembaga mana saja.
Dalam makna itu, niscaya bagi pemerintah daerah membuat anugerah maestro seni tradisi pada setiap cabang kesenian sekaligus untuk kategori penghargaan bidang kebudayaan lainnya. Tujuannya jelas, yakni menumbuhkan motivasi masyarakat, dalam berbagai bidang dan kiprah, yang ditunjukkan dengan karya-karya terbaik dan dinikmati masyarakat luas, terutama generasi muda, yang pada gilirannya dapat berpartisipasi aktif dalam pelestarian kesenian yang ada di Kabupaten/Kota dalam Provinsi Jambi.
Sependek penelusuran saya, belum ada anugerah maestro seni tradisi dan atau anugerah sejenis dengan istilah lainnnya, yang diselenggarakan secara konsisten dan berkelanjutan oleh pemerintah Provinsi Jambi dan Kabupaten/Kota maupun pihak swasta, dengan kriteria dan mekanisme pemilihan serta melibatkan tim pakar/juri yang memang betul-betul ahli di bidangnya.
Betul, untuk menyebut contoh, Dewan Kesenian Jambi bersama pemerintah provinsi Jambi, pada tahun 2013 dan 2014 memunculkan penghargaan anugerah budaya “Gong Betuah”. Anugerah tertinggi bidang budaya tersebut melibatkan tim ahli/seleksi dengan aturan kriteria dan mekanisme pemilihan yang jelas, yakni salah satunya, pegiat budaya yang dianggap memberi andil penting dalam menggali, menghidupkan, mengembangkan dan/atau melestarikan seni tradisi dan kebudayaan lokal yang diyakininya.
Bentuk penghargaan Gong Betuah itu, selain santunan apresiasi, juga pin emas dengan berat 5 suku 24 karat (berisikan simbol Gong, Lira dan Keris Siginjei) dan piagam penghargaan. Berapa jumlah uang yang diterima dari anugerah Gong Betuah itu? Jelas teramat kecil bila dibandingkan dengan hadiah bagi peraih medali emas, perak dan perunggu pada ajang kejuaraan olahraga seperti Sea Games.
Setelah kepengurusan DK-Jambi periode 2015-2018 tak aktif, anugerah semacam ini diteruskan oleh Taman Budaya Jambi, UPTD Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, dan diberikan saat perhelatan Malam Apresiasi Melayu Jambi (saat perayaan Ulang Tahun Provinsi Jambi, setiap 6 Januari). Hanya saja, saya tidak mengetahui persis, bagaimana aturan, mekanisme pemilihan dan bentuk penghargaannya. Apakah dari nama anugerah yang sama, sebagaimana Gong Betuah, atau dengan nama lainnya? Bagaimana pula anugerah budaya di tingkat Kabupaten/Kota? Saya tak tahu pasti. Kalaupun ada sifatnya sporadis (tergantung keperluan).
Hal ini penting saya kemukakan di sini, tidak saja agar marwah anugerah ini betul-betul terjaga, sehingga dapat diterima oleh publik dan utamanya pegiat budaya, terselenggara secara konsisten, dan juga tak kalah pentingnya, adalah proses pemilihan penerima anugerah dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sejatinya, DPRD Provinsi Jambi telah menyusun Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Melayu Jambi. Pasal 11 (ayat 3 dan 4) dalam perda tersebut jelas mengamanatkan kepada pemerintah daerah untuk memberikan penghargaan bagi para pegiat budaya. Sayangnya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, sebagai leading sektor Perda tersebut, hingga sekarang belum menyusun peraturan Gubernur bagi pelaksanaan payung hukum tersebut.
Keberadaan Perda dan Pergub tersebut, hemat saya tidak saja memberikan kepastian hukum, tapi bisa menjadi rujukan bagi pemerintah Kabupaten/Kota untuk memastikan agar penghargaan (apapun nama dan istilah yang dipakai) terhadap pegiat budaya terwujud secara konsisten dan berkelanjutan, sekalipun terjadi alih kepemimpinan lima tahunan di Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah ini.
Anugerah Mastero Seni Tradisi 2019 ini bisa menjadi ruang refleksi bagi pegiat budaya, terutama pengambil kebijakan di provinsi Jambi maupun kabupaten/kota untuk menjadikan kebudayaan bagian integral dari pembangunan. Bukan sebagai peri-peri. Dan, sekali lagi, penghargaan anugerah maestro seni tradisi ini (apapun istilah lainnya) hanya salah satu wujud kehadiran pemerintah.
*Tulisan ini terbit pertama kali di portal kajanglako.com pada tanggal 12 Oktober 2019. *Ket foto: Nek Maryam, seniman Senandung Jolo. Sumber foto: Riani Sari (2011).
0 Komentar