Buku Puisi Karya Jumardi Putra |
Pada kesendirianku tentang
kampung seberang
Menjelma risalah yang
perlu dibaca
Dan mungkin tak pantas
dilupakan
(Puisi
"Batanghari Masih Bercerita" oleh Jumardi Putra)
Banyak cara yang dapat dilakukan seseorang dalam mengungkapkan
kecintaan pada tanah kelahiran. Siapa pun pasti pernah merasakan itu. Bahkan,
tak jarang orang yang sudah merantau puluhan tahun, pada akhirnya memilih
kembali pulang, mengabdi pada kampung halaman.
Demikian pula yang dirasakan seorang penyair. Ia pun
memiliki caranya sendiri untuk mengaktualisasikan kecintaannya pada kampung dan
tanah kelahiran. Hal itu bisa kita rasakan dalam kumpulan sajak yang
terkompilasi dalam buku Ziarah Batanghari: Sepilihan Puisi karangan Jumardi
Putra. Sebagai penyair muda asal Jambi, ia menuliskan apresiasi kekaguman dan
kecintaannya terhadap kejayaan negeri Jambi di masa lalu. Dalam sajak "Tak
Hilang Melayu Jambi" ia menulis:
Apa yang paling
penting bila sungai Melayu
mendangkal? Abad-abad
berlalu lesap ke dalam hati
dan pikiran yang tak
terkenal. Perlahan-lahan segala
yang benda-takbenda
memisahi Jambi dari asbab an-nusulnya
Tidak! Temuilah
puyangku, dan tengok saja usahanya
menuliskan sejarah
yang tercerai-berai ke dalam babad
Chan-pi, dan dikajai
pada segala tanah. Sekalipun
kehadirannya tidak
secara paripurna, tapi mewakili
kurun tertentu dalam
rentangan zaman.
“Inilah tempat
lahirku. Barangkali ini juga kuburku” (hlm 10).
Kumpulan puisi ini merupakan cerminan kegelisahan Jumardi
terhadap sejarah Jambi yang semakin kabur. Untuk itu ia berupaya menghadirkannya
kembali dalam bentuk sajak-sajak yang penuh makna. Ada 69 sajak yang terangkum
dalam buku ini. Dalam pemilihan judul buku ini, sepertinya ia sengaja memilih
simbol Batanghari karena itu dianggap dapat mewakili lambang kecermatan
berpikir, kelenturan budaya, dan keterbukaan terhadap dunia luar. Sebab,
keberadaan sungai Batanghari yang luas serta memanjang di bagian hulu sampai
daerah Sijunjung, Sumatera Barat, dan di bagian hilir sampai Muara Sabak, Nipah
Panjang, Kualatungkal, berbatasan dengan Laut Natuna, telah mencatat sejarah
yang panjang. Sejauh alirannya, dapat dijumpai Sabana Kuntala (pra-Melayu dan
Sriwijaya, abad ke-5), kawasan Percandian Muarojambi (abad 7-13), Zabaj (abad
ke-9) dan lokasi bersejarah lainnya yang sekarang dirujuk sebagai Jambi (hlm
xi).
Keagungan sejarah Jambi di masa lalu menjadi pijakan Jumardi
dalam mengalirkan tinta sajaknya. Merekonstruksi sejarah masa lalu dalam
bait-bait sajak tentu bukanlah perkara mudah. Butuh totalitas dan energi besar
untuk bisa melakukan itu. Dan Jumardi sudah berhasil membuktikan semua itu
dengan menghadirkan tulisan inspiratif yang bercerita banyak hal tentang Jambi.
Namun, ia tidak sedang menggurui, tapi ia sebagai penyambung lidah agar kisah
itu tak hilang begitu saja ditelan waktu.
Membaca buku ini seperti sedang menjelajah negeri Jambi
sejak zaman dulu kala hingga masa kini. Berliku-liku namun tetap mengasyikkan.
Jumardi telah berhasil meramu serpihan sejarah Jambi itu dalam untaian bait
sajak yang memiliki kedalaman makna dan sangat berarti. Tampaknya ia tak ingin
keagungan masa lampau itu hilang tanpa bekas, sehingga perlu dituliskan agar
bisa diingat dan tetap abadi dalam catatan sejarah. Namun, apa pun keadaannya
kini, ia adalah risalah yang perlu dibaca dan tak pantas dilupakan (hlm xii).
Sebagai hasil renungan mendalam tentang sejarah Jambi yang
dituangkan dalam bentuk karya sastra, buku ini sangat patut dibaca. Inilah
ziarah imajiner untuk menapaki keagungan sejarah Jambi pada masa lampau. Sebuah
manifestasi dari kegelisahan kreativitas seorang penyair yang ingin membaktikan
dirinya agar bisa berguna bagi tumpah darahnya. Ia telah membuktikan bahwa
pembacaan sejarah tidak harus dengan serius dan kening berkerut, tapi bisa juga
dilakukan dengan santai dengan meresapi makna-makna yang terkandung dalam
untaian bait sajak.[]
*Resensi Buku Ziarah Batanghari: Sepilihan Puisi karya
Jumardi Putra ini ditulis oleh Herma Yulis. Dimuat pertama kali di Koran Jambi
Today, 10 Agustus 2014.
0 Komentar