Ilustrasi hukuman mati. (GettyImages/CristiNistor)
Oleh: Jumardi Putra*
I/
Sastra tak pernah lahir
dalam ruang kosong. Secara sosiologis karya sastra merupakan cerminan
masyarakat yang dipengaruhi oleh kondisi sejarah. Demikian kehadiran buah karya
Denny JA yang berjudul “Atas Nama Cinta”: Sebuah Puisi Esai, terbit 2012 oleh
penerbit renebook.
Melalui
buku setebal 215 halaman tersebut, pria yang lebih dikenal publik sebagai
kolumnis sekaligus Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI), secara
sadar telah memilih isu diskriminasi dengan semua prasangka yang telah
melahirkannya serta menelan para korban dengan penderitaan ragawi dan konflik
jiwani, yang mungkin hingga saat ini belum cukup diketahui oleh khalayak.
Berikut telaah saya pada salah satu puisi dalam antologi tersebut, yaitu “Minah
Tetap Dipancung”, halaman: 89-115.
Puisi
esai tersebut, oleh Denny JA digambarkan secara detail melalui rangkaian dialog
batiniah seorang tenaga kerja wanita di Arab Saudi. Tokoh ‘aku lirik’ dalam
puisi ini dimulai dengan memperkenalkan diri: Aminah namaku/ Minah
panggilanku,/ TKW asal Indonesia/ Kerja di Saudi Arabia/Sebagai pembantu rumah
tangga.
Dikisahkanlah usaha
Minah mengubah nasib, melawan kemiskinan, dan melawan demi mempertahankan
integritas. Sebagai petunjuk berikut lariknya: Banyak temanku berhasil
kerja di negeri itu/Berkirim uang ke kampung/Renovasi rumah orang tua/Meniru
orang kaya Jakarta/Ingin aku seperti mereka/Satu di antara sekian juta
perempuan/Yang bekerja di negeri asing. Meski Minah dikesankan sebagai
perempuan desa yang lugu namun ia punya keberanian untuk protes: “Kamu
korupsi ya?/ Kamu moroti kami ya?” katanya kepada pegawai perusahaan tenaga
kerja sebelum mengadu nasib ke Timur Tengah.
Usaha
mewujudkan impian itu tidaklah mudah. Minah justru mengalami perkosaan
bertubi-tubi oleh majikannya, sambil paspornya ditahan, gajinya tidak dibayar,
dan hanya diberi beberapa uang real setiap habis diperkosa. Dia ingin mengirim
uang itu ke rumahnya untuk anaknya delapan tahun yang belum bersekolah karena
tak ada biaya. Tetapi hatinya memberontak, dia tak boleh menipu keluarganya
dengan uang haram hadiah perkosaan. Dia akhirnya menyobek uang itu tanpa sisa.
Pada percobaan perkosaan terakhir dengan ancaman pisau oleh tuan rumah, dia
berhasil merebut pisau itu, dan menghujamkannya ke perut sang
pemerkosa yang tewas seketika. Hukum setempat menetapkan nyawa ganti nyawa.
Suasana tragis tersebut sangat jelas tergambarkan dalam larik: Kini aku
sudah mati/Algojo memenggal leherku/karena telah membunuh majikan/yang
berulangkali memperkosaku/dan menyiksa jiwaku.
Tanpa
rasa getir Minah mencatat, Pemerintah memberikan tanggapan/ tapi untuk
kasusku,/ itu sudah ketinggalan kereta/ Upaya hukum telat/ upaya diplomasi
politik tak dirintis dari awal/ dan tidak ada pembelaan di pengadilan/ Ya, ya
harus aku jalani/ hukuman pancung,/ ya ya, aku harus dipancung!. Kian
terang bahwa lemahnya pembelaan politik dan absennya pembelaan hukum, telah
melahirkan pembelaan dalam puisi esai ini. Unsur ironi, sebagai salah satu
piranti penting dalam puisi dapat dijumpai pada larik: Aku
menjerit/tapi jeritan-tangisku sia-sia/wakil Indonesia di arab sana/bekerja
seperti biasa. Sebagai muslim taat, Minah pun tak kuasa lagi menanggung
siksaan, sehingga muncul pemberontakan dalam dirinya: Gusti Allah/Sudah
kulakukan semua ajaran baik/Tapi mengapa tetap saja kena celaka? Kau berjanji
melindungi kaum tertindas, kaum yang lemah.
Menurut
saya, perhatian terhadap pentingnya fungsi citraan dalam puisi tak diabaikan
Denny JA guna menunjang segi naratif dan dramatis dalam puisinya. Buktinya,
tokoh sentral orang pertama ‘aku lirik’ ditulis dengan bait demi bait yang
padat sambil memanfaatkan peralatan puitika yang tercipta dari pertemuan larik,
aliran irama, dan
bunyi kata-kata. Hal ini sedikit banyak membantu pembaca untuk mendapatkan
pesonanya, seperti yang sering didapatkan dari sajak-sajak sosial W.S Rendra.
Bahkan puisi tersebut bukan hanya mencecar aktor dan institusi kuasa di luar
dirinya, tapi juga menyentil aspek batiniah dirinya sendiri.
Selanjutnya,
meski tidak begitu meledak-ledak, sebagaimana diakui Sutradji Calzoum Bachri
dalam epilognya, metafora yang membuka kesempatan terciptanya banyak makna juga
diungkapkan oleh pengarang, seperti halnya ketika penggambaran suasana “Berguncang-guncang
dadaku/Berdesakan dalam benakku/Mengintip bulan redup di langit
Cirebon/Hari-hariku bermekaran, seperti dalam mimpi/Seperti bunga-bunga pagar/
Di halaman rumah itu selalu tumbuh keinginanku/Menyulap waktu agar cepat
berlalu”.
Adapun
ramuan gugatan yang menambahi rasa pedas puisi ‘Minah Tetap Dipancung’, tidak
cukup beralasan untuk mengatakan ini sebagai puisi politik, yang sering menjadi
tong bagi sumpah serapah sehingga jatuh sebagai slogan, dan sastra (puisi)
akan gagal menyentuh jiwa dan pikiran manusia dengan sepenuh otentisitasnya.
Karena kelihaiannya, gugatan itu justru menambahi intensitas dalam pengisahan
tokoh ‘aku
lirik’ dalam jeratan sosial, budaya, ekonomi dan politik, dengan cara lebih
memusatkan perhatian pada konflik batin yang diderita aktor liris dalam
menghadapi diskriminasi yang menimpanya. Sehingga tak heran insting berjuang
tokoh ‘aku lirik’ dalam puisi ini-selalu diperlihatkan. Tak penting kalah atau
menang.
II/
Persoalan
ekonomi, sosial, budaya, dan politik, sebagaimana ‘Minah Tetap Dipancung’
bukanlah gejala baru dalam puisi Indonesia. Ini mudah dipahami, karena tema
penderitaan hampir sama tuanya dengan usia kehidupan manusia. Demikianlah,
karya Octavia Paz dan Domingo Faustino Sarmiento di Amerika Latin, maupun
Pramoedya Ananta Toer, W.S Rendra, Wiji Tukul, dan Sutardji Calzoum Bachri di
Indonesia, untuk menyebut beberapa, menampilkan deskripsi paling refresentatif
tentang problem riil bangsanya ketika aktor dan institusi pengetahuan lain
terbungkam.
Gambaran
di atas sangat cocok dengan ‘Panorama Tanah Air’ karya penyair Ajip
Rosidi: Di bawah langit yang sama/ manusia macam dua: Yang diperah/ dan
setiap saat mesti rela/ mengurbankan nyawa, bagai kerbau/ yang kalau sudah tak
bisa dipekerjakan, dihalau/ ke pembantaian, tak boleh kendati menguak/ atau
cemeti ‘kan mendera;/ dibedakan dari para dewa/ malaikat pencabut nyawa, yang
bertuhan/ pada kemewahan dan nafsu/ yang bagai lautan: Tak tentu dalam dan
luasnya/ menderu dan bergelombang/ sepanjang masa… (Terkenang Topeng
Cirebon 1993: 155).
Dalam
pandangan Ignas Kleden, kondisi ini menggambarkan nasib yang terbelah dua,
sebagaimana tercermin dalam puisi Ajib di atas. Pasalnya, tema sosial akan
selalu bertemu pada titik yang sama: keadilan dan ketidakadilan sosial,
kesetaraan atau kesenjangan hak, persamaan atau perbedaan nasib (Atas Nama
Cinta. hal: 204).
Mencermati
hal di atas, apa yang dilakukan Denny JA, memilih untuk berpihak pada korban
diskriminasi, dan seakan menitipkan protes, simpati, dan tekadnya melawan arus
ketidakadilan melalui suara tokoh ‘aku lirik’ menandai bahwa ia tak dapat
menghindar dari persoalan sosial yang menimpa masyarakatnya, dan akhirnya tak
bisa mengisolasi puisi dari keterlibatan yang langsung dalam tanggung jawab
sosial.
Keadaan
ini mengingatkan saya pada ungkapan bernas Luisa Valenzuela, sastrawan
Argentina, bahwa tak ada penulis menapaki jalanan yang ditinggalkan Tuhan ini
kebal terhadap jejaring ‘laba-laba’ politik yang mengitarinya. Hal itu
diperkuat Maman S Mahayana, mengutip Grebstein (1968): pemahaman atas karya
sastra hanya mungkin dapat dilakukan secara lebih lengkap apabila karya itu
tidak dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan atau peradaban yang
menghasilkannya (Maman S Mahayana: 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia hal:
335-336).
Pernyataan
ini mengisyaratkan bahwa perlunya pendekatan sosiologi atau disiplin ilmu
lainnya, dalam kritik sastra, sejauh tetap menempatkan secara kontekstual dan
proporsional, mengingat konvensi sastra (puisi). Hal semacam ini telah
dikuliti lebih dulu secara teoritis oleh Rene Wellek dan Austin Waren, terutama
mengenai sastra dan masyarakat (Teori Kesusastraan: terjemahan.1993:
109).
III/
‘Ingatan’
kata Gao Xingjian, pemenang Nobel Sastra tahun 2000, ‘tidaklah diwariskan
seperti gen’. Manusia punya pikiran tapi tidak cukup pintar untuk belajar dari
masa lalu, dan ketika api kedengkian menyala dalam pikiran manusia, maka dapat
membahayakan kelangsungan hidup manusia itu sendiri”.
Di
sinilah peran strategis karya sastra (puisi). Karena menyediakan ruang bagi
ingatan, sebagai satu-satunya peluang kita untuk tidak mengulang-ulang
kebodohan kita sendiri. Dengan kata lain, meminjam ungkapan Pramoedya,
kesadaran terhadap sejarah dan realitas di sekeliling kita ibarat titik
orientasi yang memandu perjalanan kafilah agar tak kehilangan arah, sehingga
selamat dari lupa yang memusnahkan (Arif Bagus Prasetyo: ‘Prosa’ 2005:
5).
Dengan
demikian, melalui buah karya ‘Minah Tetap Dipancung’, Denny JA memberi kritik
dan percikan permenungan untuk diresapi dengan berbagai dalil dan perspektif,
sekaligus menjadikan puisi sebagai medium untuk penyadaran. Jadi, membaca,
memahami dan menghayati puisi esai ini merupakan sebuah ikhtiar merawat
kemanusiaan itu sendiri.
*Tulisan ini terbit
pertama kali di portal Koran-cyber.com (2012).
0 Komentar