Percandian Muarojambi. sumber: sindonews.com |
Oleh: Jumardi Putra*
Dalam sebuah diskusi bertajuk Pemeringkatan Cagar
Budaya di Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi, bersama Badan Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Kemdikbud RI, yang
dikomandoi oleh Junus Satrio dan beberapa peneliti lainnya, setidaknya memuat
beberapa persoalan penting antara lain, yaitu gerakan pendewasaan pada
simbol-simbol kebudayaan (tangible-intangible) perlu mendapatkan frekuensi yang
memadai dengan diiringi lahirnya gerakan cerdas oleh institusi kebudayaan
(termasuk pusat studi), para akademisi, komunitas pelestari cagar budaya, serta
terbukanya ruang kreasi sebagai medium penghayatan nilai-nilai kebudayaan yang
mengitari bangunan, struktur atau artefak yang dihasilkan oleh sebuah kelompok masyarakat
pada sebuah masa (sesuai kriteria cagar budaya itu sendiri).
Itu artinya, menyerahkan urusan kebudayaan
semata-mata pada pihak pemerintah adalah tindakan keliru. Hal itu masuk akal,
mengingat gerakan ini merupakan bangunan dasar bagi upaya perlindungan,
pemanfaatan dan pelestarian sekaligus menjawab kekhawatiran masyarakat di saat
terjadinya degradasi budaya lokal.
Kemudian transisi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010
tentang Cagar Budaya yang menghendaki terbentuknya Tim Ahli Cagar Budaya (TACB)
yang bertugas memastikan pemeringkatan cagar budaya. Muncul pertanyaan, apakah
di setiap daerah telah memiliki tim tersebut dengan spesifikasi kelimuan dan
lain sebagainya sehingga layak dipertanggungjawabkan secara akademis, teknis,
dan administratif.
Menurut pak Junus, Tim yang ada baru berjumlah 10 orang,
dan itu masih di Pusat semua (baca: Kemdikbud, Jakarta). Sementara amanat UU
Cagar budaya, TACB harus ada di setiap daerah yang nantinya secara kepastian
hukum dilegitimasi melalui keputusan Bupati atau Gubenur, tergantung sebaran
objek cagar budaya (bisa bersifat situs atau kawasan). Karena status objek
cagar budaya harus terlebih dahulu melewati pendaftaran dan pemeringkatan
melalui kabupaten/kota atau provinsi hingga nasional.
Kabar yang menggembirakan yaitu tim di setiap daerah akan
diisi 60% oleh keterlibatan masyarakat di luar mereka yang memenuhi unsur
'intelektual autority' di bidang kepurbakalaan. Di sinilah keterlibatan
akademisi, jurnalis media (cetak/online), LSM, komunitas, tokoh agama, tokoh adat,
tokoh masyarakat dan lain sebagainya. Tinggal sistem rekrutmen yang mesti diatur di lapangan dan bagaimana sistem pendidikan atau pendampingan
bagi mereka yang dipilih menjadi tim, mengingat tugas mereka berkaitan lansung
dengan benda-benda kepurbakalaan.
Selanjutnya, TACB yang dibentuk akan dievaluasi lima
tahun sekali. Artinya, proses sertifikasi ini menjadi penting. Ada banyak hal yang dibahas dalam pertemuan tersebut, terutama
kebutuhan-kebutuhan prinsip yang ditimbulkan oleh gagasan reformasi pengelolaan
cagar budaya saat ini (sebagaimana tercermin dalam UU Nomor 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya, pengganti dari UU Nomor 5 Tahun 1992 yang dinilai secara
ideologis, akademis dan pertimbangan lainnya sudah tidak relevan lagi).
Di samping itu, UU Cagar Budaya belum sepenuhnya
menyentuh ke lapisan masyarakat bawah, terutama mereka yang bersentuhan lansung
dengan objek cagar budaya. Lalu, bagaimana dengan Kawasan Percandian Muarajambi?
Sejauhmana kerja tim ahli yang dibentuk oleh Wamendikbud, jawaban yang saya dapatkan
dalam forum tersebut yakni masih dalam proses. Jadi sabar saja, begitu katanya.
Kita harus menunggu lagi, meski beberapa bulan yang lalu beberapa koran
nasional mengabarkan bahwa mereka (TACB) segera melaporkan hasil penelitiannya
sehingga penyelamatan Percandian Muarajambi dari proses pengrusakan akibat
aktivitas stockfile di area kawasan Percandian Muarajambi bisa terwujud.
*Kota Jambi, 16 November 2016.
0 Komentar