Oleh:
Jumardi Putra*
*Oretan di atas penulis sampaikan dalam
dialog Jambi TV (2015) tentang pengembangan pariwisata dan budaya di Provinsi Jambi.
Dalam
sebuah dialog di stasiun tivi lokal Jambi, saya ditanya mengenai substansi dan
jalannya debat Pilgub Jambi beberapa waktu lalu, khusus sesi budaya dan
pariwisata provinsi Jambi.
Membicarakan
budaya dan pariwisata Jambi dalam waktu yang serba terbatas ibarat eksekusi
penalti dalam sebuah pertandingan sepak bola. Bila
berbuah gol, maka itu adalah pengalaman manis baik bagi si penendang, para
pemain, pelatih, pemilik klub, dan suporter. Sebaliknya, bila gagal, bersiaplah
menanggung rasa bersalah dan (mungkin) disalahkan.
Begitulah
kira-kira, analogi yang mendekati suasana debat Pilgub Jambi beberapa waktu
lalu. Terkadang masing-masing kontestan berhasil menyarangkan gol ke gawang lawan,
juga sebaliknya, meleset jauh ke luar lapangan. Justru yang bikin deg-degan (tentu bagi masing-masing tim
sukses) ketika sang bundar hanya mengenai tiang gawang.
Saya
menilai muatan debat malam itu belum menyentuh substansi budaya dan pariwisata
Jambi (untuk menyebut sekadar teknikal dan instrumental), seperti mendirikan
portal pariwisata, menyoal kawasan wisata Jambi yang “dinilai” belum terkenal,
sosialisasi tengkuluk dan bentuk material kesenian lainnya, pengelolaan cagar
budaya Percandian Muarojambi untuk mendongkrak jumlah kunjungan wisata di Bumi
Pucuk Jambi Sembilan Lurah.
Bahkan,
oleh masing-masing tim sukses, juga sebagian pengamat, gagasan di seputar
budaya dan pariwisata justru diamini usai debat dalam konstelasi pemikiran yang
tidak sehat dan cenderung cauvinistis. Terutama kontroversi Danau Tujuh
dan Gunung Kerinci dalam peta kepariwisataan, baik di level regional, nasional
hingga internasional.
Ujung-ujungnya,
bisa diprediksi sebelum debat, tersebab keterbatasan keuangan daerah, kedua
calon Gubernur bersepakat pariwisata di Jambi saat ini belum mampu memberikan
kontribusi maksimal bagi peningkatan perekonomian masyarakat Jambi.
Sudah
begitu, kesepakatan tersebut tidak berlanjut pada tawaran konsepsional (cetak
biru) perihal pengembangan Budaya dan Pariwisata Jambi dalam masa kepemimpinan
mereka lima tahun ke depan.
Idealnya muncul konsepsi urgensi penyusunan Rencana Induk Pengembangan (RIP) Budaya dan
Pariwisata provinsi Jambi. Sebuah konsep yang memuat gagasan/pemikiran ideal tentang
pengelolaan, pengembangan dan pelestarian budaya di seluruh Kabupaten/Kota
dalam wilayah provinsi Jambi, baik berupa budaya benda (tangible) dan
tak benda (intangible). Begitu juga seni tradisi dan modern sama-sama mendapat
tempat.
Sejurus hal itu, pangkal soal sekarang bukan lagi apa pengertian kebudayaan itu,
tetapi apa yang dapat kita perbuat dengan kebudayaan (sebagai kata kerja), dan
hal itu berarti kita secara aktif, baik sebagai indvidu maupun kolektif, entah
bersifat regulatif atau sistemik, bila didasarkan pada basis
“norma/nilai-nilai, etika, dan estetika, diharapkan dapat mencari jalan baru
untuk mencapai ruang-ruang aktualisasi yang berkeadaban.
Kenapa
hal itu menjadi penting? Merujuk Yudhistira AN. Masardi (Kompas, 2009),
“Sebagai pokok kayu besar (baca: kebudayaan) dengan seribu akar serabut, kita
terlalu lama membiarkan banyak bagiannya melapuk. Kita juga sudah terlalu lama
terlena dan berlupa, sehingga kekayaan budaya di ambang kepunahan”.
Selanjutnya
terhadap persoalan budaya dan pariwisata Jambi, saya tidak akan masuk pada
wilayah yang justru menjauhkan kita pada pokok persoalan kebudayaan Jambi
dewasa ini. Apatahlagi, debat Pilgub perdana itu masing-masing calon Gubernur
terjebak pada ranah ekonomi dalam pariwisata: satu dari banyak bagian dalam
kebudayaan yang tidak boleh menjadikannya lebih penting dari unsur-unsur
lainnya.
Paradigma
tersebut bila tidak segera dirubah tentu akan menciptakan dunia pariwisata
tuna-budaya. Sebuah keadaan di mana budaya ekonomi-isme memperparah semua
kecenderungan yang ada dalam masyarakat modern kita. Manusia sebagai homo-humanus
telah diredusir, sudah dilokalisir di wilayah satu dengan wilayah lainnya oleh
kuasa dominan (kalau bukan sifat tercela) dari homo-economicus.
Ungkapan
“kuncen” kebudayaan Radhar Panca Dahana menjadi relevan kita renungkan, yaitu
“Tanpa kebudayaan, saya kira, pemerintah mana pun hanya akan menyelebrasi
kemenangan materi yang kering dan hampa hanya karena pada saat bersamaan ia
menaklukkan, bahkan melumpuhkan jiwa atau spritualitas yang membuat materi itu
menjadi makna dalam kenyataan hidup kita”.
0 Komentar