Pramoedya. sumber ilustrasi: tirto.id |
Oleh: Jumardi Putra*
6 Februari 1925 adalah hari kelahiran Pramoedya Ananta Toer, sastrawan garda depan Indonesia. Hampir seumur hidupnya, pengagum karya sastra Jhon Steinbeck ini dihabiskan di balik jeruji besi. Bukan hanya semasa pemerintahan Soekarno dan rezim Orde Baru, saat pemerintahan Belanda pun ia pernah ditahan selama dua tahun (1947-1949). Selanjutnya pada 1965 hingga 1979 Pram kembali ditahan di beberapa tempat, seperti di penjara Jakarta, Tangerang, Nusakambangan, Magelang, Semarang, dan Pulau Buru.
Meskipun mengalami “kehilangan” cukup berarti dari masa hidupnya yang penuh gejolak, termasuk sakit dan ancaman kematian yang selalu membayanginya di penjara, tetapi itu dianggap tantangan besar yang harus ditempuh, sehingga di masa itu berlaku adigium, “Penjara adalah universitas bagi orang-orang revolusioner.”
Sebagaimana Revolusi Indonesia ketika Belanda melancarkan praktek polisional pertama (baca: agresi militer), sederet penderitaan sebagai akibatnya adalah kausalitas yang penuh dengan guratan-guratan gelap. Bagaimana tidak, seperti dikisahkan Pramoedya dalam buku Mereka Yang Dilumpuhkan, kita membaca situasi penjara yang penuh siksaan.
Tidak berhenti di situ saja, pria kelahiran Blora, Jawa Tengah, ini dikenal sebagai manusia Indonesia yang diperlakukan tak adil oleh bangsanya sendiri. Terbukti dari beberapa kali menerima undangan menghadiri kegiatan internasional yang dilakukan oleh pihak luar negeri berujung gagal, lantaran keberadaanya selalu diawasi rezim diktator Soeharto. Bahkan, Kees Snoeck, salah satu penulis buku Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir (Kamunitas Bambu, 2008), sebelum wawancara dengan Pram pada tanggal 26 Juli tahun 1991, mendapat pesan dari seorang penyair cum ahli sejarah hukum Belanda G.J. Resink (1911-1997) bahwa berhubungan dengan Pram adalah pekerjaan yang beresiko, karena ada spionase dari pemerintah, jadi harus berhati-hati (hal: 97-98).
Tidak berlebihan pula kalau Cris GoGwit, Profesor bahasa Inggris dan perbandingan sastra di Fordhamm University menganggap kehidupan Pram semasa hidupnya sebagai orang yang terasing di negerinya sendiri (Saya Terbakar Amarah Sendiri, KPG, 2006).
Di samping hak hidup yang terbatas, dalam buku terbitan Komunitas Bambu itu, pembaca akan menemukan kekecewaan Pram yakni ketika mengenang puluhan naskah dan dokumentasi hasil kerja kerasnya diberangus dan dilarang beredar oleh pemerintah. “Saya merasa sampai titik nadir kehinaan di Indonesia pada masa Orde Baru,” ungkap Pram pada Kees Snoeck.
Bahkan, pada 1989 di Yogyakarta, dua mahasiswa yang menjual buku-buku Pramoedya secara diam-diam, dijatuhi hukuman penjara selama delapan tahun (hal. 63). Begitulah seterusnya kehidupan Pram, bagai lipatan kekecewaan yang terus menghimpit, sehingga ia memberanikan diri menyimpulkan salah satu karakter orang Indonesia adalah penindas.
Namun, dalam perjalanan panjang itu, konsistensi hidup Pram mengantarnya pada tempat tersendiri di mata orang banyak, dan itu terbukti setelah Soeharto diturun paksa oleh massa rakyat dan tuntutan reformasi menggejala dalam diri manusia Indonesia, tepatnya tahun 1998, satu per satu karya-karya Pram diterbitkan kembali, termasuk yang terbit ulang.
Kini, karya dari sastrawan Indonesia itu bisa dinikmati dan dibaca dengan leluasa oleh masyarakat dunia. Bahkan, dalam rentang waktu 1986-1988, buku jilid ketiga dari tetralogi Buru: Jejak Langkah, dalam waktu relatif singkat habis terjual sejumlah 10.000 eksemplar. Sebuah pencapaian fantastik untuk penjualan ketika itu.
Sastra dan Sejarah Indonesia
Kehadiran buku Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir (Kamunitas Bambu, 2008), tentu memberikan banyak informasi perihal kehidupan serta keterlibatan Pram dalam agenda revolusi,mulai dari masa kependudukan Belanda (1932), Jepang (1942) dan dua pemerintahan dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia, yakni Orde Lama dan Baru (1945-1998).
Itu semua dihimpun ulang oleh Kees Snoeck dan August Hans den Boef dalam kerangka membuka analisa baru (di samping telah banyak kajian kritis atas karya Pram oleh pengamat sastra lainnya) tentang karya sastra Pramoedya semasa di sel, mulai dari karya berjudul Perburuan (1949), Keluarga Berilya (1950), Mereka yang Dilumpuhkan (1950), dan Tetralogi Buru (Bumi Manusia, 1980, Anak Semua Bangsa, 1983,Jejak Langkah, 1986, dan Rumah Kaca, 1989).
Meskipun buku itu diselesaikan pada tahun 1991, entah apa yang membuat buku tersebut harus menunggu 18 tahun kemudian baru diterbitkan. Tidak ada penjelasan dari penerbit mengenai mengapa baru sekarang buku ini diterbitkan, padahal beberapa tahun setelah karya ini diselesaikan, reformasi telah menyediakan pintu-pintu publikasi secara luas.
Walakin, sekalipun penerbitannya terlambat, buku ini masih sangat relevan untuk dibaca oleh siapa saja, karena buku ini merupakan kesaksian Pram tentang penindasan dari pemerintah empat zaman, kondisi keluarga di masa kecil yang memperihatinkan, serta kedekatan karyanya dengan realitas sosial masyarakat.
Augus Hans berpendapat setiap hasil karya Pram, gaya khasnya selalu tersirat jelas yaitu kesadaran akan latar belakang sejarah Indonesia yang makin dipertajam melalui studi dan kehidupan yang berubah-ubah. Dengan kata lain, ada konsistensi yang kuat mengenai visi yang disebarkannya, dan itu adalah bagian dari kegiatan oposisi terhadap kekuasaan yang menindas (Oposisi, Seks, & Amerika dalam Prosa, Metafora, 2006).
Selain itu, filsafat moral yang selalu ia kumandangkan dalam roman dan cerita semasa hidupnya, membuat Hans menyimpulkan bahwa Pram tetap diperhitungkan dalam kancah sastra dunia dikarenakan sampai akhir hayatnya, ia tetap dengan pendirian serta sikap yang selalu berkepala tegak, baik pada masa dekolonisasi Belanda maupun pada masa pemerintahan Soekarno dan rezim Soeharto.
Tak syak, penghargaan Ramon Magsaysay Award Foundation di Manila Filipina pada tahun 1995 menjadi miliknya, lantaran dalam setiap kisah cerita yang diangkat Pram dinilai selalu mengembara pada tema-tema kemanusiaan dan keadilan sosial.
Aspirasi tokoh-tokohnya berhadapan dengan kejahatan historis kekuasaan asing, feodalisme pribumi maupun akibat-akibat keadaan perang, kemiskinan dan kekacauan. Selain itu, kisah-kisahnya bergelimang dengan kesadaran pedih akan rapuhnya moral manusia ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan jahat yang dominan (Press Realeas-Manila, 19 Juli 1995).
Pram telah tiada, tepat pada 30 April 2006, ia pergi menghadap ke haribaan Ilahi dengan mewariskan karya-karya bermutu tinggi. Di atas itu semua, yang relevan bagi kita renungi sekarang adalah pesannya semasa hidup yaitu "Saya berharap bahwa pembaca-pembaca di Indonesia, setelah membaca buku saya, merasa berani, merasa dikuatkan. Dan kalau ini terjadi, saya menganggap tulisan saya berhasil. Itu adalah suatu kehormatan bagi seorang pengarang, terutama bagi saya. Lebih berani. Berani. Lebih berani!"
*Tulisan ini terbit pertama kali di portal kajanglako.com pada 1 Mei 2018. Catatan saya lainnya bisa dibaca di link berikut ini, Cerita dari Blora: Berdirilah di Atas Kaki Sendiri!
0 Komentar