Oleh: Jumardi Putra*
Seminggu belakangan, lalu lalang di pikiran saya apa
sesungguhnya yang dikehendaki oleh pengurus Dewan Kesenian Jambi (DK-Jambi)
melalui Temu dan Dialog Seniman yang bertajuk “Art Talk Movement”, sebagaimana
H-1 jelang perhelatan, 30 Januari 2016, terpampang di baliho di salah satu
pertigaan Sungai Kambang, Kota Jambi.
Apakah itu sebuah usaha untuk kembali membicarakan (mungkin
lebih tepat mendudukkan) posisi institusi seni (dalam hal ini DK-Jambi),
Pemerintah Daerah (dalam hal ini SKPD Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan UPTD
Taman Budaya Jambi, serta Ex-Officio lainnya),
serta seniman (kreator), yang kian ke sini seolah tabu dibicarakan secara kritis
dan terbuka?
Perkiraan saya lebih kepada tafsir bebas pada kalimat
sloganistik di baliho itu berbunyi “Tak ada Negara yang besar tanpa seni dan
budaya sebagai penopangnya.” Atau itu sekadar program yang bersifat
eksekusional semata (untuk menyebut reaktif dan belum mencerminkan cara kerja
sebuah lembaga), sebagaimana mengemuka belakangan ini.
Dua pertanyaan di atas menemukan titik-terangnya setelah saya
menerima pesan elektronik berisi undangan menghadiri Dialog Seni langsung dari
ketua pelaksana, Nukman Permindo, peneliti tradisi lisan Jambi.
Merujuk isi surat tersebut saya berkesimpulan, pertanyaan
pertama di atas lebih mendekati apa yang menjadi nawaitu pengurus DK-Jambi, terlebih lagi dalam surat undangan
digaris-bawahi “diharapkan lahirnya usulan dan saran program kerja kesenian
untuk diteruskan kepada pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai
rujukan dalam menyusun kebijakan tentang pembangunan kesenian”.
Hal itu bertalian dengan apa yang menjadi misi utama
DK-Jambi, salah satunya sebagai lembaga “ide” yaitu dapat meneropong kerja
artistik para seniman di seluruh Kabupaten/Kota dalam provinsi Jambi; mempromosikan kerja-kerja
artistik yang bermutu; merekomendasikan dan menawarkan program kepada
pemerintah atau pun stakeholder demi
terciptanya iklim kreatif yang inovatif dan alternatif.
Sebelum menjurus pada soal usulan, saran program kerja, dan
pembicaraan teknis lainnya, hemat saya terlebih dahulu masing-masing kita perlu
membicarakan beberapa hal dengan dimulai dari pertanyaan dasar yang
sesungguhnya menjadi usang dan menjadi klasik.
Pertama, apa dasar kebutuhan/ide
dari pertemuan/dialog semacam ini, yang sama-sama kita amini telah berulangkali
dilakukan, baik secara kelembagaan sampai obrolan warung kopi? Kedua, mengapa
institusionalisasi kesenian justru diperkuat? Ketiga, pengelolaan kesenian
macam apa yang dibutuhkan di tingkat provinsi Jambi baik oleh masyarakat seni
atau pemerintah, sementara pengelolaan kesenian di tingkat Kabupaten/Kota masih
meninggalkan persoalan yang tak kalah rumitnya, dan menuntut segera ditemukan
solusi?”
Selanjutnya, yang tidak kalah penting, bagaimana kita memaknai
kewenangan DK-Jambi sebagai lembaga yang memberi saran dan rekomendasi pada
eksekutif (dalam hal ini Gubernur) perihal tata kelola kesenian Jambi, sementara dalam
praktiknya, dukungan anggaran, infrastruktur, dan regulasi belum berorientasi
ke arah yang dimaksud.
Jawaban dari pertanyaan di atas, menurut hemat saya,
dapat mengantarkan masing-masing kita pada apa yang dibahasakan dalam undangan
resmi DK-Jambi yakni “menemukan pemahaman bersama untuk tujuan akhir membangun
iklim berkesenian yang lebih baik”.
Sejurus hal itu, masing-masing kita dapat menilai secara
obyektif, apakah DK-Jambi saat ini mengalami kendala baik secara internal
maupun eksternal, karena hingga saat ini belum terlihat program-program kerja
DK-Jambi di bawah kepemimpinan Fahmi Sabki secara organisatoris?
Hal demikian juga akan membuka tabir yang selama ini seolah
dibiarkan tertutup rapat, apakah mereka yang “antipati”, pasif dan bahkan mendukung
DK-Jambi (di luar kepengurusan) telah secara sungguh-sungguh turut
berkontribusi bagi pemecahan masalah sekaligus memperkuat DK-Jambi secara
kelembagaan, sehingga menjadi lebih baik dari DK-Jambi periode
sebelumnya, sebagaimana tercermin dari nama sebuah grup bincang-bincang
kesenian di jejaring sosial facebook
yang umumnya berisi pengurus DK-Jambi, memproklamirkan agenda besar yaitu “DKJ
Menjalankan Perubahan!” Betulkah demikian?
Akhirnya, untuk tidak
terjebak pada seremonial belaka, perlu kiranya masing-masing kita (seniman)
memikirkan secara suntuk (paling tidak sebelum bertemu di arena dialog) perihal
potret institusi pengelola kesenian Jambi dewasa ini, sehingga pada puncaknya dengan dukungan argumentasi plus data yang akurat, terbit semacam “Deklarasi
Sungai Kambang” sebagai bentuk komitmen sekaligus pernyataan bersama masyarakat
seni seprovinsi Jambi kepada pemerintah, apatahlagi dalam satu-dua bulan ke
depan, Jambi dipimpin Gubernur Baru, Zumi Zola, yang katanya menaruh kepedulian
yang tinggi pada kesenian.
*Tulisan ini dibuat pada tanggal 29 Januari 2016, sehari
sebelum dialog seni Dewan Kesenian Jambi berlangsung di Taman Budaya Jambi.
0 Komentar