Oleh:
Jumardi Putra*
Siang itu
langit Tanah Pilih Pusako Betuah,
Kota Jambi, berawan cerah. Saya bergegas menyalakan motor usai mendapati kepastian wawancara bersama Ramdani Sirait di
rumahnya, yang berlokasi di Jalan Kapten Dirham No. 20, tepatnya belakang
Masjid Nurul Hikmah, antara Kantor Samsat dan CPM, Jelutung, Kota Jambi.
Kunjungan ini
bukan kali pertama bagi saya, setelah tiga pertemuan sebelumnya berlangsung di
kediaman warisan orangtuanya itu. Terakhir kali saat bedah buku terbarunya,
Going Global (2017), yang mengangkat pengalaman empiris belasan individu dari
pelbagai daerah di Indonesia, yang dengan segala keterbatasan berhasil meraih
prestasi sekaligus bekerja di berbagai lembaga internasional.
Publik Jambi
mungkin belum banyak mengetahui rekam jejak Ramdani Sirait, sosok pria yang hingga sekarang telah
mengunjungi 26 negara di 5 Benua. Mula perkenalan saya dengan lelaki yang
pernah bekerja sebagai koresponden Kantor berita Antara di Amerika Serikat
periode 2001-2004 ini medio 2016 di sebuah cafe di
pusat belanja Kota Jambi. Jejaring sosial facebook
menghubungkan kami yang sebelumnya tidak kenal satu sama lain, apatahlagi
bertatap wajah langsung dalam sebuah majelis ilmu.
Kala itu
kami bertukar pikiran mengenai situasi Jambi,
utamanya paska Zumi Zola Zulkifli, yang dikenal luas sebagai artis
pemeran film nasional, dilantik sebagai Gubernur Jambi periode 2016-2021 setelah sebelumnya berhasil mengalahkan
kandidat petahana, yaitu Hasan Basri Agus (HBA) pada pilkada serentak dua tahun
lalu (2015).
Jumpa
perdana kami ketika itu dipungkasi berbagi buku karya pribadi.
Ramdani menghadiahi saya novel berjudul Green
Card (2014), sebuah novel yang mengangkat sisi pelik migran ilegal di
Amerika Serikat dan buku “Jangan Bawa Pulang HIV” yang berisikan pengalaman
sekaligus data riset seputar HIV /AIDS (2015), utamanya karyawan perusahaan
berpenghasilan tinggi yang sering melakukan perjalanan jauh.
Dua buku itu
(plus Going Global) seakan menjadi saksi bagi perjalanan sekaligus
orientasi karirnya, yang belasan tahun bekerja sebagai jurnalis, juru bicara
perusahaan multinasional, hingga memilih berkecimpung dalam dunia pemberdayaan
kesehatan (utamanya HIV/AIDS) dan hingga sekarang aktif sebagai konsultan
bidang komunikasi serta pemberdayaan kaum muda kreatif Kota.
Kepadanya
saya memberikan buku sepilihan puisi “Ziarah Batanghari” (2013) dan kumpulan
esai-esai budaya bertajuk “Kami Tahu Mesin Berhenti, Sebab Kami yang
Menggerakkannya (2015)”. “Semoga menguatkan kerinduan Anda pada tanah kelahiran
sekaligus berbuat untuk kemajuan Jambi,” imbuh saya disambutnya dengan
tawa.
Meski
sejak 1986 hingga sekarang memilih
tinggal di Jakarta dan pernah beberapa tahun di Amerika Serikat serta Inggris, bagi Ramdani, Jambi telah meletakkan landasan
kuat dalam kedewasaannya baik sebagai pribadi maupun pekerja profesional. “Itu
sebabnya saya selalu ingat dan menyempatkan diri berkunjung ke Jambi, meskipun
dinamisasi Jakarta lebih pas untuk saya, keindahan Bali lebih enak untuk
dilihat, kesederhanaan Yogyakarta lebih nikmat untuk dirasakan, atau kota
megapolitan New York City yang ngangenin,” tutur pria yang pernah bertugas
dalam ketakutan pasca Referendum di Timor-Timur pada 1999 itu.
“Sayangnya,
setiap kali saya pulang ke Ibu Kota Provinsi ini selalu menyembulkan tanda tanya besar, yaitu kenapa Jambi
bergerak lamban. Kenapa dak ado perubahan fundamental di Bumi Pucuk Jambi
Sembilan Lurah ini, seperti masih sedikitnya lapangan pekerjaan (di tengah
keumuman warga muda berlomba-lomba menjadi PNS), tumbuhnya kaum terdidik yang
menjadi pengangguran ‘baru’, dan kualitas pendidikan masih jauh dari harapan,” imbuhnya keheranan.
“Kontribusi kongkrit Anda bagi Jambi ditunggu
lo?” timpal saya seolah menagih.
“Medio 2016
lalu kita pernah membicarakan kinerja Zola sebagai Gubernur Jambi, dan
pahitnya, baru-baru ini, 28 November 2017, Jambi gempar oleh OTT KPK terkait
uang “Ketok Palu” RAPBD Jambi 2018, sehingga bawahannya (Plt. Sekda, Asisten
III, dan Plt. KadisPUPR) ditahan KPK,
dan dirinya sendiri dijadikan tersangka grativikasi RAPBD Jambi. Ini
pukulan berat bagi pemerintahan Jambi yang dihadapkan pada pekerjaan rumah nan
kompleks ke depan,” tuturnya.
Namun
demikian, lanjut pria penyuka
empek-empek ini, semua Kabupaten/Kota
dan pemerintah Provinsi Jambi sekarang dan ke depan mesti bekerja keras dalam
bingkai transparansi, akuntabel dan menerapkan konsep keberlanjutan, sehingga
bisa mensejajarkan diri dengan provinsi lain di Indonesia yang sudah lebih
maju, terutama pencapaian-pencapaian pembangunan seperti Human Development
Index, Indeks Kesehatan Masyarakat, Indeks Kota Cerdas untuk ibukotanya, dan
indeks kelayakan hidup.
Kerja Jurnalistik
Ramdani
Sirait lahir 3 Desember 1967 di Kota Jambi. Masa kecilnya banyak dilalui di
rumah orangtuanya, yang kini ditempati dua adiknya di Jelutung Kota Jambi. Rumah
ini juga tempat tinggalnya ketika dia pulang ke Jambi.
Ayah Ramdani
Sirait asli dari Kisaran, Sumatera Utara, dan Ibunya dari Kuningan, Jawa Barat.
Mereka bertemu di Palembang mulanya, ketika ayah Ramdani yang anggota Polisi
Militer saat itu, sedang bertugas di kota Palembang, dan kemudian bertemu
dengan ibunya yang saat itu sedang bersama bibinya yang tinggal di kota itu.
“Menikahlah
mereka, dan berpetualanglah mereka dari satu kota ke kota lain di Sumatera
sebagai keluarga Polisi Militer. Sementara dua abang saya lahir di Palembang
dan Kerinci, sementara saya dan dua adik saya lahir di kota Jambi. Dari lahir
hingga lulus SMA pada 1986, yaitu SMA Negeri 3 Jambi, saya tinggal di Jambi. Karenanya,
saya merasa bahwa saya orang Jambi.Tempat tanggal lahir saya di semua dokumen
kehidupan saya adalah Jambi,” tukas Ramdani.
Lulus kuliah
tahun 1991, Ramdani Sirait mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan periklanan
sebagai customer service officer.
Belum satu tahun di perusahaan ini, Ramdani melihat lowongan pekerjaan sebagai
wartawan dari sebuah Lembaga Psikologi yang melakukan rekrutmen.
Berbekal
ilmu praktek menulis sejak SMP hingga diasah selama di perguruan tinggi
mendorong Ramdani untuk melamar. Lalu setelah 3 bulan proses seleksi, Ramdani
dan 9 orang lainnya diterima menyisihkan banyak pelamar lainnya.
“Ternyata
yang mencari wartawan baru itu adalah Kantor Berita Antara. Dulu Lembaga Kantor
Berita Nasional namanya. Januari 1992 saya mengikuti pendidikan dan pelatihan
di Kantor Berita Antara ini,” tuturnya.
Juni 1992
Ramdani resmi diterima sebagai wartawan kantor berita Antara dan tugas pertama
saat itu adalah meliput Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara Non Blok yang
diselenggarakan di Jakarta Hilton Convention Centre (saat ini namanya Jakarta
Convention Centre).
“Itu adalah
pengalaman luar biasa buat saya, karena saya melihat banyak kepala negara
asing, para diplomat dan orang-orang hebat lainnya. Pengalaman lapangan saya
ketika itu adalah mewawancarai Nur Misouri, pemimpin Front Kemerdekaan Filipina
Selatan yang juga hadir di perhelatan internasional yang menjadi kebanggaan
Presiden Soeharto saat itu,” ungkapnya.
Sepanjang
bekerja di Antara, Ramdani pernah menempati posisi-posisi strategis, antara
lain Kepala liputan bidang ekonomi, koresponden di Timor-Timur tahun 1999,
Koresponden untuk Istana Presiden 2000, dan Kepala Biro di New York, Amerika
Serikat, 2001-2004 serta mendapat fellowship British Chevening Award,
Pemerintah Inggris untuk Advanced
Journalism dan belajar di Cardiff University, di Wales, United Kingdom,
pada 1998.
“Khusus fellowship, saya tidak sendirian. Ada jurnalis dan host ternama
Kick Andy, yakni Andi F. Noya dan tiga wartawan lainnya dari Indonesia,” sambungnya.
Mengetahui
Ramdani pernah menjadi koresponden berita Antara di Istana Presiden tahun 2000,
pandangannya terhadap sosok santri neomodenis ‘par excellence’, yang adalah
Presiden RI keempat, yaitu Abdurrahman Wahid,
akrab disapa Gus Dur, saya korek perlahan-lahan.
Ambil misal,
sosok Gus Dur yang menjadikan Istana sebagai “rumah rakyat” sehingga mudah
didatangi warga, utamanya dari kalangan Kiai dan ulama; sejumlah kerja bilateral Pemerintah Indonesia dengan
beberapa negara lainnya (tak luput kontroversi Gus Dur saat bertemu Menteri
Perdagangan Israel di bandara sebelum lawatan kenegaraan ke luar negeri).
Begitu
juga hubungan Gus Dur yang amat cair
dengan para jurnalis dan kelompok pejuang demokrasi, situasi yang amat berbeda
bila dibandingkan dengan sosok Soeharto, yang dikenal ketat dan kaku; serta
kedekatan Ramdani selaku teman dengan Yenni Wahid, anak bungsu Gus Dur. Bahkan,
tak luput joke-joke Gus Dur (ciri
utama presiden yang humoris itu), yang
ia dengar secara langsung juga diceritakan kepada saya dan wiwin.
Tak hanya
itu, Ramdani menceritakan pengalamannya menikmati fasilitas VVIP dengan
berpergian bersama Presiden Abdurrahman Wahid pada 2000; meliput pertemuan Gus
Dur dengan para kepala negara asing, mengikuti forum-forum
internasional, menyaksikan kehidupan sangat miskin di negara Haiti, di Selatan
Amerika Serikat; menyaksikan tari perut yang sangat seronok di pinggir Sungai
Nil, Kairo, ibukota Mesir, salah satu negara Islam itu, bersama rombongan
Presiden saat itu, dan itu pertunjukkan yang legal dan siapa saja boleh datang
asalkan sudah dewasa.
Lalu saat
bertugas di Amerika Serikat selama empat tahun, Ramdani turut menyaksikan
runtuhnya Word Trade Centre di New
York yang kemudian membuat kaum imigran termasuk warga negara Indonesia was-was
diusir dari Amerika Serikat karena berasal dari negara Muslim yang dinilai inteligen
negara itu potensi terorisnya banyak. Ketika itu ada
sekitar 100 ribuan orang Indonesia tinggal di Amerika Serikat, baik tinggal
maupun bekerja, termasuk mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan milik
orang-orang Yahudi.
Dalam pada
itu, Ramdani bertemu dan menyaksikan para tenaga kerja Indonesia di Malaysia,
Singapura, Arab Saudi yang semangat hidupnya luar biasa besarnya. “Mereka
adalah orang-orang yang pergi jauh dari negara untuk mencari kehidupan lebih
baik dengan caranya sendiri, bukan dengan teriak-teriak protes dan mengeluh,” kilahnya.
“Wah,
menarik pengalaman Anda. Penting ditulis secara khusus agar dibaca khalayak,” timpal saya.
“Cukup
banyak buku soal itu. Semoga ke depan saya bisa menulis pengalaman saya yang
terserak semasa Gus Dur jadi orang nomor satu di republik ini sekaligus
pengalaman berkunjung ke beberapa negara konflik, seperti Iran, Pakistan, dan
Haiti, ” ungkapnya sembari menyebut beberapa contoh
publikasi buku sekaligus beberapa lembar fotonya bersama Gus Dur semasa menjadi presiden, dan bahkan meminjamkan
saya salah satu koleksi buku di rumahnya, yang diberikan langsung oleh Yenni
Wahid kepadanya, yaitu Gus Dur di Istana Rakyat (Catatan Tahun Pertama), yang
dieditori oleh budayawan Mohamad Sobary dan kawan-kawan.
Tsunami Aceh dan Juru Bicara PT Freeport
Indonesia
Pulang dari
New York pada akhir 2004, Ramdani sempat kembali bekerja di Kantor Berita
Antara. Tetapi Ramdani sepertinya ingin pengalaman
baru. Di antara pencariannya, Ramdani tertarik dengan tawaran bekerja untuk
lembaga kemanusiaan internasional untuk program pemulihan anak-anak korban
tsunami Aceh.
“Awal tahun
2005, saya mulai bekerja di Banda Aceh selama enam bulan. Saya senang, karena
saya bekerja di lapangan lagi, bertemu banyak kawan lama dan baru, dan tidak
harus bekerja di belakang meja terus menerus,” ungkap
Ramdani yang selalu hoki dengan angka 3.
Usai
membantu rakyat Aceh yang terkena dampak gempa bencana tsunami pada 2005,
Ramdani ditelepon oleh PT Freeport Indonesia untuk bergabung dengan tim
komunikasi perusahaan itu. Sampai akhirnya ia bekerja resmi di perusahaan ini
sejak Maret 2006 di kantor pusat di Plaza 89, kawasan Kuningan, Jakarta
selatan.
Ramdani
menuturkan bekerja di perusahaan ini dengan beberapa tanggung jawab. Mulai dari
supervisor untuk hubungan dengan media massa, lalu Wakil Manajer untuk hubungan
dengan media massa dan program CSR dengan nama "Freeport Peduli,"
hingga menjadi Manajer Komunikasi yang dipaksakan mengingat manajer sebelumnya
sudah pindah ke perusahaan lain, dan sekaligus menjadi juru bicara perusahaan
karena pejabat sebelumnya meninggal dunia dan belum ada pengganti resminya
setelah itu.
"Bagi
saya, bekerja di Freeport adalah sebuah tahapan luar biasa lainnya yang saya
lalui dalam hidup saya. Bayangkan, saya tidak hanya bekerja di perusahaan multi
nasional yang mengolah sumber daya alam dengan teknologi tinggi dan modal luar
biasa besarnya.Tetapi juga menangani berbagai pekerjaan yang berhadapan dengan
banyak pihak yang sangat berseberangan dalam hal cara memahami industri
ekstraktif seperti Freeport. Belum lagi banyaknya warna
politik dalam permasalahan yang kami hadapi setiap harinya saat itu.Tetapi saya bersyukur karena saya pernah
menjalani semua itu," ungkapnya.
HIV/AIDS dan Isu Sosial Lainnya yang Berserakan
Maret 2013,
paska berhenti dari Freeport, Ramdani diminta oleh manajemen PT Gadjah Tunggal
Tbk, yang memproduksi ban dengan merek GT Radial, sebagai Senior Manager
Komunikasi Perusahaan yang juga membawahi program Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan/ CSR.
Akan tetapi,
tidak lama Ramdani bekerja di perusahaan yang sudah Go Public di Bursa Efek
Indonesia ini, Oktober 2014, Ramdani diminta untuk menjadi Direktur Eksekutif
sebuah organisasi kesehatan tenaga kerja yang dibangun tujuh perusahaan
nasional dan multi nasional yaitu Unilever, Chevron, Gajah Tunggal, Freeport
Indonesia, British Petroleum/ BP, Sintesa Group, dan Sinarmas.
Organisasi
itu adalah organisasi yang mengkampanyekan pentingnya program yang cerdas dan
tepat dalam merespon HIV dan AIDS di tempat kerja. Organisasi ini dibangun
didasari semakin meningkatnya jumlah tenaga kerja yang terinfeksi HIV, lalu
kemudian menjadi AIDS, dan sebagian meninggal karena penyakit-penyakit akibat
AIDS. Ini tentunya mengkhawatirkan bagi manajemen sumber daya manusia di dunia
usaha.
Tak terasa,
dua tahun Ramdani memimpin organisasi dengan nama Indonesian Business Coalition on AIDS ini.
Setahun di antaranya Ramdani juga diminta oleh Pemerintah Indonesia, tepatnya
Kementerian Tenaga Kerja RI, untuk menjadi Koordinator program serupa untuk
kawasan Asia Tenggara, ketika Indonesia menjadi Ketua organisasi tingkat ASEAN
ini.
Sambil
bekerja di organisasi ini, Ramdani mendapat tawaran untuk mengikuti program
eksekutif tentang kemitraan untuk keberlanjutan di Pascasarjana Universitas
Paramadina. Program ini kerjasama antara Pasca Sarjana Universitas Paramadina
dengan sebuah LSM di Jakata, Company -
Community Partnership on Health in Indonesia, dan Ford Foundation.
“Program
tersebut mempertemukan para eksekutif dari kalangan pemerintah,
swasta, LSM, media massa selama tiga bulan untuk memahami lebih jauh apa yang
harus dilakukan dalam mengusung kemitraan dalam setiap program pembangunan.
Kami juga belajar banyak best practices
dalam kemitraan,” tuturnya.
Waktu terus
berjalan, Ramdani terus bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Bertemu dan
bertukar pikiran dengan banyak orang dari pelbagai kelompok, baik dalam mapun
luar negeri. Berpikir lalu bertindak demi
capaian yang direncanakan untuk dikejar menjadi ciri utama dari pribadinya yang
sulit berhenti bekerja untuk sebentar.
“Apa arti kesuksesan bagi Anda, sebagaimana
keberhasilan yang anda raih hingga sekarang”, tanya saya.
“Mungkin
banyak orang akan terkesima membaca rekam jejak saya, tetapi pointnya tidak
semata pada hasil yang saya raih, melainkan sikap bekerja keras tanpa
perhitungan dan fleksibilitas yang tinggi dalam karir akan mengantarkan sesiapa
saja pada tahap-tahap menggairahkan dalam dunia kerja. Dalam kaitan itu, sukses
adalah ketika kita berhasil mengumpulkan pengalaman luar biasa, yang bermanfaat
untuk banyak orang. Itu yang nyata saya alami dan lakukan. Proses tidak akan mengecewakan anda,” jawabnya penuh yakin.
Setakat hal
itu, kesuksesan Ramdani seperti karang, justru ia raih setelah melewati fase
terberat dalam hidupnya, yaitu ketika sang ibu meninggal dunia saat Ramdani
masih di bangku kelas 6 SD, dan berselang setahun setelahnya giliran sang bapak
menyusul pergi meninggalkannya.
Di titik itu terjadi perubahan mendasar dalam
hidup saya. Saya lebih banyak sendiri.
Menghabiskan
waktu di rumah dengan membaca dan mengisi diari. Hidup
bersama dua adik perempuan saya, dan juga bersama paman sekeluarga yang
rumahnya tetanggaan dengan kami. Bahkan, ia sempat beberapa bulan pindah ke
Sumatera Utara, tapi tak betah sehingga kembali lagi ke tanah lahirnya dan
melanjutkan sekolah hingga tamat di SMA N 5 Kota Jambi pada 1983.
Masa-masa
SMA dilalui cukup berarti. Ramdani sekolah di SMA N 3 Kota Jambi.Tidak jauh
dari tempatnya tinggalnya, sehingga bisa berjalan kaki pulang dan pergi. Semasa
SMA, dia pernah menjadi ketua kelas, pengelola majalah sekolah, dan aktif di
pramuka dan Drum Band Cakra Bahana Nada, milik Pemerintah Provinsi Jambi.
Namun, diari tetaplah sahabat terdekatnya saat itu.
“Apa
pendapat Anda tentang kegagalan dalam dunia kerja,” tanya
saya.
Ramdani
langsung mencontohkan, yaitu sebelum terjun di dunia jurnalistik, awalnya ia
kuliah di Akademi Pimpinan Perusahaan, sebuah perguruan tinggi yang dikelola
Departemen Perindustrian RI (saat itu) dan berlokasi di perbatasan antara
Jakarta Selatan dan kota Depok.
“Kenapa
memilih Akademi Pimpinan Perusahaan?” sambut saya
“Saya gagal
masuk Perguruan Tinggi Negeri. Pilihan saya ketika Sipenmaru (Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru) tahun 1986 yaitu Sastra Inggris dan Sastra Perancis di Universitas Indonesia, gagal. Nama saya tidak ada dalam daftar yang
dipublikasikan koran-koran ibukota saat itu. Nangis? iya! Patah semangat?
hampir!” kenangnya.
“Tapi dari situ saya berusaha bangkit. Gigih
belajar. Bekerja di banyak tempat dengan gaji tak seberapa. Bahkan saya terus
menerus belajar bahasa Inggris secara otodidak tanpa pernah berpikir apakah
kelak terpakai atau sebaliknya. Alhamdulilah, berjalannya waktu,
perlahan-lahan usaha keras saya membuahkan hasil. Adalah sebuah proses panjang
bahwa saya bisa menjadi orang yang terpilih di setiap kompetisi, ujian, tes dan
penempatan di sejumlah posisi dan tempat, termasuk ke luar negeri. Itu semua
berkat prinsip saya yaitu tidak pernah perhitungan dalam belajar dan bekerja,” jelasnya.
“Apa
kesibukan Anda sekarang,” tanya saya.
Akhir 2016
Ramdani Sirait memutuskan untuk independen. Ia kerap mengisi waktu sebagai
pembicara, pemateri, motivator di sejumlah kampus, pemerintah daerah dan
komunitas-komunitas muda di beberapa
kota di Indonesia.
Ramdani juga
diundang untuk bicara di sebuah kampus di Bangkok Thailand bersama Diaspora
Indonesia Thailand, serta bertemu mahasiswa asal Indonesia dengan para anak
muda Thailand. “Ada satu kekosongan di diri saya yang ingin saya isi, yaitu membantu banyak
pihak dalam melihat apa yang terjadi di depan, dan bagaimana sukses menangkap
peluang-peluang yang ada,” ujarnya.
Seiring
mengisi berbagai forum motivasi dan pemberdayaan komunitas kreatif, sejak 2017,
hari-hari Ramdani dilalui dengan memimpin perusahaan konsultan strategi komunikasi
yang ia bangun bersama seorang kawannya di Jakarta, bekerja untuk para klien.
Namun, akunya, memberi kelas-kelas
motivasi tetap ia lakukan selagi diberi waktu dan enerji.
“Apa pesan
Anda untuk kaum muda Jambi,” tanya saya menutup pembicaraan.
“Ketika saya
pertama datang di New York, Maret 2001, di apartemen tempat saya tinggal, suatu
waktu saya melihat kota New York dari jendela kamar saya. Saya berkata kepada
diri sendiri. Ini luar biasa. Saya bisa berada
di tengah kota megapolitan ini, padahal kalau dilihat ke belakang, saya
hanyalah anak dari kota Jambi, yang ketika saya kuliah di Jakarta sering
dibecandain oleh kawan-kawan, Jambi itu dimana? Ada gak di
peta?" kelakarnya.
Dari situ,
laiaknya anak-anak yang lahir dan besar di daerah, Ramdani berkeyakinan penuh
dan mengatakan bagi sesiapa saja, yaitu jangan pernah berhenti bermimpi. Gigihlah
bekerja. Hiduplah berdampingan dalam perbedaan. Karena, untuk mewujudkan mimpi,
bukan ditentukan darimana kita berasal, tetapi kemana kita menuju sekaligus
kemampuan bekerjasama.
*Tulisan
ini terbit pertama kali di portal kajanglako.com pada Senin, 26 Februari 2018.
0 Komentar