Revitalisasi Budaya Lokal Jambi, Sebuah Catatan

ilustrasi
Oleh: Jumardi Putra*

Jelang peringatan ulang tahun Jambi ke-54, wacana revitalisasi budaya Jambi tampil untuk kesekian kalinya di muka publik (Jambi Ekspress, 06/11/10). Tak sedikit dari pengamat maupun praktisi budaya Jambi ambil bagian menyoal wacana tersebut. Atas dasar itulah, catatan ini hadir sebagai sebuah perimbangan.

Ada dua pertanyaan strategis, pertama pengertian revitalisasi dalam hubungannya dengan budaya Jambi. Kedua, konsep tentang wujud budaya Jambi yang erat hubungannya dengan usaha untuk melakukan revitalisasi tersebut. Kedua hal itu perlu lebih dahulu dibicarakan, karena keduanya merupakan pijakan untuk berbagai hal lain nantinya.

Dalam pengertian sederhana, revitalisasi budaya dapat dimaknai sebagai upaya yang terencana, berkesinambungan, dan bertujuan agar nilai-nilai budaya itu bukan hanya dipahami oleh para pemiliknya, melainkan juga membangkitkan segala bentuk kreativitas dalam kehidupan sehari-hari, serta dalam menghadapi berbagai tantangan abad globalisasi kini.

Apakah budaya Jambi sudah mati (punah) maka perlu direvitalisasi? Hemat saya, budaya Jambi belum mati sama sekali. Tetapi sebagaimana masyarakat Indonesia umumnya, masyarakat Jambi juga dilanda berbagai perubahan belakangan ini, akibat perjumpaan antara budaya lokal dengan budaya dari luar dirinya. Arus utama budaya yang terbentuk di abad modern ini ditandai dengan massifnya gejala ‘penghambaan’ atas budaya massal kapitalisme seperti individualisme, materialisme, hedonisme, dan konsumerisme. Kesemuanya itu adalah sub-sub dari globalitas yang sedang mempengaruhi terjadinya pergeseran nilai-nilai di tengah masyarakat Jambi.

Dalam konteks kebudayaan sebagai identitas diri maupun kelompok, problem tercerabutnya akar budaya lokal Jambi adalah wajah buram, jika tidak dicounter dengan pemahaman sekaligus penghayatan kita terhadap kebudayaan setempat. Hemat saya, sangatlah dimungkinkan, pada masa kini, sebagian besar orang Jambi yang lahir pada era 1960-an tidak banyak lagi yang mengenal sepenuhnya budaya Jambi, dan generasi keturunan mereka sekarang ini lebih tidak mengenal lagi budaya Jambi.

Ambil contoh, di sebuah perkampungan di Kabupaten Bungo, tepatnya di Desa Empelu, Kec. Tanah Sepenggal, ada tradisi meti-obat-sebuah ritual yang dilaksanakan sebagai wujud syukur karena telah diberikan kesembuhan oleh Allah SWT, setelah sebelumnya dijangkit penyakit akut-terjadi fenomena di mana antara Ninik Mamak lupa detail prosesi tersebut. Begitu juga dengan tradisi Mandi Aek Asin yang berakar kuat di Tanjung Jabung Timur, juga mengalami hal serupa. Tidak menutup kemungkinan, di luar ritual tersebut, dalam berbagai macam ekspresi kultural lokal lainnya telah sama-sama terjadi.

Selain itu, keberadaan peralatan musik tradisional masyarakat Jambi kurang mendapat perhatian, terutama oleh lembaga-lembaga yang diamanahi untuk menjaga dan melestarikan seni budaya Jambi. Sebut saja, seperti Ketipung Buluh (Kerinci), Redab (Batanghari), Rebana, dan Kelintang Kayu (Sarolangun Bangko). Demikian juga sastra lisan Jambi. Misalnya Seloko, mantra, atau pepatah-petitih, dan musik krinok-untuk menyebut salah satu contoh musik tradisional, telah menjadi sesuatu yang langka. Tentu tidak semua kesenian Jambi kehilangan gairahnya, karena hingga saat ini masih ada yang  muncul di permukaan, meski dalam intensitas yang jarang.

Pemerintah provinsi Jambi melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jambi, Dewan Kesenian Jambi (DKJ) serta para pekerja seni, akademisi, dan seluruh elemen masyarakat Jambi dapat mengambil peran sebagai agen perubahan yang bisa menjawab erosi kebudayaan Jambi saat ini. Sinergisitas antar sektor adalah kekuatan menuju ke arah yang dituju.

Oleh karena itu, sebagai jawaban atasnya, revitalisasi budaya Jambi sangat penting. Tentu saja revitalisasi yang perlu kita lakukan bukan dalam pengertian sempit atau sebatas kulit luar, yaitu menghidupkan kembali budaya Jambi dalam keadaannya seperti pada masa lalu. Pada bagian-bagian tertentu revitalisasi itu mesti kita lakukan dengan modifikasi sehingga pada yang kita revitalisasi itu relevan dengan semangat zaman yang terus mengalami perubahan.

Meminjam pendapat budayawan Yudistira AN. Massardi, kepada seni budaya yang masih hidup, berikan energi baru (berdayakan, lahirkan kembali, pertahankan orisinalitasnya sambil ciptakan varian baru dengan warna dan kemasan baru). Untuk yang sudah punah dan terkubur, lakukan penelitian dan penggalian, petakan anatominya, tuliskan sejarahnya, lantas ciptakan replikanya, agar bisa menjadi sumber inspirasi bagi generasi baru.

Bahkan, melalui revitalisasi itu diusahakan agar hasilnya memberi nilai tambah secara ekonomis bagi pemilik kebudayaan (warga masyarakat Jambi). Misalnya revitalisasi yang dilakukan terhadap seni musik dan kerajinan tangan masyarakat Jambi harus dilakukan sedemikian rupa sehingga hasilnya berupa karya musik serta barang-barang kerajinan diminati oleh pasar setempat maupun pasar nasional dan internasional. 

Pilihan Revitalisasi

Membicarakan revitalisasi budaya Jambi, kiranya perlu kita mengetahui keadaan perwujudan kebudayaan agar jelas bagi kita wujud yang mana dari kebudayaan itu yang perlu kita revitalisasi.
Meminjam klasifikasi wujud kebudayaan oleh antrolopolog Koentjaraningrat, ada tiga macam perwujudan kebudayaan. Pertama, perwujudan kebudayaan yang intangible (budaya tak benda) atau biasa disebut sebagai sistem nilai budaya yang kita kenal sebagai adat istiadat. Dalam wujud kebudayaan yang demikian itulah berada norma-norma dan segala macam aturan yang dijadikan sebagai pedoman oleh warga masyarakat pendukung kebudayaan yang bersangkutan.

Kedua, perwujudan kebudayaan yang berupa perilaku warga masyarakat pendukung kebudayaan yang bersangkutan dalam bergaul atau berinteraksi. Ketiga, perwujudan kebudayaan yang bersifat kebendaan (fisik/material) yang diciptakan oleh warga masyarakat pendukung kebudayaan yang bersangkutan untuk memenuhi keperluan hidup mereka. Wujud kebudayaan yang demikian ini disebut kebudayaan fisik atau kebudayaan material. Semisal seni tari, musik, seni rupa, dan jenis seni tradisi lainnya.

Setelah kita mengetahui tiga macam wujud kebudayaan seperti yang dikemukakan di atas, maka kita dapat memilih wujud kebudayaan Jambi mana yang diprioritaskan untuk direvitalisasi. Kalau kita hendak menghidupkan kembali nilai-nilai budaya Jambi tentu yang kita prioritaskan ialah wujud kebudayaan Jambi yang berupa sistem nilai budaya atau adat istiadat Jambi. Dan, kalau kita hendak menghidupkan kembali hasil kebudayaan Jambi yang bersifat material, maka yang kita utamakan untuk direvitalisasi ialah kebudayaan material atau kebudayaan fisik Jambi. Di dalamnya termasuk seni kerajinan tradisional yang punya kemungkinan untuk memberi penghasilan secara ekonomis bagi warga masyarakat Jambi kalau direvitalisasi dengan cara yang telah dikemukakan di atas. Artinya, hasil seni kerajinan Jambi berupa barang anyaman tradisional, barang tenunan tradisional, ukir-ukiran tradisional, alat musik tradisional, dan sebagainya diciptakan kembali untuk dijual di pasar lokal, nasional, maupun di pasar internasional sebagai barang kesenian tradisional Jambi.

Kalau kita memprioritaskan untuk merevitalisasi kedua macam wujud kebudayaan tersebut sekaligus, yaitu sistem nilai budaya dan kebudayaan material Jambi, saya kira demi kepentingan jangka panjang kita akan dapat melihat kembali wujud kebudayaan Jambi yang hidup secara nyata di tengah masyarakat, dan juga keuntungan secara ekonomis dapat kita raih sekaligus.

Pemanfaatan Teknologi Modern

Pemanfaat teknologi modern sebagai strategi pembangunan kebudayaan masihlah belum maksimal. Ia masih berdiri sendiri sebagai alat yang membantu kebutuhan-kebutuhan individu secara cepat-sesaat. Belum mengarah pada pemosisian teknologi sebagai instrumen transformasi kebudayaan lokal hingga sampai masuk pada tataran global. Di sinilah posisi strategis teknologi, yang mestinya dimengerti oleh masyarakat, terutama pemerintah dan pekerja seni.

Kalau kita merevitalisasi kebudayaan material Jambi, macam barang-barang seni kerajinan Jambi yang dapat diciptakan kembali, dan barang-barang seni kerajinan Jambi, di luar batik, juga punya peluang yang sama sehingga punya prospek yang sangat baik untuk laku di pasaran domestik, apalagi di pasar internasional.

Untuk pemasarannya ke dunia internasional kita dapat memanfaatkan teknologi komputer (jaringan internet) untuk menawarkannya. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan Pemerintah Jambi mesti menyediakan corong media yang representatif dan memiliki jaringan kuat di berbagai daerah maupun di luar negeri. Karena di luar iven-iven kebudayaan, melalui media tersebut dapat disediakan ruang pengenalan terhadap benda-benda kesenian dan barang-barang kerajinan Jambi ke dunia luar.

Ambil contoh, keberadaan website melayuonline, sebagai situs yang memuat segala unsur-unsur kebudayaan Melayu, terutama Melayu Riau, adalah salah satu cara yang efektif untuk mengenalkan sekaligus mengembangkan bahkan mengukur sejauhmana daya tawar produk kebudayaan lokal dalam kancah nasional hingga global, karena memang di semua daerah saat ini sedang melakukan ‘pengalian’ besar-besaran terhadap khazanah kebudayaan lokal masing-masing. Sehingga dalam hal ini, bukan lagi soal siapa yang terdepan dan terbelakang, tetapi jawaban yang diperlukan adalah mari memulainya saat ini.

Mengapa? karena daya hidup sebuah kebudayaan sangat bergantung pada masyarakat dan pemerintahan yang melingkupinya. Mestikah aset-aset kebudayaan kita dibesarkan atau bahkan direnggut oleh negara lain, lalu kita hanya bisa mengumbar amarah, sebagaimana ‘cek-cok’ antara Indonesia-Malayasia akhir-akhir ini, soal klaim mereka terhadap aset material kebudayaan Indonesia.

Tidak berlebihan kiranya, para futurolog meyakini bahwa hanya masyarakat yang berusaha keras mempertahan sekaligus mengembangkan kebudayaan lokal lah yang mampu hidup dan mewarnai abad globalisasi saat ini dan ke depannya.

Berdasarkan pemaparan di atas, pemosisian lembaga-lembaga kesenian, komunitas, serta hadirnya perguruan tinggi yang memiliki keberpihakan terhadap seni budaya lokal, adalah sesuatu yang sangat beralasan sekaligus mendesak untuk dihadirkan. Pasalnya, keberadaan lembaga tersebut diharapkan dapat menjadi kawah candradimuka yang berfungsi mengelola berbagai sumber daya yang dapat memberi manfaat bagi warga masyarakat Jambi.  Adanya kerjasama antara ilmuan dari berbagai macam disiplin ilmu dengan  pekerja seni serta stakeholder lainnya, terutama dukungan dari pemerintah Jambi, untuk mengkonsep, sebagai kerja strategis, segala yang berkaitan dengan kebudayaan lokal akan menjadikan budaya Jambi berkontribusi bagi dunia global dengan tanpa kehilangan jati diri dan keanekragaman budaya.

*Tulisan ini terbit pertama kali di koran Jambi Ekspress, 2011.

0 Komentar