Oleh: Jumardi Putra*
Kemacetan di jalan Ibukota tidak
seperti biasanya. Usai mengunjungi Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jl.
Imam Bonjol No.1, RT.9/RW.4, Menteng, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, saya
melanjutkan perjalanan dengan mengendarai gojek ke Museum Sasmitaloka Jenderal
Anumerta Ahmad Yani, yang berlokasi di jalan Lembang No. 58 (Jumat, 19/7/19).
Jarak tempuh antara kedua rumah bersejarah ini sekira 20 menitan.
Setiba di halaman rumah bercat putih itu saya tidak langsung
masuk. Sepintas tempat tersebut memiliki kesan tertutup. Dari luar pagar museum
ini tampak sepi. Hanya ada satu mobil alvard warna hitam terparkir tak jauh
dari gerbang utama kediaman sang Jenderal.
Menghadapkan pandangan ke bekas rumah dinas pejabat maskapai
swasta milik Belanda itu, otomatis membuat kita melihat sekeliling pagar hitam
yang dibuat tidak terlalu tinggi. Patung Jenderal Ahmad Yani yang berdiri
tegap, lengkap dengan reliefnya menjadi objek dominan di sepanjang jalan
Laruharhari Nomor 56.
Ruang tamu depan rumah Ahmad Yani. Dok. JP |
Ini kali pertama saya mengunjungi rumah ini. Berpuluh tahun lalu nama Jenderal Anumerta Ahmad Yani saya ketahui dari buku-buku sejarah di bangku sekolah dasar, dan tentu saja melalui film Pemberontakan G.30 S/PKI 1965 besutan Arifin C Noer, yang menjadi tontonan wajib semasa rezim Soeharto.
Kepalang tanggung sudah di lokasi, apatahlagi kunjungan ke
ibu kota hanya sesekali, saya memutuskan masuk ke kediaman yang pernah
ditempati oleh Ahmad Yani beserta keluarganya itu. Rumah tersebut ditempati
sejak 1958 hingga beliau berpangkat Letnan Jenderal dan pada akhirnya gugur
secara tragis pada pagi buta, 1 Oktober 1965.
Usai melewati gerbang utama, halaman depan rumah tampak asri
oleh pepohonan dan bunga-bunga. Aura militer begitu melekat di rumah ini.
Melengkapi keberadaan patung Ahmad Yani yang menjulang tinggi terdapat kolam
dan sebuah tonggak semen setinggi dada pria dewasa bertuliskan kiprah singkat
Ahmad Yani di TNI Angkatan Darat.
Sisi kanan dinding pintu depan rumah Ahmad Yani terdapat
lempengan kuning-kecoklatan bertuliskan, “Rumah ini diresmikan oleh
Menteri/Panglima Angkatan Darat, Ketua Presedium Kabinet Ampera Djenderal
Soeharto pada tanggal 1 Oktober 1966”. Sejak itu, museum ini dikelola Dinas
Sejarah TNI Angkatan Darat. Sedangkan sisi kiri bertuliskan riwayat singkat
pendirian museum ini berselang setahun pasca tragedi yang mencemari subuh yang
qudus 53 tahun lalu.
Tersebab pintu depan dalam kondisi tertutup, saya memilih
menyusuri bagian kiri rumah. Selain sepetak tanah, yang dirindangi bunga-bunga
dan dedaunan sebagai tempat istirahat/kongkow, di tanah ini juga berdiri
bangunan dua lantai. Tampaknya bangunan baru. Terpisah dari rumah Ahmad Yani. Hanya berjarak sepelemparan batu.
Tak ada tanda-tanda orang di sini. Pos jaga tempat
pengunjung mengisi buku tamu juga tak bertuan. Sempat ragu. Khawatir dikira
nyelonong tanpa izin. Lagi, menimbang kesempatan ini belum tentu terulang,
bismillah, saya lanjut ke arah belakang hingga sampai pada ruangan berdinding
kaca berisikan mobil sedan biru muda merek Chevrolet, dengan nomor Polisi B 66
M, yang merupakan tunggangan pribadi Jenderal Ahmad Yani tatkala berdinas
sebagai Menteri dan Panglima Tertinggi Angkatan Darat.
Selanjutnya, saya memberanikan diri masuk ke rumah Jendral
Ahmad Yani dari arah pintu belakang. Pintu dalam keadaan terbuka. Dari luar
tampak dokumentasi foto-foto hitam-putih tersusun rapi dalam beberapa lemari
kaca dan tersedia kursi tamu.
Mobil pribadi Ahmad Yani. Dok. JP |
Belum lama menapaki ruangan belakang itu, perlahan-lahan terdengar percakapan dari arah ruang tengah. “Jelas ada orangnya, alhamdulillah,” simpul saya. Saya sedikit lega dan segera menuju sumber suara. Di situlah saya bertemu pak Sartono, sersan mayor yang sejak 2004 bertugas sebagai penjaga sekaligus pemandu museum ini. Ketika itu Pak Sartono bersama seorang pemuda asal Papua berdarah Batak yang juga baru pertama kali mengunjungi rumah bersejarah ini.
Secara umum, dokumentasi foto-foto hitam-putih yang
terpampang rapi di sepanjang gang penghubung antara ruang belakang dengan ruang
tengah, yakni peristiwa berdarah 1 Oktober 1965 dini hari, untuk menyebut
contoh, penemuan dan pengangkatan jenazah 7 Jenderal dari ‘Lubang Buaya’;
iring-iringan kendaraan militer membawa 7 jenazah hingga upacara militer
pemakaman di Kalibata dengan dihadiri langsung oleh Pemimpin Besar Revolusi
(PBR), yakni Presiden Soekarno; dan tentu saja sepak terjang kemiliteran
Jenderal Ahmad Yani di berbagai kunjungan resmi maupun dalam masa perang, salah
satunya, peristiwa di tahun 1949 saat penyerahan kota Magelang yang dilalui
Jenderal yang bersahaja tersebut.
Pada bagian lainnya terdapat foto-foto berwarna seperti
adegan di film G 30 S/PKI, yang berupaya merekonstruksi dan menceritakan
peristiwa penculikan serta penembakan terhadap Jenderal Ahmad Yani dan kondisi
bagian dalam rumah milik 5 petinggi angkatan darat yang tewas dalam kemelut 1
Oktober 1965 dini hari. Mereka adalah Letnan Jendral A. Yani, Mayjen
Pandjaitan, Jendral A.H. Nasution, Brigjen Soetoyo, S, dan Mayjen M. T Haryono.
Pada 5 Oktober 1965, Ahmad Yani dan rekan-rekannya resmi dinyatakan Pahlawan
dari Revolusi dengan Keputusan Presiden Nomor 111/KOTI/1965 dan pangkatnya
dinaikkan secara anumerta dari Letnan Jenderal untuk bintang ke-4 (Jenderal Anumerta).
Rumah Jendral Ahmad Yani. Dok. JP. |
Masih dalam ruangan yang sama, saya melihat sebuah foto berukuran cukup besar dengan bingkai nan elok, yakni seorang agen polisi bernama Sukitman. Dialah saksi kunci yang sempat diculik dan selamat, lalu dibawa ke sebuah lokasi yang kemudian dikenal sebagai “Lubang Buaya”, tempat para jenderal dan korban lainnya tergelatak tanpa daya dan tanpa nyawa di dasar lubang sumur (berlokasi di Jl. Raya Pondok Gede, Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur). Ketika itu Sukitman berumur 23 tahun dan baru tiga tahun bekerja sebagai polisi dengan pangkat terendah.
Pada sisi kiri lemari kaca yang berisikan foto-foto itu,
terdapat satu ruangan berisikan seekor harimau yang diawetkan, pemberian salah
seorang pada Jenderal Ahmad Yani semasa hidup. Selain itu juga terdapat pakaian
dinas, sepatu, dan peralatan pribadi A. Yani dan para jenderal lainnya.
Kemudian saya melewati dapur dan kamar mandi yang bisa
langsung menuju ruang keluarga dengan melewati lorong selebar sekira satu meter
lebih. Dua sisi di sepanjang gang itu juga dipenuhi foto-foto masa aktif
militer Jenderal Ahmad Yani. Di lorong ujung terdapat pintu yang bagian atasnya
terdapat kaca sebagai pembatas ruang keluarga.
Nyatanya, jalur inilah yang digunakan satu peleton pasukan
Tjakrabirawa saat menculik Ahmad Yani. Setelah berada di depan pintu kaca,
pemisah antara ruang belakang dengan ruang tengah itu, tampak jelas dalam
kondisi berlubang. Kondisi pintu kaca itu, kata pak Sartono, masih seperti
keadaan aslinya setelah peristiwa tujuh peluru menerjang tubuh jenderal A. Yani
pada subuh sunyi 1 Oktober 1965.
Tak jauh dari pintu kaca itu, lantai tempat gugurnya Sang
Pahlwan Revolusi itu kini ditandai-diberi tanda khusus dengan dikelilingi oleh
besi stainless dengan tinggi sekitar setengah meter sebanyak empat buah yang
saling terhubung dengan rantai berbalutkan kain bewarna merah-sebagai pengingat
bertuliskan: Di Sinilah Gugurnja Pahlawan Djenderal TNI A. Yani Pada Tanggal 1
Oktober 1965 Djam 04.35 Djakarta, 1 Januari 1970”.
Lorong menuju ruang tengah rumah Jendral Ahmad Yani. Dok. JP. |
Tidak jauh dari itu, sebelah kanan dari ruangan makan saya jumpai kutipan ucapan Jenderal Ahmad Yani dengan bunyi, “sampai liang kubur kupertahankan Pancasila”.
Lalu saya menuju minibar yang dekat dengan pintu tempat
lokasi kejadian. Kemudian meja makan keluarga. Di atas tembok terpajang foto
pahlawan revolusi lainnya dalam bingkai kaca, yakni Sutoyo Siswomiharjo, Donald
Ignatius Panjaitan, Pierre Andreas Tendean, Katamso Dharmo Kusumo, Sugiono
Mangun Wiyoto, R Soeprapto, Suwondo Parman, Haryono Mas Tirto Darmo, dan Karel
Satsuit Tubun.
“Foto-foto tersebut merupakan koleksi tambahan, di luar
ribuan koleksi lain yang merupakan barang peninggalan asli milik Jendral Ahmad
Yani,” imbuh pak Sartono.
***
Ruang tengah kediaman Jendral Ahmad Yani jelas memancing
perhatian saya untuk mengetahui lebih lanjut sekaligus mencatat secara detail.
Di ruang tengah inilah, dituturkan pasa Sartono, tempat anak-anak Jenderal
Ahmad Yani biasanya berkumpul dan makan. Dinding di ruangan ini dipenuhi
lukisan Jendral Ahmad Yani, foto keluarga, piagam penghargaan, televisi, dan
perkakas rumah tangga nan antik semasa hidup Jendral Ahmad Yani.
Di antara piagam-piagam penghargaan yang terpampang di
dinding ruang makan keluarga, juga ada beberapa lembar kertas berukuran agak
besar dan sedikit tebal menceritakan riwayat dan perjalanan hidup salah satu
jenderal terbaik yang pernah dimiliki Tentara Nasional Indonesia ini, yaitu
Ahmad Yani, kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, 19 Juni 1922.
Anak-anak berkunjung ke Museum Ahmad Yani. Dok. JP |
Selanjutnya saya menuju ke dua kamar yang dulu ditempati putri-putri Ahmad Yani. Pada dua kamar putri-putri Ahmad Yani terlihat sofa dan kasur terawat baik, berjejer boneka-boneka dalam keadaan terawat pula, dan beberapa lemari pakaian serta lukisan foto.
Lepas itu saya menuju kamar pribadi Jenderal Ahmad Yani. Di
dalamnya terdapat beberapa replika pakaian tidur istri Ahmad Yani, sebuah tongkat
komando, keris, kacamata, dan cincin serta dompet yang berisi uang Rp 120.000,
gaji Ahmad Yani yang belum dibelanjakan, baju dinas, sepatu, dan lencana milik
Ahmad Yani, yang terpajang rapi pada lemari kaca di kamar itu. Bahkan, aku
Sartono, make up dan peralatan mandi yang pernah digunakan sang istri, Yayu
Rulia Sutowiryo, juga masih tersimpan di meja riasnya.
Saya agak lama termenung di kamar ini. Tersebab imajinasi
saya membumbung tinggi memikirkan peristiwa berdarah 53 tahun lalu, yang
merenggut sosok ayah bagi delapan anak-anaknya yang masih kecil ketika itu.
Betapa berat kondisi jiwa yang ditanggung oleh mereka sekeluarga. Terlebih saat
kejadian memilukan itu, istri Ahmad Yani justru sedang tirakatan atau
‘lek-lekan’ tepat hari kelahirannya 1 Oktober di rumah di Taman Suropati:
kediaman resmi Menpangad ketika itu.
Di kamar pribadi Ahmad Yani ini pula tersimpan senapan
otomatis Thompson bersamaan beberapa butir sisa peluru milik salah satu
personil Tjakrabirawa yang menewaskan Ahmad Yani. Selain senapan tersebut,
masih dalam satu lemari kaca, terdapat senapan LE Cal 7,62 pabrikan negara
Cekoslovakia yang digunakan untuk menembak Letjen S. Parman serta senapan
Owengun yang dipakai untuk menamatkan riwayat DN Aidit beserta tokoh-tokoh
petinggi PKI.
Khusus ruang tamu, yang memisahkan ruang depan dengan ruang
makan keluarga, serta ruang ajudan yang menyatu dengan keduanya, saya menjumpai
lukisan Umar Wirahadi Kusuma, yang menggambarkan momen saat Ahmad Yani menampar
pimpinan pasukan Tjakrabirawa yang melarangnya untuk mengganti baju.
“Sebenarnya maksud pak Ahmad Yani saat itu hendak meraih sebuah senjata api
dikarenakan melihat ulah mencurigakan dari pasukan tersebut,” tutur pak
Sartono.
Lalu di ruang tunggu saya menemukan berbagai koleksi pribadi
Ahmad Yani berupa cinderamata, senjata, medali, lambang, gading gajah hingga
harimau yang diawetkan. Yang membuat saya kagum adalah koleksi buku Ahmad Yani
yang tersimpan rapi pada rak dinding di ruangan tersebut.
***
Jarum jam menunjukkan angka 17.50 WIB. Tak terasa kurang
lebih tiga jam saya menyusuri seisi ruangan rumah ini. Di sela itu, obrolan
antara saya dengan pak Sartono, juga seorang pemuda lulusan penerbangan sipil
(saya lupa namanya), merambat ke cerita sehari-hari belio selama menjadi
penjaga sekaligus pemandu museum ini.
Nah, sebelum pamit meninggalkan museum, saya dihadiahi oleh
pak Sartono sebuah buku berjudul 7 Prajurit TNI Gugur 1 Oktober 1965 (Terbit
pertama kali, September 2003). Buku ini merekam ingatan saksi sejarah bagi
keluarga Jenderal Ahmd Yani dan keluarga dari pahlawan revolusi lainnya minus
Aipda Karel Satsuit Tubun dan saudara Albert Naiborhu.
Lokasi Ahmad Yani terjatuh usai diburu peluru pasukan Tjakrabirawa. Dok. JP |
Sungguh, amat berat kondisi keluarga yang ditinggalkan, apatahlagi orang yang dicintainya dibunuh dengan cara sadis, namun salut saya terhadap kebesaran jiwa anak-anak, istri dan saksi kunci lainnya, sehingga menuliskannya untuk dibagi kepada orang lain, mengklarifikasi terhadap opini yang berkembang, tiada lain tujuannya sebagai pelajaran bersama sebagai sebuah bangsa. Dengan harapan agar tragedi yang hampir menjerumuskan bangsa ini ke jurang kelam, tetap berada pada panggung kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bentuknya yang jujur dan terus maju. Sejenis dengan buku ini, juga ada kesaksian yang ditulis oleh Nuni Nurrachman Sutojo dengan judul “Kenangan Tak Tertucap: Saya, Ayah, dan Tragedi 1965. Sebuah buku tentang ayahnya, Jenderal Sutojo Siswomihardjo, yang menjadi korban G30S, 1965 (Cetakan Kedua, April 2013).
Kedua buku tersebut penting kita baca seraya
membaca buku-buku penelitian sejarah lainnya mengenai sebelum, saat dan sesudah
geger 1965, utamanya pasca reformasi, dimana terus bermunculan riset-riset
sejarah ‘alternatif’ yang melihat secara kritis, jernih sekaligus mengungkai
kompleksitas peristiwa kelam tersebut. Baik itu datang dari peneliti asing
maupun dalam negeri.
Ruang Tengah rumah Ahmad Yani. Dok. JP. |
Berbagai pihak, baik yang sejalan maupun yang berseberangan muncul menjelaskan terjadinya peristiwa tersebut. Setiap versi muncul menggunakan “bahasanya" masing-masing. Dalam makna lain, pikiran sekaligus sikap kita terhadap sejarah masa lalu mesti diawali dengan kristisisme. Tidak taqlid buta pada satu sumber semata, karena peristiwa 1965 nyatanya bersegi banyak (untuk menyebut kompleks).
*Kunjungan penulis ke Museum ini berlangsung pada
Jumat, 19 Juli 2019. Tulisan ini terbit pertama kali di kajanglako.com pada tanggal 25 Juli 2019.
0 Komentar