Oleh: Jumardi Putra*
Pesimis. Itu mula perasaan saya dan tiga sahabat dari Arsip Daerah Provinsi Jambi, ketika hendak mengunjungi kediaman budayawan Jambi, Junaidi T. Noor, dua hari lalu, di lorong Setia Budi, Kelurahan Tambak Sari, Kecamatan Jambi Selatan, Kota Jambi.
Tersebab, sejak diketahui sakit setahun lalu (5 Oktober 2016), praktis sosok yang familiar di lapangan sejarah dan budaya Jambi itu sulit ditemui. Wajahnya jarang muncul lagi di layar tivi lokal. Pun di forum-forum dialog terbuka.
Sesampai di rumahnya, sekira pukul 10.45, kami urung mengetuk pintu. Laman depan dan samping rumah menunjukkan tak ada aktivitas dari pemiliknya. Hanya ada satu unit mobil avanza terparkir di depannya. Kami berempat terlibat obrolan sana-sini sembari memastikan apakah niat besuk dituntaskan atau sebaliknya.
Sela itu saya teringat Mg Alloy, praktisi budaya Jambi, yang sebelum keberangkatan ke rumah pak Jun, sempat saya hubungi via telepon, dan ia menyampaikan kepada kami, kurang lebih berikut ini, “Betul, Pak Junaidi sulit menerima telepon dan ajakan bertemu dari siapapun sekarang ini. Itu bisa dipahami, sebab beliau dalam masa pemulihan setelah berobat panjang, baik di Jambi maupun di Jakarta. Akan tetapi, cobalah datangi rumah beliau dan bicaralah pelan-pelan pada pihak keluarga. Bagaimanapun, sebagai pribadi yang menaruh perhatian pada seni-budaya Jambi, niat besuk sekaligus bincang-bincang Anda itu, penting dan semoga bisa membuat beliau tambah semangat dan lekas sehat.”
Saya pun memberanikan diri mengetuk pintu sembari mengucapkan salam. Tak lama kemudian, terdengar suara parau lagi pelan datang dari dalam rumah. Saya hafal, itu tak lain adalah suara pak Jun. Pintu rumahnya pun terbuka. Pak Jun, begitu akrab disapa - dengan dibantu sang cucu berdiri, menyapa dan menyalami kami, lalu mempersilakan kami masuk ke ruang tamu.
Jujur, seketika itu saya tertegun. Saya tak bisa menyembunyikan rasa kaget. Badan beliau kurus. Sorot matanya tak lagi tajam seperti yang saya tahu. Rambutnya menipis dan memutih penuh seluruh. Berjalan pun mesti dipapah.
Akan tetapi, kekagetan saya itu segera mencair, terutama saat lelaki berusia 71 tahun itu, tanpa tedeng aling-aling, berujar kepada ketiga sahabat Arsip saya itu, kurang lebih begini, “Jumardi ini penulis. Kami sering nian ‘bertengkar’ dalam dialog-dialog seni-budaya Jambi. Lah lamo kami dak bertemu. Alhamdulillah kau masih ingat sayo, Jumardi!”.
Mendengar kelakar itu, kami tak kuasa menahan tawa dan suasana yang semula penuh kikuk, lantaran kondisi fisik pak Jun yang ringkih itu, menjadi cair dan percakapan antara kami berjalan lancar dengan sesekali dihiasi canda tawa, dan susul menyusul pertanyaan sekaligus jawaban darinya.
***
Perjumpaan saya dengan budayawan Junaidi T. Noor, diawali saat peluncuran portal online “angsoduo.net”, sebuah kanal yang diniati sebagai ruang dialektika gagasan bagi warganet (kini almarhum), sekira tujuh tahun lalu, di Taman Budaya Jambi (TBJ), Sungai Kambang, Kota Jambi.
Saat itu, saya belum mengetahui detail kiprah lelaki kelahiran Tanjung Karang, 27 April 1947 itu, kecuali ia adalah birokrat tulen. Sependek penelusuran saya, usai menamatkan pendidikan Institut Ilmu Pemerintahan (IIP), beliau pernah menjadi Camat, lalu berlanjut sebagai Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi (1999-2001), Wakil Ketua Bappeda Provinsi Jambi (2002-2003), dan menjabat Ketua Bappeda Provinsi Jambi hingga pensiun sebagai PNS (2007). Kemudian, selain mengajar bidang sejarah dan kebudayaan di Universitas Batanghari (UNBARI), dirinya aktif sebagai pengurus Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Jambi dan dipercaya sebagai staf ahli Gubernur Jambi dalam masa kepemimpinan Zulkifli Nurdin (ayah dari Gubernur Jambi sekarang, yaitu Zumi Zola) serta selalu dimintai pendapat mengenai sejarah dan budaya Jambi masa pemerintahan Hasan Basri Agus atau akrab dengan sebutan HBA.
Berjalannya waktu, kami kerap bertemu, terutama dalam forum-forum dialog seni budaya, baik di Taman Budaya Jambi (TBJ), Jambi Ekspress, Dewan Kesenian Jambi (GOS Kota Baru), Kantor Bahasa Provinsi Jambi, dan beberapa kesempatan di seminar-seminar di kampus maupun di hotel.
Secara usia, antara saya dan pak Jun jelas berbeda jauh. Akan tetapi, semasa beliau sehat dan aktif kami saling bertukar pikiran. Bahkan, tak jarang kami berbeda pendapat, dan itu tersampaikan dalam forum-forum dialog terbuka. Menariknya, sekalipun diakui oleh beliau sendiri sebagai orang yang tempramen, hubungan kami nyatanya berjalan baik sampai sekarang. Dengan kata lain, sebagai dialektika itu adalah hal wajar, dan kami berdua sepakat terhadap hal demikian. Nah, dalam hal apa saja perbedaan pendapat antar kami berdua, termasuk konfirmasi saya padanya seputar kontroversi sejarah tokoh-tokoh Jambi dalam masa pasca kemerdekaan di Jambi, dalam kesempatan ini belum bisa saya ketengahkan.
***
Di Jambi, sosok Junaidi T. Noor sangatlah familiar. Bahkan, mungkin dari luar Jambi juga demikian, terutama di lapangan sejarah dan seni budaya. Ia dikenal sebagai budayawan yang gemar menulis pernak-pernik sejarah Jambi, karya sastra, terutama syair dan pantun, dan aktivitas senafas lainnya, seperti berteater ketika masih di bangku SMP hingga sebelum ia memulai karir sebagai PNS pada tahun 1969.
Kepada kami ia menuturkan, yaitu ketika di bangku SMA, ia mulai menulis sastra dan pernah menjadi pengasuh sastra di sebuah stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) Provinsi Jambi. Agaknya, bekal yang senantiasa ia asah sedari bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) itu, berujung lahirnya bermacam karya tulis yang sekarang bisa kita nikmati bersama-sama.
Diakuinya, selain artikel-artikel seni-budaya Jambi, yang terbit di koran-koran lokal, seperti Jambi Independent, Jambi Ekspress, Mediator, Sinar Jambi Baru, dan Info Seni Budaya Jambi, karya tulisnya juga terbit dalam bentuk buku, seperti Mencari Jejak Sangkala, Rangkayo Hitam, Sejarah Kota Jambi, Kumpulan Pantun, Kumpulan Syair, dan beberapa tulisan di prosiding seminar dan konferensi serta buku hasil kolaborasi dengan penulis lain, untuk menyebut contoh, seperti sejarawan Lindayanti dalam buku berjudul Jambi dalam Sejarah (1500-1942).
“Apa yang melatar-belakangi Pak Jun menekuni sejarah dan seni budaya Jambi,” tanya salah satu dari kami.
“Kegemaran saya mencari dan menggali sejarah Jambi oleh karena sebuah lagu yang dinyanyikan mendiang Firdaus Khatab dengan judul “Orang Kayo Hitam”, tepatnya pada lirik yang berbunyi, “Namonyo agung dimano-mano, sampai Mataram orang ngenali”. Dari situlah, saya bertekad kuat mengumpulkan serpihan-serpihan informasi dari berbagai buku sejarah yang berkaitan dengan Jambi, dan disertai dengan pengamatan lapangan sekaligus bertanya kepada tuo tengganai,” imbuhnya pelan.
Seolah hendak menguatkan lisannya, perihal usaha mengumpulkan dokumen-dokumen sejarah itu, Pak Jun mengajak kami berempat memasuki dua ruangan di rumahnya, yaitu kamar tidur dan ruang buku, yang kedunya hanya dipisah oleh ruang tengah keluarga. Dengan dipapah, pak Jun menunjukkan buku-buku yang ia koleksi, baik di dalam lemari maupun di atas meja kerja. Begitu juga ruang buku utama, sisi kanan-kiri rak itu sesak oleh buku-buku.
“Kurang lebih 1.500 buku tersimpan di sini. Umumnya bertiti-mangsa pada sejarah, seni budaya dan agama,” ungkap bapak dua anak ini kepada kami.
“Mau dikemanakan kelak buku sebanyak ini, Pak,” timpal saya.
“Khusus buku-buku sejarah insyallah kelak saya berikan ke kampus UNBARI, tempat saya mengajar sejarah dan budaya Jambi. Sementara buku-buku di luar itu, saya berikan ke perpustakaan Kota Jambi. Semoga buku-buku itu dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa sekarang ini,” imbuhnya seraya kami amini.
***
Kepopuleran nama Junadi T. Noor membuat tak banyak orang tahu namanya semasa kecil, yaitu Jahidin. Lantaran kerap sakit ketika kecil oleh neneknya ditukar menjadi Junaidi. Ayahnya bernama Tajuddin Noor merupakan seorang pensiunan TNI dengan memiliki anak delapan belas orang, termasuk Junaidi T. Noor salah satunya.
“Sejak itu namanya merupakan gabungan antara sang anak dan bapak, yaitu Junaidi T. Noor,” ungkapnya.
Meski lahir di Lampung, jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga D3 Perguruan Tinggi, ia tamatkan di Jambi. Lalu ia melanjutkan strata satu (S1) jurusan Pembangunan di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Jakarta (1979-1981), dan diteruskan ke S2 bidang manajemen di LPMI Jakarta tahun 2001.
“Tak satupun jurusan yang saya geluti berhubungan langsung dengan ketekunanan saya pada sejarah dan kebudayaan Jambi seperti sekarang ini. Namun sejak SMAN 2 Jambi tahun 1965, sebagai murid yang haus akan pengetahuan mengenai cerita sejarah dan kebudayaan Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah, membuat saya kritis mempertanyakan sejarah Jambi kepada guru-guru di sekolah. Sayangnya, apa yang selama ini saya pertanyakan tak saya temukan dalam penjelasan guru-guru sejarah. Maka, sejak itulah saya berkomitmen menulis sejarah sosial budaya Jambi,” ungkapnya penuh semangat.
“Bagaimana keberadaan penulis di Jambi yang hidup sebelum dan semasa dengan pak Jun,” tanya saya
“Kita punya banyak tuo-tengganai yang paham sejarah, seni dan budaya Jambi. Hanya saja persoalan utama kita, umumnya mereka tidak menulis, sehingga informasi yang mereka miliki hilang bersama waktu. Di Jambi, kita punya penulis seperti A. Mukty Nasruddin, Fakhrudin Saudagar, dan Usman Meng, yang ketiganya sudah meninggal dunia. Sekarang yang masih hidup ada Ja'far Rasuh, Budiharjo, Junaidi T. Noor, Iskandar Zakaria, dan beberapa individu lainnya.
“Sungguh sia-sia bila di masa hidup mereka kita tidak segera menggali informasi maupun pengetahuan yang mereka miliki tentang Jambi,” tukasnya mengingatkan kami.
“Kita kan punya bidang Sejarah dan Purbakala (Sepur) di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, bagaimana pandangan pak Jun?” sambung saya.
“Orang yang dipercaya mengurusi bidang itu, kini tak mengerti dan mencintai sejarah, sehingga sulit diharapkan hasil yang membahagiakan dari bidang itu. Sekarang belum ada lagi hasil penelitian terbaru, baik dalam hal sejarah maupun seni dan budaya Jambi,” tegasnya.
***
Jarum jam menunjukkan pukul 12.45. Pak Jun mesti istirahat. Kami mesti tahu diri dan segera mengutarakan keinginan pamit pulang. Sela itu, kepada Pak Jun saya meminta wejangan atau nasehat untuk generasi milineal sekarang ini.
Ia mengambil nafas panjang. Ia berharap generasi penerus sekarang tulus membangun Jambi dengan menggali nilai-nilai sejarah dan seni budaya, dan tidak semata oleh karena mengharapkan kompensasi. Bak kata seloko Jambi,“lapuk-lapuk dikajangi, buruk-buruk dikerjoi”.
“Adakah hal lain, pak Jun,” tagih saya.
"Kalian tadi sudah melihat koleksi buku-buku saya kan. Nah, sekarang saya berikan beberapa buku saya dan satu buku bagus berjudul Kepulauan Nusantara karya terjemahan Alfred Russel Wallace untuk Arsip Daerah Provinsi Jambi, sehingga bisa dibaca oleh umum,” balasnya.
“Kok saya gak dikasih, Pak Jun,” kelakar saya disambut tawa.
Saya pun diberikan olehnya sebuah buku berjudul Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard (KPG, 1999), dan sembari itu, ia berulangkali menyampaikan sesuatu sebelum kami berpamitan, yaitu persis sebagaimana judul tulisan ini: “Jangan Banyak Ngota. Telusuri dan tulis Sejarah Jambi!”.
Kami pun pulang. Senantiasa sehat, Pak Jun.
*Tulisan ini dibuat sepulang kunjungan penulis ke kediaman budayawan Junaidi T. Noor, Oktober 2017. Tulisan ini terbit di kajanglako.com pada 10 September 2019. Budayawan Junaidi T. Noor meningga dunia pada Selasa, 10 September 2019, sekira pukul 13.00 WIB.
Pesimis. Itu mula perasaan saya dan tiga sahabat dari Arsip Daerah Provinsi Jambi, ketika hendak mengunjungi kediaman budayawan Jambi, Junaidi T. Noor, dua hari lalu, di lorong Setia Budi, Kelurahan Tambak Sari, Kecamatan Jambi Selatan, Kota Jambi.
Tersebab, sejak diketahui sakit setahun lalu (5 Oktober 2016), praktis sosok yang familiar di lapangan sejarah dan budaya Jambi itu sulit ditemui. Wajahnya jarang muncul lagi di layar tivi lokal. Pun di forum-forum dialog terbuka.
Sesampai di rumahnya, sekira pukul 10.45, kami urung mengetuk pintu. Laman depan dan samping rumah menunjukkan tak ada aktivitas dari pemiliknya. Hanya ada satu unit mobil avanza terparkir di depannya. Kami berempat terlibat obrolan sana-sini sembari memastikan apakah niat besuk dituntaskan atau sebaliknya.
Sela itu saya teringat Mg Alloy, praktisi budaya Jambi, yang sebelum keberangkatan ke rumah pak Jun, sempat saya hubungi via telepon, dan ia menyampaikan kepada kami, kurang lebih berikut ini, “Betul, Pak Junaidi sulit menerima telepon dan ajakan bertemu dari siapapun sekarang ini. Itu bisa dipahami, sebab beliau dalam masa pemulihan setelah berobat panjang, baik di Jambi maupun di Jakarta. Akan tetapi, cobalah datangi rumah beliau dan bicaralah pelan-pelan pada pihak keluarga. Bagaimanapun, sebagai pribadi yang menaruh perhatian pada seni-budaya Jambi, niat besuk sekaligus bincang-bincang Anda itu, penting dan semoga bisa membuat beliau tambah semangat dan lekas sehat.”
Saya pun memberanikan diri mengetuk pintu sembari mengucapkan salam. Tak lama kemudian, terdengar suara parau lagi pelan datang dari dalam rumah. Saya hafal, itu tak lain adalah suara pak Jun. Pintu rumahnya pun terbuka. Pak Jun, begitu akrab disapa - dengan dibantu sang cucu berdiri, menyapa dan menyalami kami, lalu mempersilakan kami masuk ke ruang tamu.
Jujur, seketika itu saya tertegun. Saya tak bisa menyembunyikan rasa kaget. Badan beliau kurus. Sorot matanya tak lagi tajam seperti yang saya tahu. Rambutnya menipis dan memutih penuh seluruh. Berjalan pun mesti dipapah.
Akan tetapi, kekagetan saya itu segera mencair, terutama saat lelaki berusia 71 tahun itu, tanpa tedeng aling-aling, berujar kepada ketiga sahabat Arsip saya itu, kurang lebih begini, “Jumardi ini penulis. Kami sering nian ‘bertengkar’ dalam dialog-dialog seni-budaya Jambi. Lah lamo kami dak bertemu. Alhamdulillah kau masih ingat sayo, Jumardi!”.
Mendengar kelakar itu, kami tak kuasa menahan tawa dan suasana yang semula penuh kikuk, lantaran kondisi fisik pak Jun yang ringkih itu, menjadi cair dan percakapan antara kami berjalan lancar dengan sesekali dihiasi canda tawa, dan susul menyusul pertanyaan sekaligus jawaban darinya.
***
Perjumpaan saya dengan budayawan Junaidi T. Noor, diawali saat peluncuran portal online “angsoduo.net”, sebuah kanal yang diniati sebagai ruang dialektika gagasan bagi warganet (kini almarhum), sekira tujuh tahun lalu, di Taman Budaya Jambi (TBJ), Sungai Kambang, Kota Jambi.
Saat itu, saya belum mengetahui detail kiprah lelaki kelahiran Tanjung Karang, 27 April 1947 itu, kecuali ia adalah birokrat tulen. Sependek penelusuran saya, usai menamatkan pendidikan Institut Ilmu Pemerintahan (IIP), beliau pernah menjadi Camat, lalu berlanjut sebagai Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi (1999-2001), Wakil Ketua Bappeda Provinsi Jambi (2002-2003), dan menjabat Ketua Bappeda Provinsi Jambi hingga pensiun sebagai PNS (2007). Kemudian, selain mengajar bidang sejarah dan kebudayaan di Universitas Batanghari (UNBARI), dirinya aktif sebagai pengurus Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Jambi dan dipercaya sebagai staf ahli Gubernur Jambi dalam masa kepemimpinan Zulkifli Nurdin (ayah dari Gubernur Jambi sekarang, yaitu Zumi Zola) serta selalu dimintai pendapat mengenai sejarah dan budaya Jambi masa pemerintahan Hasan Basri Agus atau akrab dengan sebutan HBA.
Berjalannya waktu, kami kerap bertemu, terutama dalam forum-forum dialog seni budaya, baik di Taman Budaya Jambi (TBJ), Jambi Ekspress, Dewan Kesenian Jambi (GOS Kota Baru), Kantor Bahasa Provinsi Jambi, dan beberapa kesempatan di seminar-seminar di kampus maupun di hotel.
Secara usia, antara saya dan pak Jun jelas berbeda jauh. Akan tetapi, semasa beliau sehat dan aktif kami saling bertukar pikiran. Bahkan, tak jarang kami berbeda pendapat, dan itu tersampaikan dalam forum-forum dialog terbuka. Menariknya, sekalipun diakui oleh beliau sendiri sebagai orang yang tempramen, hubungan kami nyatanya berjalan baik sampai sekarang. Dengan kata lain, sebagai dialektika itu adalah hal wajar, dan kami berdua sepakat terhadap hal demikian. Nah, dalam hal apa saja perbedaan pendapat antar kami berdua, termasuk konfirmasi saya padanya seputar kontroversi sejarah tokoh-tokoh Jambi dalam masa pasca kemerdekaan di Jambi, dalam kesempatan ini belum bisa saya ketengahkan.
***
Di Jambi, sosok Junaidi T. Noor sangatlah familiar. Bahkan, mungkin dari luar Jambi juga demikian, terutama di lapangan sejarah dan seni budaya. Ia dikenal sebagai budayawan yang gemar menulis pernak-pernik sejarah Jambi, karya sastra, terutama syair dan pantun, dan aktivitas senafas lainnya, seperti berteater ketika masih di bangku SMP hingga sebelum ia memulai karir sebagai PNS pada tahun 1969.
Kepada kami ia menuturkan, yaitu ketika di bangku SMA, ia mulai menulis sastra dan pernah menjadi pengasuh sastra di sebuah stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) Provinsi Jambi. Agaknya, bekal yang senantiasa ia asah sedari bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) itu, berujung lahirnya bermacam karya tulis yang sekarang bisa kita nikmati bersama-sama.
Diakuinya, selain artikel-artikel seni-budaya Jambi, yang terbit di koran-koran lokal, seperti Jambi Independent, Jambi Ekspress, Mediator, Sinar Jambi Baru, dan Info Seni Budaya Jambi, karya tulisnya juga terbit dalam bentuk buku, seperti Mencari Jejak Sangkala, Rangkayo Hitam, Sejarah Kota Jambi, Kumpulan Pantun, Kumpulan Syair, dan beberapa tulisan di prosiding seminar dan konferensi serta buku hasil kolaborasi dengan penulis lain, untuk menyebut contoh, seperti sejarawan Lindayanti dalam buku berjudul Jambi dalam Sejarah (1500-1942).
“Apa yang melatar-belakangi Pak Jun menekuni sejarah dan seni budaya Jambi,” tanya salah satu dari kami.
“Kegemaran saya mencari dan menggali sejarah Jambi oleh karena sebuah lagu yang dinyanyikan mendiang Firdaus Khatab dengan judul “Orang Kayo Hitam”, tepatnya pada lirik yang berbunyi, “Namonyo agung dimano-mano, sampai Mataram orang ngenali”. Dari situlah, saya bertekad kuat mengumpulkan serpihan-serpihan informasi dari berbagai buku sejarah yang berkaitan dengan Jambi, dan disertai dengan pengamatan lapangan sekaligus bertanya kepada tuo tengganai,” imbuhnya pelan.
Seolah hendak menguatkan lisannya, perihal usaha mengumpulkan dokumen-dokumen sejarah itu, Pak Jun mengajak kami berempat memasuki dua ruangan di rumahnya, yaitu kamar tidur dan ruang buku, yang kedunya hanya dipisah oleh ruang tengah keluarga. Dengan dipapah, pak Jun menunjukkan buku-buku yang ia koleksi, baik di dalam lemari maupun di atas meja kerja. Begitu juga ruang buku utama, sisi kanan-kiri rak itu sesak oleh buku-buku.
“Kurang lebih 1.500 buku tersimpan di sini. Umumnya bertiti-mangsa pada sejarah, seni budaya dan agama,” ungkap bapak dua anak ini kepada kami.
“Mau dikemanakan kelak buku sebanyak ini, Pak,” timpal saya.
“Khusus buku-buku sejarah insyallah kelak saya berikan ke kampus UNBARI, tempat saya mengajar sejarah dan budaya Jambi. Sementara buku-buku di luar itu, saya berikan ke perpustakaan Kota Jambi. Semoga buku-buku itu dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa sekarang ini,” imbuhnya seraya kami amini.
***
Kepopuleran nama Junadi T. Noor membuat tak banyak orang tahu namanya semasa kecil, yaitu Jahidin. Lantaran kerap sakit ketika kecil oleh neneknya ditukar menjadi Junaidi. Ayahnya bernama Tajuddin Noor merupakan seorang pensiunan TNI dengan memiliki anak delapan belas orang, termasuk Junaidi T. Noor salah satunya.
“Sejak itu namanya merupakan gabungan antara sang anak dan bapak, yaitu Junaidi T. Noor,” ungkapnya.
Meski lahir di Lampung, jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga D3 Perguruan Tinggi, ia tamatkan di Jambi. Lalu ia melanjutkan strata satu (S1) jurusan Pembangunan di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Jakarta (1979-1981), dan diteruskan ke S2 bidang manajemen di LPMI Jakarta tahun 2001.
“Tak satupun jurusan yang saya geluti berhubungan langsung dengan ketekunanan saya pada sejarah dan kebudayaan Jambi seperti sekarang ini. Namun sejak SMAN 2 Jambi tahun 1965, sebagai murid yang haus akan pengetahuan mengenai cerita sejarah dan kebudayaan Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah, membuat saya kritis mempertanyakan sejarah Jambi kepada guru-guru di sekolah. Sayangnya, apa yang selama ini saya pertanyakan tak saya temukan dalam penjelasan guru-guru sejarah. Maka, sejak itulah saya berkomitmen menulis sejarah sosial budaya Jambi,” ungkapnya penuh semangat.
“Bagaimana keberadaan penulis di Jambi yang hidup sebelum dan semasa dengan pak Jun,” tanya saya
“Kita punya banyak tuo-tengganai yang paham sejarah, seni dan budaya Jambi. Hanya saja persoalan utama kita, umumnya mereka tidak menulis, sehingga informasi yang mereka miliki hilang bersama waktu. Di Jambi, kita punya penulis seperti A. Mukty Nasruddin, Fakhrudin Saudagar, dan Usman Meng, yang ketiganya sudah meninggal dunia. Sekarang yang masih hidup ada Ja'far Rasuh, Budiharjo, Junaidi T. Noor, Iskandar Zakaria, dan beberapa individu lainnya.
“Sungguh sia-sia bila di masa hidup mereka kita tidak segera menggali informasi maupun pengetahuan yang mereka miliki tentang Jambi,” tukasnya mengingatkan kami.
“Kita kan punya bidang Sejarah dan Purbakala (Sepur) di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, bagaimana pandangan pak Jun?” sambung saya.
“Orang yang dipercaya mengurusi bidang itu, kini tak mengerti dan mencintai sejarah, sehingga sulit diharapkan hasil yang membahagiakan dari bidang itu. Sekarang belum ada lagi hasil penelitian terbaru, baik dalam hal sejarah maupun seni dan budaya Jambi,” tegasnya.
***
Jarum jam menunjukkan pukul 12.45. Pak Jun mesti istirahat. Kami mesti tahu diri dan segera mengutarakan keinginan pamit pulang. Sela itu, kepada Pak Jun saya meminta wejangan atau nasehat untuk generasi milineal sekarang ini.
Ia mengambil nafas panjang. Ia berharap generasi penerus sekarang tulus membangun Jambi dengan menggali nilai-nilai sejarah dan seni budaya, dan tidak semata oleh karena mengharapkan kompensasi. Bak kata seloko Jambi,“lapuk-lapuk dikajangi, buruk-buruk dikerjoi”.
“Adakah hal lain, pak Jun,” tagih saya.
"Kalian tadi sudah melihat koleksi buku-buku saya kan. Nah, sekarang saya berikan beberapa buku saya dan satu buku bagus berjudul Kepulauan Nusantara karya terjemahan Alfred Russel Wallace untuk Arsip Daerah Provinsi Jambi, sehingga bisa dibaca oleh umum,” balasnya.
“Kok saya gak dikasih, Pak Jun,” kelakar saya disambut tawa.
Saya pun diberikan olehnya sebuah buku berjudul Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard (KPG, 1999), dan sembari itu, ia berulangkali menyampaikan sesuatu sebelum kami berpamitan, yaitu persis sebagaimana judul tulisan ini: “Jangan Banyak Ngota. Telusuri dan tulis Sejarah Jambi!”.
Kami pun pulang. Senantiasa sehat, Pak Jun.
*Tulisan ini dibuat sepulang kunjungan penulis ke kediaman budayawan Junaidi T. Noor, Oktober 2017. Tulisan ini terbit di kajanglako.com pada 10 September 2019. Budayawan Junaidi T. Noor meningga dunia pada Selasa, 10 September 2019, sekira pukul 13.00 WIB.
0 Komentar