Oleh: Jumardi Putra*
Rabu, 25 September 2013, jarum jam mengarah ke angka 09.05. Fachrudin Saudagar belum juga bergabung bersama steering committee (SC) lainnya. Memang, malam harinya, saya dan beliau sempat teleponan perihal jadwal dan kegiatan esoknya. Singkat kata, ia akan datang meski terlambat, karena harus mengajar di FKIP Universitas Jambi terlebih dahulu.
Konferensi pers yang berlokasi di Kapulaga Resto Food & Soul di Jalan Nias RT 17, Perumahan Kotabaru, Jambi, terus berlanjut dan diskusi seputar International Conference on Jambi Studies (ICJS) yang bertajuk “History, Art and Culture, Religion and Social Change” tersebut menyulut berbagai pikiran dari tamu undangan, terutama setelah hampir 15 tahun, tepatnya Seminar Internasional Melayu Kuno 1992, Jambi belum memiliki forum yang memadai, kalau bukan sepadan, baik dalam hal narasumber, topik bahasan, ataupun dukungan publikasi hasil dari studi dan konferensi tersebut.
Rabu, 25 September 2013, jarum jam mengarah ke angka 09.05. Fachrudin Saudagar belum juga bergabung bersama steering committee (SC) lainnya. Memang, malam harinya, saya dan beliau sempat teleponan perihal jadwal dan kegiatan esoknya. Singkat kata, ia akan datang meski terlambat, karena harus mengajar di FKIP Universitas Jambi terlebih dahulu.
Konferensi pers yang berlokasi di Kapulaga Resto Food & Soul di Jalan Nias RT 17, Perumahan Kotabaru, Jambi, terus berlanjut dan diskusi seputar International Conference on Jambi Studies (ICJS) yang bertajuk “History, Art and Culture, Religion and Social Change” tersebut menyulut berbagai pikiran dari tamu undangan, terutama setelah hampir 15 tahun, tepatnya Seminar Internasional Melayu Kuno 1992, Jambi belum memiliki forum yang memadai, kalau bukan sepadan, baik dalam hal narasumber, topik bahasan, ataupun dukungan publikasi hasil dari studi dan konferensi tersebut.
Saat memoderatori konferensi pers itu, sebuah pesan pendek mampir ke ponsel saya. Pesan dari Datuk Herman Basyir (Wakil Ketua Lembaga Adat Melayu/LAM Jambi) itu berisi, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Telah berpulang ke Rahmatullah, Bapak Fachruddin Saudagar, tadi pagi.”
Sontak saya terdiam beberapa saat dan menaruh ketidakpercayaan, sementara diskusi terus berjalan. Guna membulatkan kabar duka itu, pesan tersebut saya teruskan kepada kawan-kawan sejawat. Hampir semua balasan SMS ke gawai saya bernada sama. Lelaki 57 tahun itu dipanggil Yang Mahakuasa sekitar pukul 08.30 WIB, setelah terjatuh ketika tengah mengajar di FKIP UNJA, dan sempat dilarikan ke Rumah Sakit Mayang Medical Center (MMC) di kawasan Mayang, Kota Jambi.
Sejenak konferensi pers dihentikan. Kami yang hadir mengirimkan doa untuk almarhum dan keluarga yang ditinggalkan. Sampai di situ, keheningan menyergap seisi ruangan Kapulaga Resto. Tak terdengar suara, kecuali renyai-renyai puisi Chairil Anwar (1942), "Bukan kematian benar menusuk kalbu/Keridaanmu menerima segala tiba/Tak kutahu setinggi itu atas debu/Dan duka maha tuan bertakhta."
Usai konferensi pers, sekira pukul 11.35, kami pun berangkat menuju ke rumah duka, di Mendalo Darat, Pondok Padi, tak jauh dari Kompleks Aurduri. Beberapa di antara kami yang melayat ikut mensalatkan, dan sesudah salat Asar langsung mengantar almarhum ke tempat peristirahatan terakhir, yang berlokasi di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Lorong Kenidai, Aurduri, Kota Jambi.
Hari berganti hari, sampai tiba waktunya, 21 November 2013, ICJS dibuka secara resmi oleh Hasan Basri Agus (HBA) di Rumah Dinas Gubernur Jambi, dan untuk keesokan harinya berlanjut di Hotel Novita (Novotel) selama tiga hari berturut-turut. M.H. Abid yang didaulat mewakili panitia ICJS, dalam sambutannya di hadapan gubernur, narasumber, dan peserta dari berbagai negara menyampaikan bahwa ICJS didedikasikan untuk almarhum Fachrudin Saudagar. Semua tamu yang hadir memberi perhatian.
Seisi ruangan menjadi hening. Saya pun teringat penggalan kalimat novelis Eka Kurniawan dalam obituarinya tentang Pramoedya Ananta Taoer (“Datang Satu-Satu, Pergi Satu-satu”, Tempo, 1 Mei 2006), "Segala sesuatu mestinya senantiasa berguna. Yang hidup maupun yang mati. Mengiringi kepergiannya, barangkali kita bisa mengutip satu pesan pembuka di novel Bumi Manusia: 'Jalan setapak ini memang sudah sering ditempuh, hanya yang sekarang perjalanan pematokan.' Dan kita tentu tidak lupa untuk meletakkan patok tersebut."
Karya Tulis Fachrudin Saudagar
Sebelum wafat, Fachrudin Saudagar memberi perhatian penuh pada penelitian sejarah dan budaya Melayu Jambi, terhitung sejak 1987. Tak cukup meneliti dan menulis, dalam kurun waktu 17 tahun (1992-2009), ia juga terlibat dalam beberapa seminar nasional dan internasional tentang Melayu Jambi.
Tidak bisa dinafikan, di Jambi, semasa atau sebelumnya, ada sejarawan ‘otodidak’ seperti mendiang A. Mukty Nasruddin, Budiharjo, Junaidi T. Noor, Iskandar Zakaria dan beberapa individu lainnya. Akan tetapi secara kuantitas karya tulis Fachrudin baik dalam bentuk buku maupun makalah melebihi karya-karya dari nama-nama yang saya sebut.
Ia telah menulis 24 karya tulis dan tentang Jambi, antara lain Sejarah Berdirinya Kota Jambi (1992), Kebudayaan Melangun Masyarakat Suku Anak Dalam (1993), Tinjauan Historis Terhadap Pengembangan Masyarakat Terasing (1995), Biografi Haji Hanafie, Ketua BKRD dan Perjuangannya (1996), Tanah Adat dan Perkebunan di Jambi (2002), Upacara Besale Pengobatan Ritual Magis Suku Anak Dalam (2007), Pendidikan Pantun Melayu Jambi: Tak Lekang Dek Panas, Tak Luput Dek Hujan (2008), Sultan Thaha Syaifuddin: Perang Tak Kenal Damai 1855-1904 (2008), Memasuki Gerbang Situs Sejarah Candi Muaro Jambi: Pusat Kerajaan Melayu, Sriwijaya, dan Pusat Pendidikan Agama Buddha (2013). Hampir sebagian besar bukunya diterbitkan melalui Yayasan Forkkat. Beberapa lainnya oleh penerbit di Jakarta dan lokal Jambi.
Karya-karya tersebut menunjukkan dedikasi lelaki kelahiran 1956 ini tak perlu diragukan lagi. Kesetiaan yang tentu tidak semua orang bisa lakukan dewasa ini, terlebih pada sejarah dan seni-budaya. Tak heran, kecintaan terhadap dunia yang ia geluti selalu bergelora saat ia diundang ke berbagai forum diskusi dan seminar.
Akan tetapi, kepulangannya yang terakhir itu (Rabu, 25 September 2013) menyeruapkan tanda tanya besar yakni setelah Fachrudin Saudagar pergi, siapa yang meneruskannya? Selain itu, pertanyaan lain juga menghantui saya, bagaimana kita bisa mengakses karya-karyanya yang terserak itu? Hemat saya, ini meniscayakan kerja khusus yaitu mencari dan mengumpulkan kembali tulisan-tulisan beliau. Kenapa? Masih segar dalam ingatan, semasa hidup, terutama saat saya terlibat dalam program inventarisasi seloko adat Melayu Jambi bersama Maizar Karim dan praktisi hukum adat Melayu Jambi Datuk Bandar Paduko Betuah, Haji Sulaiman Hasan, beliau berulang kali memperlihatkan data softcopy dari keseluruhan karyanya kepada saya, baik yang telah terbit dan akan terbit.
Namun siapa menduga Tuhan memanggilnya begitu cepat, dan saya tak tahu bagaimana persisnya “harta karun” yang tersimpan di laptop dan hardisk eksternal miliknya itu kini. Semoga keluarga menjaganya dengan baik, dan entah oleh siapa, dan tentu terbuka untuk itu kelak mempublikasikan tulisan-tulisan tersebut dengan penyuntingan dan terbit dalam kemasan yang baru.
Setelah Fakhrudin?
Setelah Fachrudin pergi, siapa yang meneruskannya? Di saat yang sama, semasa hidup atau setelah kepergiannya, iklim penelitian dan penulisan Jambi, terutama sejarah, dewasa ini juga tidak terlalu membahagiakan. Secara kualitas dan kuantitas, publikasinya belum memadai, terutama bila dibandingkan dengan beberapa daerah di Sumatera, seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Palembang.
Terhadap pertanyaan pertama, secara cepat tentu saya dan anda dengan mudah bisa menjawab, yang tertulis, tetaplah tertulis! Kitalah yang menjadi penerusnya. Yang ditinggal harus meneruskan! Begitu kira-kira.
Namun, menuju pertanyaan kedua, persoalan di atas tidaklah sesederhana itu. Saat ini kita belum (kalau bukan amat jarang) memiliki peneliti tentang Jambi sekaliber, untuk menyebut beberapa, seperti Bambang Purwanto (From Dusun to Market: Native Rubber Cultivation in Southern Sumatra, 1890-1940), C.W. Watson (Kinship, Property and Inheritance in Kerinci, Central Sumatra, University of Kent, 1992), A. Mukty Nasruddin (Jambi dalam Sejarah Nusantara, 1692-1949, tidak terbit), Barbara Watson Andaya (To Live as Brothers: Southeast Sumatra in Seventeenth an Eighteenth Centuries, 1993), Elsbeth Locher-Scholten (Sumatraans Sultanaat en Koloniale Staat: De Relatie Djambi-Batavia (1830-1907), 1994), Tideman dan Sigar (Djambi, 1938), Muntolib Soetomo (Orang Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing di Makekal, Provinsi Jambi, 1995), Heinzpeter Znoj (Social Structure and Mobility in Historical Perspective: Sungai Tenang in Highland Jambi, 2009), Fiona Kerlogue (Batik Cloths from Jambi, Sumatra, 1997), dan Uli Kozok (The Tanjung Tanah Code of Law: The Oldest Extant Malay Manuscript, 2004), serta sederet nama dan karya lainnya.
Pada kurun waktu yang sama, beberapa peneliti nasional lainnya seperti Sukmono, Sartono, Slamet Mulyana, Mundarjito, Hasan Djafar, dan Bambang Budi Utomo, secara khusus berkonsentrasi pada kajian sejarah Melayu Kuno di Jambi, peradaban di sungai Batanghari, dan kawasan Percandian Muarajambi, dengan menitikberatkan pada pendekatan arkeologi, geomorfologi, dan filologi.
Catatan singkat ini tentu belumlah lengkap mengurai dinamika penelitian tentang Jambi. Tugas kita, sepeninggal almarhum Fachrudin Saudagar masih jauh dari selesai. Jadi, mari kita terus melangkah, sebagaimana peneliti Serikat Abang di Jambi, Jang Aisjah Muttalib dengan baik merefleksikan, “Suatu daerah yang tidak memiliki [catatan] sejarah daerahnya sendiri menunjukkan seakan daerah itu belum matang. Dianjurkan agar putra daerah berusaha menulis sejarah daerahnya secara ilmiah".
*Tulisan ini terbit pertama kali di portal kajanglako.com
*Hadir dalam konferensi pers saat itu antara lain Sofnita, Ratna Dewi, Afrida, Yoga Sugama, M. Husyairi, dan beberapa tokoh, seperti Jonathan Zilberg, Herman Basyir, Aswan Zahari, Datuk Sulaiman Hasan, Jafar Rasuh, Ali Muzakir, dan Rudi Syaf. Hadir juga saat itu hampir seluruh jurnalis Jambi dari berbagai media cetak dan elektronik, peneliti individu, dan institusi/lembaga terkait seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Pendidikan Provinsi Jambi, Museum Negeri Jambi, yang kini berganti nama Museum Siginjei, KKI Warsi, Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi, dan perwakilan institusi perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.
Karya-karya tersebut menunjukkan dedikasi lelaki kelahiran 1956 ini tak perlu diragukan lagi. Kesetiaan yang tentu tidak semua orang bisa lakukan dewasa ini, terlebih pada sejarah dan seni-budaya. Tak heran, kecintaan terhadap dunia yang ia geluti selalu bergelora saat ia diundang ke berbagai forum diskusi dan seminar.
Akan tetapi, kepulangannya yang terakhir itu (Rabu, 25 September 2013) menyeruapkan tanda tanya besar yakni setelah Fachrudin Saudagar pergi, siapa yang meneruskannya? Selain itu, pertanyaan lain juga menghantui saya, bagaimana kita bisa mengakses karya-karyanya yang terserak itu? Hemat saya, ini meniscayakan kerja khusus yaitu mencari dan mengumpulkan kembali tulisan-tulisan beliau. Kenapa? Masih segar dalam ingatan, semasa hidup, terutama saat saya terlibat dalam program inventarisasi seloko adat Melayu Jambi bersama Maizar Karim dan praktisi hukum adat Melayu Jambi Datuk Bandar Paduko Betuah, Haji Sulaiman Hasan, beliau berulang kali memperlihatkan data softcopy dari keseluruhan karyanya kepada saya, baik yang telah terbit dan akan terbit.
Namun siapa menduga Tuhan memanggilnya begitu cepat, dan saya tak tahu bagaimana persisnya “harta karun” yang tersimpan di laptop dan hardisk eksternal miliknya itu kini. Semoga keluarga menjaganya dengan baik, dan entah oleh siapa, dan tentu terbuka untuk itu kelak mempublikasikan tulisan-tulisan tersebut dengan penyuntingan dan terbit dalam kemasan yang baru.
Setelah Fakhrudin?
Setelah Fachrudin pergi, siapa yang meneruskannya? Di saat yang sama, semasa hidup atau setelah kepergiannya, iklim penelitian dan penulisan Jambi, terutama sejarah, dewasa ini juga tidak terlalu membahagiakan. Secara kualitas dan kuantitas, publikasinya belum memadai, terutama bila dibandingkan dengan beberapa daerah di Sumatera, seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Palembang.
Terhadap pertanyaan pertama, secara cepat tentu saya dan anda dengan mudah bisa menjawab, yang tertulis, tetaplah tertulis! Kitalah yang menjadi penerusnya. Yang ditinggal harus meneruskan! Begitu kira-kira.
Namun, menuju pertanyaan kedua, persoalan di atas tidaklah sesederhana itu. Saat ini kita belum (kalau bukan amat jarang) memiliki peneliti tentang Jambi sekaliber, untuk menyebut beberapa, seperti Bambang Purwanto (From Dusun to Market: Native Rubber Cultivation in Southern Sumatra, 1890-1940), C.W. Watson (Kinship, Property and Inheritance in Kerinci, Central Sumatra, University of Kent, 1992), A. Mukty Nasruddin (Jambi dalam Sejarah Nusantara, 1692-1949, tidak terbit), Barbara Watson Andaya (To Live as Brothers: Southeast Sumatra in Seventeenth an Eighteenth Centuries, 1993), Elsbeth Locher-Scholten (Sumatraans Sultanaat en Koloniale Staat: De Relatie Djambi-Batavia (1830-1907), 1994), Tideman dan Sigar (Djambi, 1938), Muntolib Soetomo (Orang Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing di Makekal, Provinsi Jambi, 1995), Heinzpeter Znoj (Social Structure and Mobility in Historical Perspective: Sungai Tenang in Highland Jambi, 2009), Fiona Kerlogue (Batik Cloths from Jambi, Sumatra, 1997), dan Uli Kozok (The Tanjung Tanah Code of Law: The Oldest Extant Malay Manuscript, 2004), serta sederet nama dan karya lainnya.
Pada kurun waktu yang sama, beberapa peneliti nasional lainnya seperti Sukmono, Sartono, Slamet Mulyana, Mundarjito, Hasan Djafar, dan Bambang Budi Utomo, secara khusus berkonsentrasi pada kajian sejarah Melayu Kuno di Jambi, peradaban di sungai Batanghari, dan kawasan Percandian Muarajambi, dengan menitikberatkan pada pendekatan arkeologi, geomorfologi, dan filologi.
Catatan singkat ini tentu belumlah lengkap mengurai dinamika penelitian tentang Jambi. Tugas kita, sepeninggal almarhum Fachrudin Saudagar masih jauh dari selesai. Jadi, mari kita terus melangkah, sebagaimana peneliti Serikat Abang di Jambi, Jang Aisjah Muttalib dengan baik merefleksikan, “Suatu daerah yang tidak memiliki [catatan] sejarah daerahnya sendiri menunjukkan seakan daerah itu belum matang. Dianjurkan agar putra daerah berusaha menulis sejarah daerahnya secara ilmiah".
*Tulisan ini terbit pertama kali di portal kajanglako.com
*Hadir dalam konferensi pers saat itu antara lain Sofnita, Ratna Dewi, Afrida, Yoga Sugama, M. Husyairi, dan beberapa tokoh, seperti Jonathan Zilberg, Herman Basyir, Aswan Zahari, Datuk Sulaiman Hasan, Jafar Rasuh, Ali Muzakir, dan Rudi Syaf. Hadir juga saat itu hampir seluruh jurnalis Jambi dari berbagai media cetak dan elektronik, peneliti individu, dan institusi/lembaga terkait seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Pendidikan Provinsi Jambi, Museum Negeri Jambi, yang kini berganti nama Museum Siginjei, KKI Warsi, Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi, dan perwakilan institusi perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.
2 Komentar
Izin bertanya pak, apakah karya tulis beliau tersedia di perpustakaan Jambi?
BalasHapussepertinya gak ada. umumnya buku-buku beliau dicetak terbatas. bisa diakses di perpustakaan Kantor BPK Wilayah V Jambi dan ruang deposit Perpustakaan Provinsi Jambi
Hapus