Bung Hatta wafat 14 Maret 1980 |
Oleh: Jumardi Putra*
Setiba di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan, langit yang
semula nampak cerah dari arah Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur, tak kuasa
menolak mendung dan segera berubah kelam. Saya menyegerakan langkah meninggalkan bibir
jalan Bintaro Raya Rt. 2/RW.10, Kebayoran Lama, ke arah Masjid Jami’ Bung
Hatta, sekira 20-an meter sisi kiri dari pintu utama pusara Bung Hatta dan
istrinya, Rahmi Rachim, yang berada tepat di sebelahnya.
Ini kali pertama saya menziarahi makam Mohammad Hatta, Wakil
Presiden Republik Indonesia yang wafat pada 14 Maret 1980,
setelah direncanakan sejak November tahun lalu bersamaan pameran Surat Pendiri
Bangsa di Museum Nasional, Jakarta Pusat.
Selain Hatta dan istri, di TPU Tanah Kusir juga terbaring dengan tenang ulama besar Indonesia yaitu Prof. Hamka (H. Abdul Malik Karim Abdullah) dan tokoh nasional lainnya, seperti juru runding handal Mr. Mohammad Roem (perundingan yang dikenal Roem-Royen pada 14 April 1949) dan jurnalis sekaligus pejuang kemerdekaan A.R. Baswedan, serta Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin periode 1966-1977.
Tak tampak peziarah lain kala itu. Hanya ramai lalu
lalang kendaraan warga yang memang setiap hari melewati jalan beraspal yang
membelah TPU Tanah Kusir.
Usai menunaikan shalat Ashar, beberapa langkah meninggalkan pintu masjid menuju makam Bung Hatta, melintas di hadapan saya seorang pria. Ia mengenakan baju koko dengan sarung berwarna biru. Logat betawi kentara dari gaya bicaranya. Pun rambutnya yang memutih menandakan ia tak lagi muda.
Mulanya saya mengira ia tak lain peziarah seperti saya. Ternyata bukan. Pria bernama lengkap Syahrul Akmal ini adalah penjaga makam Bung Hatta dan sekaligus ketua ta’mir masjid Jami’ Bung Hatta.
Pusara Bung Hatta dan istri |
Usut punya usut, lelaki kelahiran 10 Agustus 1957 itu berasal dari Desa Pauh, Kec. Pauh, Kab. Sarolangun, Provinsi Jambi. Sekira lima
jam perjalanan darat dari pusat Kota Jambi.
“Alhamdulillah, ketemu jugo orang Jambi di sini,” ujar saya dibalas pelukan darinya.
Seolah seperti keluarga yang sudah lama tidak bersua, kami
jatuh dalam percakapan mengasyikkan. Sejak itu, selain karena usia yang terpaut
jauh dengan saya, dan sebagai tanda keakraban plus sesama orang Jambi, sapaan
Datuk saya sematkan padanya.
Niat segera menghampiri pusara Bung Hatta saya urungkan barang sejenak. “Amanlah. Kagek samo sayo ke makam Bung Hatta dan tokoh nasional lainnya,” imbuhnya sembari meletakkan secangkir teh serta dua gelas air putih tepat di hadapan saya.
Berbagi kabar seputar Jambi dan Ibu Kota mewarnai pembicaraan antara kami. Dirinya seolah ingin mengenang masa kecil di Desa Pauh, sekolah dari SD hingga SMA di Kota Jambi, dan akhirnya memutuskan bekerja dan tinggal bersama keluarga di sebuah rumah dinas di Komplek makam Bung Hatta.
“Keluarga saya masih di Jambi. Kadang saat lebaran Idul Fitri saya pulang kampung. Ziarah ke makam orang tua dan bertemu sanak keluarga. Terakhir kali ke Jambi lima tahun lalu,” kilah sarjana muda lulusan Universitas Krisnadwipayana masa aktif 1977-1981.
Bekerja merawat Taman Makam Proklamator Bung Hatta ia jalani sejak Januari 1987 di bawah naungan Sekretaris Negara. Rentang waktu 32 tahun adalah waktu yang tidak sebentar. Namun, bagi bapak dua anak ini, pahit manis sebagai penjaga makam seorang pahlawan boleh dikata sebuah kehormatan sekaligus ladang pengabdian dirinya pada negara.
“Sebenarnya, sejak Desember 2010 saya purna tugas sebagai penjaga makam, tetapi ditugaskan kembali oleh kementerian Sosial RI sekaligus atas permintaan pihak keluarga besar mendiang Hatta, saya kembali merawat taman makam Bung Hatta, bahkan sekarang saya menjadi ketua ta’mir masjid Jami’ Bung Hatta,” ungkapnya.
Taman makam Proklamator Bung Hatta seluas hampir dua hektar ini diresmikan pada 12 Agustus 1982 oleh Presiden Indonesia Ke-2 yaitu Soeharto.
“Mulanya makam Bung Hatta sama seperti makam-makam lain di TPU Tanah Kusir. Menjadi taman makam pahlawan seperti sekarang ini yaitu tersedia ruang tamu bagi peziarah, pintu masuk makam dengan gaya khas Minangkabau, relief sejarah perjalanan Bung Hatta semasa hidup, bangunan yang menaungi makam Hatta dan istri, serta pembuatan pagar yang mengelilingi makam, dibangun Presiden Soeharto sebagai bentuk penghormatan atas jasa mendiang Bung Hatta,” tuturnya.
Menimbang waktu magrib segera tiba, saya dan Datuk Syahrul segera menuju Makam Bung Hatta dan dilanjutkan ke pusara Prof. Hamka dan Mohammad Roem yang berada tak jauh dari pagar taman makam Bung Hatta.
Usai mendaraskan doa di dua makam tokoh tersebut, kami berjalan menyusuri seisi Taman Makam Bung Hatta.
Untuk sampai ke pusara Bung Hatta, peziarah bakal melewati sebuah gerbang berukuran cukup besar. Dari situlah saya dan Datuk syahrul menyusuri jalan yang bagian kirinya terdapat rangkaian relief (seni pahat dan ukiran tiga dimensi yang biasanya di atas batu) yang menggambarkan penggalan sejarah perjalanan Bung Hatta: dimulai dari masa kecil dan remaja yang dihabiskan di Bukit Tinggi, Sumatra Barat; aktivitas semasa studi di Nederland Handels-Hogeschool, Rotterdam, tak terkecuali saat Hatta bergabung dengan Indische Vereeniging [kelak menjadi Perhimpunan Indonesia; kisah saat Hatta mendampingi Soekarno membacakan teks proklamasi; peran Bung Hatta dalam berbagai perundingan negara, dan cerita Bung Hatta saat menjadi wakil presiden Republik Indonesia serta ketika dirinya memilih mundur pada 1956.
Di seberang relief berdiri pendopo yang dilengkapi meja resipsionis dan beberapa kursi. Di dinding bangunan tersebut terdapat beberapa foto Hatta dan keluarga. Sementara di dinding luar pendopo terpampang plakat kuning keemasan berisikan informasi peresmian taman makam Bung Hatta tiga puluh tujuh tahun (37) yang lalu.
Datuk H Syahrul dan Penulis |
“Sebelum peziarah berdoa di makam Bung Hatta, di sinilah terlebih dahulu pengunjung mengisi buku tamu dan bahkan sebagai tempat istirahat,” imbuh
Datuk.
Dari Pendopo itu saya dan datuk Syahrul menuju pintu masuk
makam Bung Hatta yang dibangun bergaya khas Minangkabau. Masuk akal pilihan
arsitektur demikian tersebab Hatta merupakan tokoh kelahiran 12 Agustus 1902 di
Bukittinggi, Sumatera Barat.
Sementara di sisi kiri pintu masuk pusara, terpancang sebuah batu besar bertuliskan, “Meskipun Bung Hatta telah tiada, Bung Hatta akan tetap hidup dalam hati kami, cita-cita Bung Hatta akan senantiasa menyinari perjuangan kami”.
Di bagian belakang bangunan yang menaungi pusara Bung Hatta dan istri, juga terbaring dengan tenang mendiang sekretaris pribadi Hatta yakni I Wangsa Widjaja dan istri.
“Pada momen apa saja ramai peziarah ke makam Bung Hatta,” tanya saya.
“Umumnya hari libur. Kalo hari-hari biasa tidak banyak pengunjung. Kecuali hari jumat, lantaran warga melaksanakan ibadah shalat jumat di masjid ini,” jawabnya
“Dari kalangan mana saja peziarah yang datang ke sini?” lanjut saya.
“Hampir semua kalangan berziarah ke sini. Mulai dari rakyat biasa hingga pejabat tinggi negara. Bahkan mereka datang dari latar agama yang berbeda-beda. Itulah tanda sosok Hatta mendapat tempat dalam kehidupan mereka,” ungkapnya.
“Bagaimana sosok pribadi Hatta di mata Datuk,” tanya saya.
“Kesederhanaan Bung Hatta melekat pada sepak terjang kehidupannya, baik sebagai pribadi, orangtua, suami, dan bahkan pejabat negara. Tak hanya semasa hidup, bahkan jelang tutup usia dirinya berpesan untuk dimakamkan di TPU Tanah Kusir. Padahal bukan suatu yang sulit bila dirinya minta dimakamkan di taman makam Pahlawan Kalibata. Namun, Hatta berwasiat agar dimakamkan berdampingan dengan sesama rakyat biasa”, ungkapnya.
Pendapatan Datuk syahrul itu bersumber dari surat wasiat Bung Hatta tertanggal 10 Februari 1975, dan itu satu di antara kisah-kisah teladan kesederhanaan Bung Hatta semasa hidup, selain juga dikenal luas sebagai pemikir ulung. Di banyak sumber sejarah tercatat dengan baik, ambil misal, seperti Bung Hatta berjanji menikah setelah Indonesia merdeka (18 November 18 November 1945 Hatta menikahi Rachmi Rahim dengan mas kawin buku yang ditulisnya saat dibuang di Digul pada tahun 1934, Alam Pikiran Yunani). Bahkan, Bung Hatta tidak cukup uang membelikan mesin jahit yang dijanjikan dirinya pada sang istri sebagai imbas kebijakan pemotongan mata uang ORI (Oeang Republik Indonesia) dari 100 menjadi 1 pada tahun 1950. Begitu juga Bung Hatta tidak mampu membeli sepasang sepatu Bally yang diinginkannya hingga tutup usia, dan bahkan dirinya juga pernah tidak cukup uang melunasi biaya listrik rumahnya.
“Pada sosok Hatta, antara intelektual dan moral dapat kita jumpai dalam waktu bersamaan”, ungkap Datuk Syahrul.
Tak terasa waktu magrib segera tiba. Kami kembali ke masjid. Menunaikan shalat. Hanya berdua. Tak ada makmum lainnya.
Selepas mendaraskan doa, saya pamit undur diri, dan olehnya saya diantar menuju halte di hadapan TPU Tanah Kusir. Sembari menunggu angkot dan meneruskan perjalanan ke Salihara, kami masih menyambung pembicaraan di masjid sebelumnya.
“Kalo ado kawan kito dari Jambi yang ke Jakarta. Entah itu tujuannya tugas kantor, riset dan cari kerja, singgahlah di sini. Tinggal (sementara) di sini juga bisa. Kito senang kalo kumpul sesama Jambi di tanah rantau,” pesannya.
“Baik, Tuk”.
Dari balik kaca angkot yang saya tumpangi menuju Blok M,
Datuk Syahrul perlahan-lahan hilang dari pandangan saya.
*Wawancara bersama Datuk H. Syahrul Akmal pada
penghujung Februari 2019. Tulisan ini terbit pertama kali di kajanglako.com pada 17 Maret 2019.
0 Komentar