Tugu Keris Siginjai Kota Jambi |
Oleh: Jumardi Putra*
21.45 WIB
Hujan lebat. Petir menggelegar. Percakapan di antara kami sejenak berhenti total.
Bentang ruang di balik kaca Let’srock cafe, Jalan Prof. H. M. Amin, nyaris
kosong. Dua tenda merah dan beberapa kursi kayu tak berpengunjung. Satu, dua
mobil melintas, tapi segera hilang di perempatan. Jajakan batu akik di bahu kiri-kanan
jalan sepi peminat.
Kami, jamaah NgotaBuku, yang sebelumnya berdiskusi tentang trilogi Darah
Emas-nya Meiliana K. Tansri, duduk santai di dalam cafe menunggu hingga hujan reda. Tidak
juga berhenti. Hujan betul-betul mendermakan kasihnya setelah beberapa hari
sebelumnya langit Tanah Pilih Pusako Betuah, Kota Jambi, berawan
cerah. Tidak ada yang menggerutu. Masing-masing kami larut dalam deraian hujan
disertai tembang lawas Still Loving You-The Scorpions.
23.15 WIB
Satu per satu dari kami memilih pulang bermantelkan hujan. Saya tidak
tahu pasti berapa jarak yang mereka tempuh untuk sampai ke rumah masing-masing.
Tetiba terlintas di pikiran saya ungkapan arsitek cum sastrawan Avianti Armand,
“bersentuhan dengan air karenanya seperti mengembalikan sensasi primitif yang
pernah kita rasakan di awal kehidupan-perasaan aman dan nyaman ketika berada
dalam rahim. Seperti pulang" (2011).
Tiba giliran saya bersama istri dan anak pulang. Hujan masih total.
Lampu-lampu di sepanjang jalan mengisi ruang dengan selongsong cahaya yang
berebutan. Tukang tampal ban diamuk sepi. Warung-warung kecil dan kaki lima
satu per satu gulung tikar. Berganti pusat-pusat perbelanjaan dan merah putih
Kentucky Fried Chicken atau suasana malam yang gemerlap oleh barisan cafe dan
restoran siap saji. Begitu juga polusi visual seperti poster, baliho, spanduk,
dan billboard membuat kota tampil berdesakan. Bahkan, hampir di setiap sore
hari, pengandara acapkali diganggu oleh kehadiran sales yang memenuhi badan
jalan demi menjajaki gawai keluaran terbaru, lengkap dengan fitur-fitur canggih.
Setiba di perempatan Simpang Pulai, pandangan saya tertuju ke kiri bahu
jalan. Taman Gajah. Seketika itu album kenangan saya bersama Kaindra, anak
sulung saya dan bocah-bocah lainnya menandai sisi lain ibu kota Bumi Pucuk
Jambi Sembilan Lurah. Apa sebab? Ruang publik amat kecil yang tidak dikelaskan
oleh “daftar biaya” atau apapun istilah ekonomitriknya. Dari yang papa sampai
super punya, taman gajah-ruang publik nan kecil itu-mempersilakan siapa saja bercengkrama, sebagaimana tradisi alun-alun kota di pulau Jawa. Sementara
terhadap Tugu Pers, arah kanan sepemandangan saya menyembulkan tanya,
“Ke mana tukang itu pergi, setelah Tugu Pers selesai dibangun?”
Traffic light menunjukkan tanda hijau. Saya tancap gas. Pikiranku menangkap
kesan Kota Jambi dewasa ini tak bisa lagi menyembunyikan kelelahan yang kian
membuntal. Semua ruang ditakar hanya dengan “nilai tukar”, bukan “nilai guna”.
Menyerupai kepadatan yang palsu dan waktu menjelma uang yang tak
lekang. Tak syak, tergerusnya ruang-ruang terbuka non komersil
(terutama untuk remaja dan anak-anak) di tengah kota, stabilitas dapur kaum
miskin kota yang terus goyah, dan minimnya prasarana-prasarana sosial, yang
oleh John Ormsbee Simonds disebut sebagai “urban paradise” (surga perkotaan)
menjadikannya kian jauh dari harapan warga, utamanya kaum kelas sosial bawah.
Benar, dari sepanjang arah jalan Simpang Pulai sampai ke Tugu Juang,
terdapat satu, dua, tiga sekolah, dan dua taman. Juga berdiri perguruan tinggi,
toko buku, dan perpustakaan. Tapi keberadaannya seolah terhimpit oleh buldoser
modal yang menguasai ruang, sehingga yang tak bermodal terpaksa menyingkir
perlahan-lahan ke pinggir kota. Kota melebar tak terkendali, terfragmentasi, dan terkonsentrasi
dalam ruang-ruang kalkulatif. Sektor real estate dan bisnis properti tumbuh
pesat. Puncaknya, banjir terjadi berulang-ulang dengan skala yang mengkhawatirkan, seiring lahan serapan air yang
terus berkurang.
01.10 WIB
Usai berteduh di dua tempat sepanjang Simpang Pulai ke Beliung Patah,
tibalah kami di rumah. Bagaimanapun ini kusebut sebuah perjalanan yang
berkesan, lantaran dari Simpang Pulai ke arah pertigaan simpang STM (sebagaimana juga pada wilayah lainnya di Kota Jambi) memuat tanda dan pola
yang kian manunggal yakni kepadatan warga kota yang menguras emosi dan energi,
yang terkadang jatuh dan mengeluh pada batas-batas harapan-sendiri.
Kondisi demikian menggiring warga pada pengalaman-pengalaman yang
tereduksi. Penggalan yang seperti perspektif, hanya menyisakan satu sudut
pandang. Apa sebab? Seluruh proyeksi mengarah pada komodifikasi ruang yang
semakin total dan tak peduli. Kota ini, bila tak segera menyadari gurita modal
yang merenggutnya, maka segera menjadi sekadar tempat bertahan hidup, bukan
tempat hidup yang sejatinya memberi arti keberadaan kepada penghuni yang
tinggal di dalamnya.
Guna menyeimbangi derasnya modal, yang selama ini menjadikan kebudayaan
Jambi sebagai sektor minor, bahkan cenderung dibuat periferik, sangatlah tepat
bila Pemerintah kota Jambi dengan kepemilikan ruang-ruang terbuka dan
Pemerintah Provinsi Jambi (untuk menyebut salah satu contoh) bekerjasama
menjelmakan area seperti taman Tugu Juang sebagai “nol kilometer” kebudayaan Bumi Pucuk
Jambi Sembilan Lurah yakni sebagai salah satu ruang publik strategis yang
menjadikan kebudayaan sebagai basis kesadaran sekaligus berkarya di tengah akselerasi pembangunan
yang terus menerus digelorakan.
Kebudayaan yang saya maksud di sini, yang dihubungkan dengan aktualitas
bidang-bidang kesenian kreatif yaitu mencakup pertautan dengan bahasa, sastra,
musik, film, tari, senirupa, dan genre seni lainnya yang bersinggungan dengan teknologi. Tradisi-modern sama-sama mendapat tempat. Bukan seperti
sekarang dan waktu-waktu yang telah lewat yaitu justru menjelma sebagai
"pasar" yang mengisi ruang-ruang publik di Kota Jambi.
Dalam konteks demikian, melalui ekspresi kesenian di ruang-ruang publik
di Tanah Pilih Pusako Betuah, Kota Jambi, akan muncul dialektika kaum kreatif
perkotaan yang senantiasa menghadirkan kembali masa lampau dan kekinian dalam
bingkai pemuliaan sikap berpengetahuan, semangat kewargaan, keseimbangan
lingkungan, kohesi sosial, kebangunan seni-budaya yang berujung pada perasaan
bangga segenap warga.
*Tulisan ini terbit pertama kali di portal kajanglako.com pada 13 Februari 2018.
0 Komentar