ilustrasi. seni tari kipas |
Oleh: Jumardi Putra*
Kekayaan budaya Jambi bukanlah isapan jempol, tetapi memiliki bukti yang berlimpah. Setidaknya terdapat tujuh warisan seni budaya (Tangible-intangible) yang kita miliki, yang potensial untuk kita kaji dan kembangkan. Adapun tujuh potensi seni budaya Jambi adalah: Sejarah, Adat, Bahasa dan Sastra, Sungai Batanghari, Situs Cagar Budaya Percandian Muarojambi, Karya Seni, Busana, dan Kuliner.
Namun, kenyataan kini kita sudah terlalu lama terlena dan berlupa dengan keunggulan tersebut. Kita juga terlalu lama membiarkan banyak bagiannya melapuk, bahkan punah. Oleh para pakar, globaliasi dinilai ikut andil membuat seni budaya lokal tersisihkan. Di samping itu, tentu saja faktor internal yaitu kebijakan pemerintah daerah yang belum memiliki masterplan kebudayaan yang komprehensif sekaligus berpandangan jauh ke depan.
Muncul pertanyaan, apa yang akan kita rancang berkat keragaman seni budaya yang ada? Kita tentu saja sepakat bahwa semua kesenian tradisi yang tumbuh di Kabupaten/Kota dalam Provinsi Jambi memeroleh hak yang sama untuk berkembang. Dan, Jambi telah menyediakan ruang tersebut sejak lama. Tetapi, dalam laju kebudayaan yang dinamis itu, kita perlu wadah yang bisa mempertemukan keragaman seni budaya dalam konteks kita sebagai masyarakat Jambi. Paling tidak, wadah itulah nanti yang membuat keragaman seni budaya menjadi bercorak Jambi dan berbeda dari kebudayaan di tempat asal mereka.
Kita punya pepatah yang bagus untuk memandu kita menyiapkan payung atau wadah itu, "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". Saya berpikir kebudayaan Melayu Jambi menjadi langit yang dapat memayungi semua seni budaya yang tumbuh di Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah. Hasil dari proses pemayungan itulah yang kita sebut sebagai kebudayaan Jambi, yang mesti kita buat cetakbiru (Blue-print)-nya sekarang.
Pertanyaannya kemudian, dari mana kita memulai menyusun cetak-biru kebudayaan Jambi itu? Pertama, berangkat dari kecintaan menyadari identitas kultural lokal yang ditantang oleh globalisasi. Di tengah globalisasi yang menyediakan banyak pilihan budaya, perlu ditumbuhkan kecintaan terhadap identitas seni budaya lokal. Kedua, menyadari kekayaan tradisi dan kearifan lokal kita. Apa yang saya sebut sebagai tujuh potensi kebudayaan Jambi di awal ini sesungguhnya merupakan kekayaan seni budaya dan kearifan lokal.
Kearifan itu perlu kita jaga dan lanjutkan, karena meskipun diambil dari sesuatu yang bersifat kedaerahan atau lokal, sesungguhnya yang namanya kearifan tidak pernah bersifat lokal. Dia menjiwai atau menjadi dasar kebudayaan-kebudayaan besar di dunia. Ketiga, agenda untuk dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat, sebagaimana yang nanti akan diulas di bawah.
Lalu, tindaklanjutnya adalah menciptakan ruang publik yaitu domain tempat wacana dan opini seni-budaya diekspresikan serta tempat kegiatan-kegiatan intelektual dapat diaktualisasikan. Kemudian, yang harus dilakukan adalah inventarisasi seluruh kekayaan budaya: sejarah, sastra tulis/lisan, teater, tari, musik, kriya, arsitektur, tekstil, desain, kostum, dolanan, kuliner, upacara adat, religi, mitos, legenda, fabel, flora dan fauna, dan lain-lain.
Bersamaan dengan inventarisasi adalah kerja besar dokumentasi. Setelah itu, tentu saja publikasi yang luas dengan berbagai macam moda, dalam aneka bahasa, dan memanfaatkan sebesar-besarnya teknologi internet yang begitu mudah, murah, dan meluas. Kerja selanjutnya adalah menetapkan agenda kerja ekshibisi/visualisasi: pementasan pementasan karya orisinal dan kreasi baru, festival, lomba, pameran, seminar, loka karya, bengkel kerja dan laboratorium eksperimental, dalam skala nasional maupun internasional.
Setakat hal itu, Pergelaran Keagungan Melayu Jambi ke-3 yang dilaksanakan oleh Dewan Kesenian Jambi (DK-Jambi), sebagaimana juga Keagungan Melayu Jambi Pertama dan Kedua (2012-2013), menjadi salah satu jawabannya. Sebuah upaya untuk membangun kesinambungan kesenian tradisi agar selalu menemukan nilai-nilai barunya. Ia hadir bukan sebagai barang antik kehidupan modern, tetapi sebagai cermin proses sejarah, sehingga membantu masyarakat saat ini menemukan kembali kesadarannya.
Kehadiran pergelaran dalam tema “Spiritualitas
Swarnamelayu” kali ini kembali mempertegas komitmen Dewan Kesenian Jambi
sebagai penggagas utama bahwa Melayu Jambi bukanlah kebudayaan yang sudah jadi,
melainkan sebagai proses menjadi, yakni proses menjadi (kebudayaan) Jambi yang
akan berlangsung terus menerus.
Memilih moda pergelaran lebih karena suatu kegiatan dalam pertunjukan hasil karya seni kepada orang banyak pada tempat tertentu.
Spiritualitas Swarnamelayu.
Tema Spiritualitas Swarnamelayu sengaja dipilih karena ia bagian inti dari diri manusia. Acapkali manusia dibikin takjub oleh riak alam, seperti laut, gunung, badai, lahir-hidup-sakit-mati, dan keberadaan segala peristiwa yang tak-terjelaskan. Dalam perjalanannya, muncul serangkaian tata cara yang membantu manusia memahami kekuatan-kekuatan atau pesan di balik setiap peristiwa itu. Hal terakhir inilah yang sampai kepada kita, anak cucu manusia sebagai agama, yang pada gilirannya menjadi keyakinan dan pedoman dalam berhadapan dengan Alam, Tuhan, dan diri sendiri.
Mendasari hal itu, Spiritualitas Swarnamelayu tak lain usaha menempatkan hubungan yang erat antara manusia, alam, dan Sang pemilik kehidupan yang termanifestasikan dalam beragam ekspresi kesenian tradisi. Hal itu pula dapat kita jumpai dalam inisiasi dan beragam ritual yang mengedepankan solidaritas sosial dengan tanpa melupakan keberadaan agama sebagai perajut.
Demikian spiritualitas Swarnamelayu. Sebuah pergelaran
yang mengungkapkan jatidiri sekaligus kekayaan seni budaya yang tumbuh dan
berkembang di tengah masyarakat Melayu Jambi. Menjadi sikap dan daya kreatif
para penerus untuk mempertahankan dan mengolahnya menjadi khasanah baru dalam
perubahan zaman.
*Ditulis untuk Pergelaran Keagungan Melayu Jambi tahun 2014.
0 Komentar