Oleh: Jumardi Putra*
Sumardi Djogo Sutarto dikenal luas sebagai pelukis sekaligus pematung handal Jambi. Meski sepak terjang lelaki yang akrab disapa Pak De Sumardi ini saya ketahui sedari 2009, baru tiga tahun terakhir ini saya berkesempatan bertemu dan bercakap-cakap dengannya seputar dunia seni rupa Jambi.
Saya akui perjumpaan kami tidak intens, tapi tetap memberi kesan kuat yaitu konsistensi lelaki berusia 67 tahun ini pada jalur seni lukis dan patung tidak diragukan lagi. Puncaknya, beberapa bulan lalu, suatu sore di salah satu stasiun tivi lokal Jambi, saya berkesempatan mewawancarai kakek tiga cucu ini bersama pelukis senior Fauzi Zubir mengenai seni dan estetika Kota Jambi, yang dalam kesempatan lain akan saya tulis khusus mengenai topik tersebut.
Kritik relevan Sumardi yang muncul di tengah obrolan kami ketika itu yaitu mengamati kota Jambi dewasa ini, laiaknya kota-kota di tanah air, menandai pola yang kian manunggal; gedung-gedung bertingkat mengangkangi sempadan sungai dan jalan. Pusat perbelanjaan tumbuh bak cendawan di musim hujan yang diikuti dengan gugurnya toko-toko kecil, warung kaki lima dan pasar tradisional. Pusat-pusat hiburan datang silih berganti. Lalu lalang kendaraan tak beraturan. Begitu juga "Polusi visual” seperti poster, baliho, spanduk, dan billboard membuat suasana kota tampil urakan. Semua bergerak menjadi pasar.
Sumardi Djogo Sutarto dikenal luas sebagai pelukis sekaligus pematung handal Jambi. Meski sepak terjang lelaki yang akrab disapa Pak De Sumardi ini saya ketahui sedari 2009, baru tiga tahun terakhir ini saya berkesempatan bertemu dan bercakap-cakap dengannya seputar dunia seni rupa Jambi.
Saya akui perjumpaan kami tidak intens, tapi tetap memberi kesan kuat yaitu konsistensi lelaki berusia 67 tahun ini pada jalur seni lukis dan patung tidak diragukan lagi. Puncaknya, beberapa bulan lalu, suatu sore di salah satu stasiun tivi lokal Jambi, saya berkesempatan mewawancarai kakek tiga cucu ini bersama pelukis senior Fauzi Zubir mengenai seni dan estetika Kota Jambi, yang dalam kesempatan lain akan saya tulis khusus mengenai topik tersebut.
Kritik relevan Sumardi yang muncul di tengah obrolan kami ketika itu yaitu mengamati kota Jambi dewasa ini, laiaknya kota-kota di tanah air, menandai pola yang kian manunggal; gedung-gedung bertingkat mengangkangi sempadan sungai dan jalan. Pusat perbelanjaan tumbuh bak cendawan di musim hujan yang diikuti dengan gugurnya toko-toko kecil, warung kaki lima dan pasar tradisional. Pusat-pusat hiburan datang silih berganti. Lalu lalang kendaraan tak beraturan. Begitu juga "Polusi visual” seperti poster, baliho, spanduk, dan billboard membuat suasana kota tampil urakan. Semua bergerak menjadi pasar.
“Apa yang mesti dilakukan terhadap situasi semacam ini,” tanya saya.
“Selain menimbang faktor-faktor lain yang relevan, pemerintah perlu menata kota ini dengan sentuhan karya seni sekaligus menjadikan kebudayaan sebagai fondasi pembangunan. Kalau hal ini betul-betul terwujud, insyaallah Jambi akan menjadi kota yang berkontribusi bagi pelestarian budaya dan senantiasa menyemai rasa bangga,” imbuhnya bersuara pelan.
Sumardi Djogo Sutarto lahir di Desa Sungai Gebar, Kec. Kuala Betara, Tanjung Jabung Barat-Jambi, tepatnya 17 Mei 1950. Lewat tangan kreatifnya, puluhan seni patung dan relief dapat kita saksikan sekarang ini di beberapa titik lokasi di Kota Jambi dan Kabupaten/Kota dalam provinsi Jambi, antara lain seperti Patung Tugu Makalam, Patung-patung dan ornament di Taman Budaya Jambi (TBJ), Tugu Juang, Patung Buruh di Perumahan UKA, relief Tugu Pelajar di RS DKT, Tugu Juang Pasar Bulian, Tugu Selamat Datang di Polres Muara Bulian, Tugu KB Bajubang, Patung-patung kontemporer di Kajanglako, Patung Taman PKK Kuala Tungkal, Patung Gamda makam Pahlawan Sengeti, Muarojambi, relief lambang Provinsi di Rumah Dinas Gubernur, relief lambang Tri Brata dan Catur Tri Prasetya.
“Mungkin yang paling dikenal adalah patung Tugu Juang. Patung dengan latar seorang lelaki yang membawa bambu runcing menandai simbol heroisme rakyat Jambi,” kilah Sumardi mengenang buah karyanya pada 1983 itu.
“Apa karya terbaru Anda sekarang?” tanya saya.
“Ornamen di kawasan Gentala Arasy yang bercerita perkembangan masuknya agama Islam di Jambi dan motif batik di dinding pemakaman umum Kota Jambi,” tukasnya datar.
Sebelum tenar lewat karya seni patung, Sumardi menekuni seni lukis. Sejak bangku sekolah dasar ia bercita-cita menjadi seniman lukis. Bahkan saat menginjak usia delapan tahun, Sumardi sering mengamati pelukis Sindoesoedarsono Sudjojono yang rumah pribadinya berhadapan langsung dengan tempat tinggalnya di Jakarta masa itu.
“S. Sudjojono adalah seorang pelukis ternama Indonesia masa itu. Bersama sejumlah pelukis, salah satunya Affandi, ia mendirikan PERSAGI (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia) pada 1937. Sebuah kelompok organisasi yang kemudian disebut sebagai awal seni rupa modern Indonesia. Ketika itu S. Sudjono menjabat sekretaris dan juru bicara PERSAGI. Ia juga seorang kritikus seni, utamaya Sudjojono menulis kritik mengenai pameran koleksi Regnault. Ia tidak saja memberi pujian, tapi kritik menukik terhadap lukisan-lukisan yang dipamerkan. Dalam perjalanannya tidak hanya dalam bidang seni lukis, Sudjono juga menulis kritik dalam bidang seni lainnya”, cerita Sumardi tentang sosok Sudjono kepada saya.
“S. Sudjono adalah pelukis yang mewarnai masa awal Anda di dunia seni rupa?”, simpul saya.
“Betul, alamrhum S. Sudjono adalah salah satu rujukan saya belajar melukis”, balasnya.
“Adakah pelukis selain S. Sudjono?”, timpal saya.
Pria beranak lima ini mengidolakan Affandi, pelukis besar di Yogyakarta dan maestro patung Edhi Sunarso yang bikin patung ‘Selamat Datang’ di Jakarta dan diorama sejarah di beberapa museum di tanah air," ungkapnya
Sejak bangku sekolah dasar Sumardi melukis secara otodidak menggunakan cat air. Ia lebih tertarik menggambar sebuah objek secara detail. Usai menamatkan sekolah dasar Sumardi melanjutkan sekolah di SMP Negeri 1 Kuala Tungkal. Karena ketekunan itu, untuk pertama kali, di tahun 1965 lukisan Sumardi berhasil dipamerkan di Gedung Nasional, Jakarta.
Pendidikan jenjang formal Sumardi berlanjut ke SMA N 2 Jambi pada 1968. Dalam masa itu, seni lukis terus ia geluti hingga 1972 menjatuhkan pilihan melanjutkan kuliah di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) di Yogyakarta jurusan Seni Lukis.
Di kampus yang sekarang bernama Institut Seni Indonesia (ISI Yogyakarta-red) itulah Sumardi memperkaya pengetahuannya baik secara teknik maupun teori mengenai seni lukis. Di saat yang sama guna mengasah kemampuan melukis Sumardi memilih bergabung di Sanggar Patung yang ada di kampusnya.
Sayang, diakui Sumardi, kuliahnya di ASRI masa itu harus terhenti pada semester II, lantaran kondisi ekonomi keluarganya di Jambi tidak lagi mampu membiayai kuliahnya.
Meski berhenti kuliah, sebagai seniman Sumardi tidak putus asa. Baginya kepulangan ke Jambi saat itu bukanlah akhir dari segalanya. Terbukti, di Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah ia tetap melukis dan mematung. Bahkan hingga kini Pak De Mardi telah mengikuti berbagai pameran lukisan hampir ke seluruh wilayah di Indonesia. Di samping itu, pada 1980 Sumardi resmi diangkat sebagai PNS di lingkungan Dinas Kebudayaan dan Pendidikan Kanwil Provinsi Jambi.
Jafar Rassuh, rekannya sesama perupa Jambi, dalam sebuah kesempatan bercerita kepada saya yakni pada periode 1980-1982, Sumardi dikenal menonjol dengan karya patung dan sketsa. Begitu juga perupa Jambi lainnya dalam periode yang sama, untuk menyebut contoh, seperti Fauzi Z dengan lukisan ilustrasi-impresif, Jafar Rassuh dan Suherman muncul dengan ekspresif, Sabri Jamal dengan gaya semi figur, Noor Saga, Tukiran, Sunaryo, dan Junaidi muncul dengan gaya dekoratif, Agus Hadi dengan karya patung dan lukisan realis, serta beberapa pelukis lainnya seperti Dadang, Nanang Hadi, Suhojo, Joko KR dan M. Pakpahan tampil dengan gaya yang berbeda pula.
Terhadap pandangan pelukis Jafar Rassug itu, Mardi mengaku tak terpaku pada satu aliran. Namun ia berkeyakinan bahwa sangat perlu seorang pelukis menguasai gaya realis terlebih dahulu sehingga mudah jika mau menggambar lainnya.
“Apa pengalaman menarik Anda selama menekuni seni rupa?
“Selain mematung, saya pernah melukis baliho untuk penyambutan tamu-tamu besar yang datang ke Jambi pada masanya seperti Baliho Presiden Soeharto beserta Istri dalam rangka Penghijauan Muara Jambi, Baliho kedatangan Hamzah Haz, Megawati, Tri Sutrisno, kedatangan Gubernur se-Sumatera untuk Rapat Kerja di Jambi, dan masih banyak lainnya. Saat itu semua pekerjaan dilakukan secara manual, lantaran belum ada dukungan alat-alat canggih seperti sekarang”, tutur pensiunan pegawai Taman Budaya Jambi ini.
“Bagaimana keberadaan lukisan Baliho di Jambi saat ini,” lanjut saya.
“Dari 1990 sampai 2000-an baliho masih menggunakan lukisan tangan. Ketika itu saya menerima banyak pesanan untuk melukis berbagai baliho. Tetapi hadirnya pelbagai jenis dan bentuk mesin cetak sekarang membuat para perupa seperti saya memilih fokus pada lukisan atau patung untuk keperluan pameran, seperti baru-baru ini keterlibatan karya patung saya pada pameran seni rupa yang bertajuk "Jejak Visual" di Tempoa Art Galeri, Kota Jambi.
“Puluhan tahun memilih jalur seni, apa keinginan Anda yang belum terwujudkan sampai sekarang?
“Impian saya yang belum terpenuhi hingga sekarang yakni muncul karya patung-patung modern yang menghiasi lokasi-lokasi strategis di wilayah Kota Jambi. Semoga ke depan bisa tercapai. Entah oleh siapa seniman ke depannya,” ungkapnya menutup percakapan antara kami.
*Tulisan ini terbit pertama kali di portal kajanglako.com pada 18 Februari 2018.
Pria beranak lima ini mengidolakan Affandi, pelukis besar di Yogyakarta dan maestro patung Edhi Sunarso yang bikin patung ‘Selamat Datang’ di Jakarta dan diorama sejarah di beberapa museum di tanah air," ungkapnya
Sejak bangku sekolah dasar Sumardi melukis secara otodidak menggunakan cat air. Ia lebih tertarik menggambar sebuah objek secara detail. Usai menamatkan sekolah dasar Sumardi melanjutkan sekolah di SMP Negeri 1 Kuala Tungkal. Karena ketekunan itu, untuk pertama kali, di tahun 1965 lukisan Sumardi berhasil dipamerkan di Gedung Nasional, Jakarta.
Pendidikan jenjang formal Sumardi berlanjut ke SMA N 2 Jambi pada 1968. Dalam masa itu, seni lukis terus ia geluti hingga 1972 menjatuhkan pilihan melanjutkan kuliah di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) di Yogyakarta jurusan Seni Lukis.
Di kampus yang sekarang bernama Institut Seni Indonesia (ISI Yogyakarta-red) itulah Sumardi memperkaya pengetahuannya baik secara teknik maupun teori mengenai seni lukis. Di saat yang sama guna mengasah kemampuan melukis Sumardi memilih bergabung di Sanggar Patung yang ada di kampusnya.
Sayang, diakui Sumardi, kuliahnya di ASRI masa itu harus terhenti pada semester II, lantaran kondisi ekonomi keluarganya di Jambi tidak lagi mampu membiayai kuliahnya.
Meski berhenti kuliah, sebagai seniman Sumardi tidak putus asa. Baginya kepulangan ke Jambi saat itu bukanlah akhir dari segalanya. Terbukti, di Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah ia tetap melukis dan mematung. Bahkan hingga kini Pak De Mardi telah mengikuti berbagai pameran lukisan hampir ke seluruh wilayah di Indonesia. Di samping itu, pada 1980 Sumardi resmi diangkat sebagai PNS di lingkungan Dinas Kebudayaan dan Pendidikan Kanwil Provinsi Jambi.
Jafar Rassuh, rekannya sesama perupa Jambi, dalam sebuah kesempatan bercerita kepada saya yakni pada periode 1980-1982, Sumardi dikenal menonjol dengan karya patung dan sketsa. Begitu juga perupa Jambi lainnya dalam periode yang sama, untuk menyebut contoh, seperti Fauzi Z dengan lukisan ilustrasi-impresif, Jafar Rassuh dan Suherman muncul dengan ekspresif, Sabri Jamal dengan gaya semi figur, Noor Saga, Tukiran, Sunaryo, dan Junaidi muncul dengan gaya dekoratif, Agus Hadi dengan karya patung dan lukisan realis, serta beberapa pelukis lainnya seperti Dadang, Nanang Hadi, Suhojo, Joko KR dan M. Pakpahan tampil dengan gaya yang berbeda pula.
Terhadap pandangan pelukis Jafar Rassug itu, Mardi mengaku tak terpaku pada satu aliran. Namun ia berkeyakinan bahwa sangat perlu seorang pelukis menguasai gaya realis terlebih dahulu sehingga mudah jika mau menggambar lainnya.
“Apa pengalaman menarik Anda selama menekuni seni rupa?
“Selain mematung, saya pernah melukis baliho untuk penyambutan tamu-tamu besar yang datang ke Jambi pada masanya seperti Baliho Presiden Soeharto beserta Istri dalam rangka Penghijauan Muara Jambi, Baliho kedatangan Hamzah Haz, Megawati, Tri Sutrisno, kedatangan Gubernur se-Sumatera untuk Rapat Kerja di Jambi, dan masih banyak lainnya. Saat itu semua pekerjaan dilakukan secara manual, lantaran belum ada dukungan alat-alat canggih seperti sekarang”, tutur pensiunan pegawai Taman Budaya Jambi ini.
“Bagaimana keberadaan lukisan Baliho di Jambi saat ini,” lanjut saya.
“Dari 1990 sampai 2000-an baliho masih menggunakan lukisan tangan. Ketika itu saya menerima banyak pesanan untuk melukis berbagai baliho. Tetapi hadirnya pelbagai jenis dan bentuk mesin cetak sekarang membuat para perupa seperti saya memilih fokus pada lukisan atau patung untuk keperluan pameran, seperti baru-baru ini keterlibatan karya patung saya pada pameran seni rupa yang bertajuk "Jejak Visual" di Tempoa Art Galeri, Kota Jambi.
“Puluhan tahun memilih jalur seni, apa keinginan Anda yang belum terwujudkan sampai sekarang?
“Impian saya yang belum terpenuhi hingga sekarang yakni muncul karya patung-patung modern yang menghiasi lokasi-lokasi strategis di wilayah Kota Jambi. Semoga ke depan bisa tercapai. Entah oleh siapa seniman ke depannya,” ungkapnya menutup percakapan antara kami.
*Tulisan ini terbit pertama kali di portal kajanglako.com pada 18 Februari 2018.
0 Komentar