Oleh:
Jumardi Putra*
Peristiwa
di penghujung April ini sejatinya mengulang kembali kejadian awal April
(6/4/19) yakni desain motif batik Bungo Sekat dan Incung Beruk miliknya
dijiplak oleh kompetitor sesama perajin batik dan dipasarkan secara bebas di
toko-toko batik. Zainul masygul.
Kekhawatiran
saya nyatanya terjadi. Berselang satu bulan setelah perjumpaan kami di rumahnya berlokasi di kampung Danau Sipin, Kelurahan Legok, Kecamatan
Danau Sipin, Kota Jambi.
Canting cap
batik bermotif Ikan Botia dan Ikan Ringo karya perajin batik senior Jambi,
Zainul Bahri, dijiplak dan diperjual-belikan oleh seseorang di Pekalongan tanpa
restu darinya. Sontak
kabar ini menjadi buah bibir di kalangan seniman dan penyuka batik tanah air,
setelah pria yang akrab disapa Datuk Zainul ini menyebarluaskannya di dinding
facebook (26/4/19) pribadinya berbunyi, "Mengapa kami pencipta seni harus
didholimi. Kami butuh dilindungi bukan dikhianati. Seluruh hidup kami berjihad
untuk seni dan budaya Nusantara. Apa yang kami perbuat di sisa hidup ini hanya
sebutir debu yang tidak berarti", disertai foto canting cap batik yang
dimaksud.
Umumnya
nitizen mensesalkan praktek plagisasi sekaligus menyarankan Datuk menempuh
jalur hukum dan segera mendaftarkan seluruh kaya motif batik miliknya ke Ditjen
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Depkumham daerah setempat.
Inikah kali
terakhir plagiasi terhadap motif karya pembatik yang senantiasa memakai lacak
di kepalanya ini? Barangkali mengenali sepak terjang Datuk Zainul Bahri di
jalan seni batik, salah satu cara kita menyibak tabir laju batik di Jambi
sekarang ini.
***
Zainul
Bahri bukanlah nama asing di kalangan perajin batik. Pria kelahiran 27 Mei 1960
ini mengakrabi batik Jambi dimulai sejak dirinya masih duduk di bangku Sekolah
Dasar mengikuti jejak sang nenek.
Namun sejak
1996 Datuk Zainul mulai merintis usaha sendiri dengan bendera Bahri Batik, dan
namanya terus moncer melalui karya-karya batik berbahan dasar alami, berupa kulit
kayu dan daun-daunan.
Meski tidak
lagi muda, bapak beranak dua ini masih aktif mengikuti pelbagai iven pameran
batik, seperti baru-baru ini INACRAFT 24-28 April 2019 dan Gelar Batik
Nusantara (GBN) 8-12 Mei 2019. Kedua kegiatan ini berlangsung di Jakarta
Convention Center (JCC). Hebatnya, di sela perhelatan INACRAFT, Datuk Zainul
Bahri, mewakili perajin batik Jambi, berkesempatan bertemu dan bercakap-cakap
langsung dengan orang nomor satu di Republik Indonesia, Presiden Joko Widodo,
di depan stand Dekranasda pemerintah Kota Jambi.
Di samping
usahanya melebarkan sayap bisnis bahri batik miliknya, Datuk juga aktif sebagai
pembina kelompok batik Sipin Jajaran dan menerima komunitas atau perorangan
untuk belajar batik, yang bertempat di Rumah Tenun, Binaan Disperindag Kota
Jambi, tak jauh dari tempat tinggalnya sehari-hari.
Berkat kesungguhan (kalau bukan cinta) pada batik Jambi membuat batik
replika motif kuno kaligrafi karya Zainul diabadikan oleh Nian S. Djoemena
dalam bukunya, “Ungkapan sehelai batik = Batik, its mystery and meaning”,
penerjemah, Margareta M. Alibasah (Djambatan, 1990), dan bahkan batik motif
Bungo Tanjung dan Eluk Paku karyanya pernah dipakai Presiden Megawati
Soekarnoputri saat memimpin Sidang Paripurna DPR/MPR RI.
Sederet desainer ternama tanah air, sebut saja seperti Itang Yunasz, Iwan Tirta,
Edwar Hutabarat, Ramli, Karmanita, turut mempopulerkan karya-karyanya. Begitu
juga bersama perajin batik Jambi, Susi Songket dan Cik Mia Songket, motif batik
Jambi karya Datuk Zainul dituangkan dalam kain songket dan penggalian warna
alam Jambi untuk pewarnaan batik Jambi, antara lain dari getah jernang, serbuk
Bulian, kayu surian, kulit jengkol, daun alpukat, sabut kelapa dan lain-lain.
“Capaian tersebut sebuah kehormatan bagi seorang perajin batik seperti saya,” tuturnya.
***
Masih segar
dalam ingatan saya, utamanya saat bersama Asikin Hasan, kurator seni rupa dan
Iskandar dari Direktorat Seni, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI,
berkunjung ke kediaman Zainul Bahri (20/3/19).
Posisi
rumah Datuk Zainal terbilang strategis karena menghadap ke jalan utama
sekaligus Danau Sipin yang membentang luas. Apatahlagi tiga tahun terakhir
ini, pemerintah provinsi bersama kota Jambi memusatkan perhatian pada Danau
Sipin yang digadang-gadang sebagai ikon wisata baru di Kota Jambi.
“Keseluruhan
motif batik yang saya buat mereprsentasikan identitas sejarah dan
keanekaragaman budaya di Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah. Bahkan tempat di mana
saya tinggal sekarang, Danau Sipin, menjadi salah satu motif unggulan yang saya
eksplorasi sampai sekarang,” imbuhnya penuh semangat.
Pada momen
ini muncul kekhawatiran saya bila ratusan desain motif batik miliknya tidak
segera didaftarkan sebagai hak cipta (HKI). Betapa tidak, silih berganti orang
menemui Datuk di rumahnya, atau di banyak tempat lainnya, lalu di saat
bersamaan Datuk memperlihatkan secara terbuka keseluruhan motif batik hasil
desainnya, sehingga terbuka kesempatan
terjadinya praktek-praktek tidak bertanggung jawab oleh seseorang/kelompok
untuk kepentingan di luar pembelajaran (baca: bisnis). Sebut saja, praktek
plagiasi motif batik bren miliknya yang berulangkali terjadi.
“Saya hanya
berharap perajin batik atau mereka yang menekuni bisnis batik berlaku jujur.
Tidak memakai (baca: menjual) motif batik karya orang lain, kecuali seizin
pemilik motif batik atau dengan kata lain terjalin kerjasama saling
menguntungkan,” ungkapnya.
“Adakah
upaya mendaftarkan hak cipta ke Ditjen HKI?”
“Sudah saya
daftarkan, tetapi prosesnya rumit dan jatah sertifikasinya tidak banyak. Bahkan
sampai sekarang baru tiga karya batik milik saya terdaftar HKI,” balasnya.
“Sudahkah
ditulis atau didigitalisasi keseluruhan desain motif batik milik Datuk?”
sambung saya.
“Belum,”
jawabnya.
***
“Selain
plagiasi, adakah hal lain yang menjadi kecemasan bagi perajin batik sekarang
ini?” tanya saya.
Menurut
kakek empat cucu ini, bagi para perajin yang kurang telaten dan sabar umumnya
beralih ke pewarnaan kimia, yang proses pewarnaannya lebih cepat dan bisa mengakibatkan penggunaan pewarna alami ditinggalkan oleh
perajin batik Jambi.
Di samping
itu, lanjutnya, harga batik tulis bervariasi dan terhitung mahal. Mulai dari Rp
700 ribu sampai Rp 1 juta per meternya. Situasi ini pula yang turut menyebabkan
banyak perajin batik pindah ke batik dengan pewarnaan sintesis.
“Bahan-bahan
baku masih banyak yang kita datangkan dari pulau Jawa. Andai semua ada di sini
(Jambi) sudah pasti harganya bisa lebih murah dan bersaing dengan batik lainnya. Di sinilah keberadaan
pemerintah menjadi niscaya,” tambahnya.
Keadaan
demikian itu diakuinya tidak mudah, selain kita terus berharap pemerintah
mencarikan solusi, dirinya secara pribadi terus melakukan penggalian kembali
penggunaan zat warna alam yang banyak tersedia, di samping pangsa pasar tekstil
di negara Eropa juga menghendaki batik dengan menggunakan pewarna alam.
Tidak terasa,
berkat keramahan serta keterbukaannya percakapan kami berjalan penuh
keakraban. Namun demikian raut lelah di wajah sang Datuk seolah mengabarkan
betapa menekuni batik mesti siap dengan suka-dukanya. “Tidak semua orang
menaruh apresiasi bagi kerja seni semacam ini,” celetuknya.
“Apa makna
batik Jambi bagi dinamika kebudayaan sekarang ini?,” tanya saya
“Melalui
batik Jambi sesungguhnya kita diajarkan hidup dalam keberagaman. Ada empat
unsur kebudayaan yang terkandung di dalam batik Jambi, yakni meliputi budaya
India (corak patola,) unsur Arab (corak kaligrafi), unsur China (motif bunga),
dan yang terakhir unsur Jawa (Solo dan Yogyakarta),” ungkap kakek yang
dihadiahi empat cucu ini.
Artinya?”
“Keempat
unsur yang terkandung di dalam batik Jambi menjelaskan kebudayaan Jambi tidak
bersifat tunggal. Telah terjadi silang budaya. Saling memperkaya. Bukan saling
meniadakan,” kilahnya.
“Apa
harapan Datuk untuk batik Jambi?,” sambung saya.
“Saya ingin
sekali memiliki sanggar latihan membatik pribadi. Saya sudah sediakan sepetak
tanah tepat di depan laman rumah saya. Proposal sudah saya susun. Sudah saya
usulkan ke pemerintah daerah maupun pihak swasta, tetapi hingga sekarang belum
dapat bantuan. Sempat hampir dapat bantuan dari Pertamina, tetapi gagal," tuturnya.
“Sampai
kapan Datuk membatik,” tanya saya sebelum undur diri.
“Selagi
hayat dikandung badan. Ada ataupun tidak ada bantuan bagi kerja-kerja
pemberdayaan saya pada seni batik Jambi (terutama motif klasik), saya akan
terus jalan. Karena di jalan inilah kebahagiaan (batin) saya dapatkan, dan saya
tular kembali pada mereka yang memilih hidup di jalan seni. Tidak mudah memang,” imbuhnya mengakhiri.
*Tulisan ini terbit pertama kali pada 29 Mei 2019 di rubrik Sosok portal kajanglako.com
0 Komentar