Oleh: Jumardi Putra*
Beberapa hari lalu saya menghadiri majelis sastra di sebuah
hotel ternama di Kota Jambi. Perhelatan tingkat regional itu ditaja Kantor
Bahasa Jambi dan diikuti seluruh delegasi Kantor/Balai Bahasa se-Svarnnadvipa
(untuk menyebut julukan pulau Sumatera).
Diakui oleh penyelenggara, pekan sastra kali ini
meruapkan rasa haru sekaligus menguras tenaga. Kabut asap yang
semakin pekat tidak menyurutkan niat masing-masing utusan Kantor/Balai Bahasa
se-Sumatera datang ke Tanah Pilih Pesako Betuah, Kota Jambi. Faktanya, tersebab
penerbangan lumpuh, hingga detik-detik pembukaan, sebagian dari utusan masih
dalam perjalanan melalui jalur darat menuju lokasi acara.
Laiaknya majelis sastra
(dalam pengertian kebudayaan), kabut asap hadir sebagai fakta imajis-metaforis.
Apa sebab? Memasuki “kabut asap”, tidak selalu berarti memasuki sebuah kawasan
hutan atau lahan gambut yang terbakar secara faktual. Orang bisa saja hanya masuk ke hutan atau pun lahan
terbakar, melihat secara kasatmata bagaimana si jago merah melahap begitu
cepat, tetapi ruang kabut asap itu tetap bertapal-batas baginya.
Itu berarti, memasuki ruang kabut asap adalah untuk sejenak
meninggalkan dunia di luarnya, lalu “meleburkan diri” sekaligus berkeakraban
dalam peristiwa yang dibingkai sebagai kebakaran hutan dan lahan, serta
membiarkan diri menjelma ke dalam apa yang dilihat. Hanya dengan cara itu, kita dibuat melihat sekaligus
mendengar jeritan atau pun kegetiran dalam tafsir yang tidak tunggal.
Dalam makna lain, “kabut asap” menampung atau sebaliknya
memberi ruang lebih luas berlangsungnya geliat pemikiran yang kritis, satiris,
multidimensi, reflektif sekaligus mencerahkan, terutama seputar mitos (untuk
menyebut perangkap) kemajuan yang terinstitusionalisasi dalam pembangunisme
dewasa ini.
Bedanya, di sini kemajuan tidak lagi ditilik dalam
pendekatan “ekonometrik” melainkan dalam perspektif yang katakanlah masuk
wilayah social and humanities, sebuah
kategori yang bisa kita jumpai dalam pemikiran-pemikiran berdimensi kebudayaan.
Sayangnya, tanpa bermaksud menafikan akibat yang ditimbulkan
kabut asap, sebagaimana hampir dua bulan ini menyelimuti Sumatera Selatan,
Jambi, Riau, dan beberapa daerah di provinsi Kalimantan Tengah, sedari awal
majelis sastra itu dibentang, asap melulu dipercakap-pantunkan ala pelanta-an
(untuk menyebut sekadar kulit luar), seperti ISPU, ISPA, petani gagal panen,
sekolah libur, penerbangan lumpuh, dan fakta lain menyertai El-Nino yang
panjang. Pendeknya, percakapan itu menjadi dangkal dikarenakan
hanya memandangnya secara parsial melalui ekonomi, kesehatan, politik, dan
khususnya, kerja birokrasi.
Muncul sebuah pertanyaan (kalau bukan
kegelisahan), masihkah kita terus tumbuh hanya dengan menggali banyak batu
bara, menanam ribuan hektar kelapa sawit, mengeruk tambang di kali-kali, dan
mengisap gas dan minyak.
Saat bersamaan, pencemaran lingkungan hidup
akibat eksploitasi sumber daya alam telah menjadi sumber bencana bagi kita saat
ini. Selanjutnya, hidup selaras dengan alam dalam kesederhanaan alam
dilabeli sebagai keudikan yang mesti ditinggalkan.
Lalu jalan mana yang dapat kita tempuh untuk kebaikan yang
berkemajuan di masa mendatang? Saya jadi teringat penggalan puisi Ook Nugroho
(2009), Kami akan pergi/Kembali pada sungai/Sebab mereka paham/Arah ke muara.
Maka, mengacu pada kata “muara”, di situlah kebudayaan (gugusan
ide/norma/nilai-nilai, etika, dan estetika) yang menjadi basis bagi kerja-kerja
penyelenggaraan substansi demokrasi dalam berkeseharian, bernegara dan
berbangsa, yakni-pinjam ungkapan Radhar Panca Dahana-sebagai proses pengabdian
dan pengadaban negeri.
Kapan usaha itu membuahkan hasil? Tak ada peradaban yang
dibangun dalam satu malam. Tak ada perjuangan menuju kemandirian bangsa yang
dipersingkat oleh sebuah rezim. Tak ada yang instan. Semua mesti direncanakan
dan diagendakan. Atau dalam ungkapan filsuf-cum-novelis Prancis, Albert Camus,
“kehidupan adalah hasil penjumlahan dari semua yang kita pilih”.
Mengutip pemikiran profesor Mudji Sutrisno (2009), “kita
perlu menyusun strategi kebudayaan yang di dalamnya memuat visi perubahan dan
arah perkembangan budaya yang mau dirancang, dipetakan, dan dibuat
langkah-langkah pencapaian ke depan agar proses budaya [berlangsung] dengan
saling menghormati antarmanusia dalam perbedaan dan keragaman
kearifan-kearifannya menuju transformasi budaya yang beradab”.
Sejurus hal itu, meminjam strategi kebudayaan ala pemikiran Van Peursen
(1988), kebudayaan tak perlu lagi terkungkung pada definisi dan aktivitas
teoretis, yang kita tahu telah beranak-pinak (untuk menyebut banyak). Artinya,
pertanyaannya sekarang bukan lagi apakah pengertian kebudayaan itu, tetapi apa
yang dapat kita perbuat dengan kebudayaan (sebagai kata kerja), dan hal itu
berarti kita secara aktif, baik sebagai indvidu maupun kolektif, entah bersifat
regulatif atau sistemik, bila didasarkan pada basis “norma/nilai-nilai, etika,
dan estetika, diharapkan dapat mencari jalan baru untuk mencapai ruang-ruang
aktualisasi yang berkeadaban.
Alih-alih mendorong kerja-kerja strategis-kongkrit untuk kebudayaan, paradigma ekonomi-isme dewasa ini turut memperparah
semua kecendrungan yang ada dalam masyarakat modern kita. Manusia sebagai
homo-humanus telah diredusir, sudah dilokalisir di wilayah satu dengan wilayah
lainnya oleh kuasa dominan homo-economicus.
Imbasnya, manusia hanyut dalam arus deras fenomena yang
disebut sosiolog Frank Furedi sebagai ‘the cult of philistinism’, pemujaan
terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap daya tarik
material dan praktis, ketimbang memberi perhatian serius terhadap
interes-interes yang bernilai (kedalaman). Dengan kata lain, pragmatisme seakan
menjadi fitrah baru dalam kemanusiaan kita, menjadi adab baru yang tak
terelakkan.
Dalam beberapa kasus, situasi kejiwaan itu
mengingatkan kita pada sajak almarhum Subagio Sastrowardoyo yang berjudul Sodom
dan Gomorrha (Shimponi, 1957), berbunyi, “Tuhan/tertimbun/di balik surat
pajak/berita politik/pembagian untung/dan keluh tangga kurang air.” Ungkapan
metaforis itu, jika dikonversi ke dalam bahasa sehari-hari berubah menjadi,
“Tuhan telah dilupakan manusia karena kesibukan-kesibukan duniawi.”
Keadaan semacam itu, menurut penggembala batin kehidupan,
Cak Nun (2006), yang kita butuh sekarang adalah pemotret budaya dalam
pengertian komprehensif. Yakni pada diri seseorang diperlukan peran
intelektual, estetikus, dan spiritual. Demikian juga kaum etikus, atau
agamawan. Pendek kata, kros dialektika antara satu sama lain akan menghasilkan
jepretan (untuk menyebut ijtihad pemikiran) yang komprehensif-holistik.
Akan tiba satu waktu di mana
kita harus menjawab, akhirnya, sebelum alam hancur lebur, sebagaimana terpapar
di seantero imajinasi, kita telah cukup mengukur hidup dengan ekonomi-isme yang
ditandai-merujuk Barthes-kegilaan pada ‘mitos’ kemajuan (baca: kemewahan)
yang, sejatinya bak gelembung sabun yang indah, tapi tak berisi (untuk menyebut
palsu dan ilusif).
Apatahlagi, mencermati isi televisi, koran,
majalah-majalah desain dan gaya hidup dewasa ini, akan membuat kita mengerti, betapa
tunggang-langgangnya ekonomi-isme yang kita jalani sehari-hari dari masalah
sebagian besar masyarakat kita, seperti banjir, tanah longsor, kerusakan hutan,
polusi udara, kelangkaan air bersih, kekeringan, dan kepunahan jenis flora dan
fauna.
Akhirnya, kabut asap saat ini memberi ruang bagi kita semua untuk merenungi sungguh-sungguh, yakni lebih dulu ekonomi
cukup sebelum hidup (kebudayaan) cukup nyatanya telah menjebak kita dalam kemajuan semu, karena realitas hidup berbudaya kita yang cukup
panjang mengajarkan bahwa kebahagian–juga sebagai akhir dari
laku ekonomi, di antaranya-tidaklah semata karena uang dan harta yang berlimpah.
*Tulisan ini
terbit pertama kali di Jambi Independent pada 4 Oktober 2015.
0 Komentar