Pergelaran Malam Keagungan Melayu Jambi 2014. Dok. DK-Jambi |
Oleh: Jumardi Putra*
Malam Keagungan Melayu Jambi (selanjutnya disingkat MKMJ),
meminjam istilah budayawan Yusmar Yusuf (Parade Tari, dalam bukunya Melayu Juwita: Renjis
Riau Sebingkai Perisa, 2006), merupakan gerakan simbolik. Dia dibuat di dalam
gedung tertutup, tapi dia bagian dari peristiwa terbuka. Dia dibuat dengan
hajat eksklusif, tapi menjadi bagian dari inklusivisme. Dia dilakukan malam
hari, tapi ia menusuk ke ubun malam, bahkan ia diracik berkali-kali, bahkan
berbulan-bulan melintasi siang hari. Dia disebut seni tradisi, tetapi ia hidup
dalam ruang dan waktu yang bergerak dari generasi ke generasi. Dan begitu
seterusnya kiasan terhadap peristsiwa kebudayaan tahunan itu, yang
diselenggarakan bertepatan pada perayaan hari jadi Bumi Pucuk Jambi Sembilan
Lurah (Provinsi Jambi) saban 6 Januari.
Agar tidak jatuh (kalau bukan terbuai) pada hal-hal
teknis/instrumentalis (yang seringkali memudarkan substansi pemanggungan seni
Melayu itu sendiri), persoalan fundamental di seputar MKMJ adalah sikap abai
kita (kalau bukan pura-pura lupa) terhadap gagasan awal dan
dinamikanya hingga kini (untuk menyebut MKM 2012 sampai 2015).
MKMJ diprakarsai Dewan Kesenian Jambi (DK-Jambi)
periode 2011-2014, sebagai bagian dari apa yang kelak disebut “Menuju Industri
Budaya”. Pro-kontra di seputar gagasan itu lumrahnya adanya. Industri,
sebagaimana termaktub dalam orasi budaya Ketua Dewan Kesenian Jambi (DK-Jambi),
Aswan Zahari, Januari 2013, bukan sesuatu yang jelek. Industri bertujuan
menjamin agar seni dan budaya mampu berbuat dengan dirinya sendiri.
Dalam bahasa sekarang mampu otonom. Otonomi dalam bidang
seni dan budaya harus ada agar seni dan budaya bebas dari banyak kepentingan
yang melingkupinya. Tentu saja industri juga kepentingan, tetapi kepentingan
untuk seni dan budaya itu sendiri, bukan untuk yang lain.
Sehingga apa hal itu menjadi urgen? MKMJ adalah hilirisasi
seni tradisi Melayu Jambi. Karena di hulunya sebagai bagian dari pelacakan
anatomi kesenian tradional telah dilakukan revitalisasi tahap I oleh DK-Jambi.
Keadaan ini mengingatkan kita, untuk menyebut contoh, pada hasil
penelitian Tom Ibnur pada tahun 1995 hingga 1998 tentang kondisi tari
tradisional Jambi, yang menunjukkan hampir 40 % tarian tradisional Jambi punah.
20% selebihnya dalam kondisi kritis atau nyaris punah, 20% lagi mulai terlihat
gejala sakit dan 20% sisanya masih eksis dan bertahan (Antara/11/12).
Singkatnya, tidak saja pada cabang seni tari yang mulai punah, tetapi hampir di
semua cabang seni tradisi lainnya, seperti sastra, musik, dan teater.
Secara teoritis, revitalisasi yang perlu dilakukan itu bukan dalam pengertian sempit, yaitu menghidupkan kembali budaya Jambi dalam
keadaannya seperti pada masa lalu. Tetapi, pada bagian-bagian tertentu
revitalisasi mesti dilakukan dengan pembaharuan (modifikasi) sehingga relevan
dengan konteks waktu, tempat, dan semangat zaman (zeitgeist).
Dalam usaha itu, merujuk pendapat budayawan Yudistira AN.
Massardi (Kompas, 2009), “Kepada seni budaya yang masih hidup, berikan energi
baru (berdayakan, lahirkan kembali, pertahankan orisinalitasnya sambil ciptakan
varian baru dengan warna dan kemasan baru). Untuk yang sudah punah dan
terkubur, lakukan penelitian dan penggalian, petakan anatominya, tuliskan
sejarahnya, lantas ciptakan replikanya, agar bisa menjadi sumber inspirasi bagi
generasi baru.
Melalui revitalisasi itu pula diusahakan hasilnya
memberi nilai tambah secara ekonomis bagi pemilik kebu dayaan itu sendiri.
Dengan kata lain, melalui revitalisasi, kondisi seni-budaya Jambi yang
diibaratkan “kain kusut di gantungan” dapat diurai dan ditata rapi sehingga
terlihat indah dan menginspirasi. Lebih lanjut baca dokumen hasil revitalisasi
Tahap I “Krinok” dan Orasi Budaya Ketua DK-Jambi periode 2011-2014 bertajuk
Keagungan Melayu Jambi Menuju Industri Budaya, 7 Januari 2013 serta rekomendasi
Musyawarah Dewan Kesenian Jambi tahun 2011.
Buah dari revitaliasi (tahap I) itu dapat dilihat hasilnya
melalui MKMJ 2012 (dilaksanakan awal tahun 2013) dan 2013 (awal tahun 2014),
dimana aroma seni tradisi begitu menonjol. Krinok adalah menu utama, dengan
harmonisasi bersama cabang dan bentuk seni lainnya, seperti tari, sastra,
musik, dan racikan audio visual yang senafas dengan tema. Pendeknya, ia hadir
bukan sebagai barang antik kehidupan modern, tetapi sebagai cermin proses
sejarah, sehingga membantu masyarakat saat ini menemukan kembali kesadarannya.
Namun begitu, tentu pergelaran MKMJ 2013 dan 2014 perlu dievaluasi agar
menghasilkan pergelaran yang baik dan tetap terpandang di masa mendatang. Lebih
lanjut, untuk mengetahui seisi tubuh pemanggungan MKMJ 2012 dan 2013, dapat
merujuk buku kecil bertajuk Uiquely of Swarnabhumi 2013 dan Spritualitas
Swarnamelayu, 2014.
MKMJ 2014
Memungkasi kepengurusan DK-Jambi periode 2011-2014, sembari
menunggu terbentuknya kepengurusan DK-Jambi yang baru (setahun kevakuman), MKMJ
2014 (awal tahun 2015) dikomandoi oleh Taman Budaya Jambi (TBJ). Sampai di
situ kita mulai kehilangan tempat sekaligus momentum untuk bertaut
dan bergelayut di dahan-dahan pohon kesenian (untuk menyebut kegelisahan
estetis). Kenapa?
Konsepsi hulu-hilir pada MKMJ 2014, sebagaimana nawaitu
DK-Jambi, yang tercermin pada MKMJ 2013 dan 2014, gagal menunjukkan bentuknya.
Ia hadir bak pementasan seni pada umumnya, seperti Festival Batanghari atau
Pertunjukan seni di TMII. Jatuh sebagai
romantisme dan klise.
Saya menerka, persoalan itu difaktori oleh ketidakhadiran
kita (seniman) untuk membincangkan secara serius seputar MKMJ 2014, mulai dari
hal-hal mendasar, seperti dari tema/gagasan, sampai pada hal-hal teknis serta
dunia industri yang digadang-gadang menjadi hilirnya. Yang tampak dan
mengemuka, masing-masing kita, terutama praktisi seni, disibukkan soal biaya penyelenggaraan, kemitraan dan pembagian kerja (siapa dan apa).
Tak heran, bila praktisi seni, kehilangan ruang kontemplasi dan dimensi
reflektifnya.
Apa sebab? Semua berpacu (mungkin lebih tepat dipacu) oleh
sang penyelenggara (SKPD Disbudpar-melalui UPTD TBJ) dalam waktu dan ruang yang
serba reaktif-reduktif. Tak heran, bila kita diperlihatkan ketidaksiapan, terutama
soal gagasan tema yang menyertai MKMJ 2014 itu sendiri, yang sempat
berubah-ubah. Ada inkosistensi di di tahap itu (kalau bukan kegalauan).
MKMJ 2015
Meski dalam intensitas yang rendah, MKMJ 2015 (dilaksanakan
awal tahun 2016), mulai dipercakapkan kembali di jejaring sosial, facebook.
Katanya, MKMJ akan diselenggarakan oleh Taman Budaya Jambi (hanya karena
anggaran DK-Jambi dititipkan ke TBJ dengan mata anggaran menjalankan fungsi
Taman Budaya Jambi). Sementara DK-Jambi, meski telah terbentuk dengan
kepengurusan baru (2015), di bawah kepemimpinan Fahmi Sabki, kembali disibukkan dengan urusan dan pertanyaan teknis, seperti kepastian sebagai
penyelenggara atau sekedar panitia, yang pada gilirannya memperlihatkan gagasan
atau pokok pemikiran yang melandasi MKMJ kali keempat ini terpinggirkan.
Terlepas soal siapa yang menjadi penyelenggara, paling
tidak, wilayah konsepsi, dengan tetap merujuk nawaitu awal dibuatnya MKMJoleh
DK-Jambi perlu dipercakapkan kembali dalam forum yang memadai (diskusi) dengan
mengundang stakeholder terkait. Tidak di facebook!
Kemudian, polemik munculnya status (baca: statemen) Firdaus
al-Khatami, selaku Sekretaris Umum DK-Jambi, tertanggal 10 September 2015,
pukul 18,58, berbunyi, “Malam Keagungan Melayu Jambi merupakan suatu agenda
kesenian yang dicetus oleh Dewan Kesenian Jambi untuk menempatkan kesenian
tradisional Jambi pada posisi yang bermartabat. Oleh karena itu, semestinya
pelaksanaan MKMJ itu dikembalikan kepada Dewan Kesenian Jambi yang sebetulnya
menguasai konsep awal agenda ini,” menjadi relevan untuk diketengahkan.
Saya memandang, sebagaimana dikatakan Yudhistira di atas,
revitalisasi seni tradisi merupakan pekerjaan besar yang tidak bisa selesai dan
dipersingkat oleh satu kepengurusan DKJ-Jambi periode 2011-2014. Tetapi
berlanjut dan berkesinambungan pada pengurus berikutnya. Dan betul, MUBES 2015
kembali merekomendasikan revitalisasi seni tradisi, dengan melihat skala
perioritas cabang seni dalam rentang waktu lima tahun ke depan. Dan tidak bisa
tidak, MKMJ merupakan satu bagian dari bagian lainnya yang menandai keberadaan
DK-Jambi secara organisasional.
Di samping itu, terhadap hal-hal teknis (bahkan
sentimentil), yang Sekum DK-Jambi itu sampaikan seputar MKMJ 2015 di jejaring
sosial (facebook), anggaplah, di satu sisi, pertanda kelalaian kita untuk
memisahkan secara tegas antara pemikiran yang perlu diperdalam dengan
statemen-statemen yang tidak perlu diterus-seriuskan.
Melalui jalan kesenian, sebagaimana telah
dicontohkan mendiang alm.Rendra, tugas kita, seniman, (juga DK-Jambi) adalah
mendewasakan simbol-simbol kebudayaan (juga MKMJ), yang tertuang dalam berbagai
agenda seni budaya dari berbagai kalangan masyarakat di Bumi Pucuk Jambi
Semblan Lurah.
Di situlah, DK-Jambi bertitimangsa. Sebagai lembaga kesenian
yang dicirikan berpikir-bertindak dalam bilik konsepsional. Tidak bergerak
sporadis dan parsial. Dengan begitu, DK-Jambi dalam makna literal-referensial,
meminjam istilah Yusmar Yusuf, tidak direnggut oleh kehilangan secara perlahan
dan sistematis selari umur kalender, sejulur tahun kabisat, dan sependek satuan
minggu, bulan, dan tahun, sebagaimana terjadi pada DK-Jambi sebelum-sebelumnya.
Semoga.
*Catatan ini merupakan pendapat pribadi (18 September 2015).
0 Komentar