Oleh: Jumardi Putra*
Kali pertama saya bersua Trisila dua tahun lalu di Kota
Denpasar, Bali, tepatnya tanggal 11 Juli 2018. Meski pria lulusan Universitas
Udayana ini lebih dahulu berkunjung ke Kota Jambi, bagian dari program
pengumpulan kepustakaan lokal di beberapa daerah di tanah air yang ia lakukan
bersama KITLV-Jakarta. Sayang, karena suatu hal, kami gagal jumpa saat itu.
23 April diperingati sebagai hari buku sedunia (world book
day). Hari besar bagi para pejuang literasi dan sesiapa saja yang mencintai
dunia buku. Tetiba saya teringat seorang laki-laki bersahaja, intelektual yang
memilih bertungkus lumus di dunia penerbitan buku. Namanya Slamat Trisila.
Ayah
dari Karang Jimbaran Setya Trisila ini bisa disejajarkan dengan intelektual
sejarah seperti J.J. Rizal (Komunitas bambu), Bonie Triyana (Historia), dan
Muhammad Nursam (Ombak). Ketiganya sama-sama banting setir ke dunia penerbitan
buku. Hanya Bonny Triyana, setelah tak lagi menerbitkan Historia versi majalah
(2017), kini ia serius menahkodai portal sejarah populer tanah air beralamatkan
historia.id.
Perjumpaan saya dengan Slamat Trisila menambah daftar
sahabat di Bali yang telah lebih dahulu saya kenal dan saya baca karya tulisnya, sebut saja seperti Warih Wisatsana, Wayan Jengki Sunarta, Ni Made
Purnama Sari, Frischa Aswarini, dan Dhenok Kristianti. Bagaimana dengan Umbu
Landung Paranggi? Saya pikir tidak ada sastrawan, lebih-lebih penyair di tanah
air yang tidak mengenal sosok karismatik satu ini, tetapi sayang beberapa kali
ingin menemui beliau, terutama saat saya berkunjung ke Bali, berujung gagal.
Syukurlah, nama-nama tersebut tak asing bagi Trisila, meski diakui jarang
berjumpa.
Setiba di Bali, usai merampungkan tugas masing-masing, kami
bersepakat bertemu. Saya pun diajak singgah di rumahnya yang sekaligus
berfungsi sebagai kantor penerbitan. Jujur, penerbitan yang ia kelola belum
banyak saya ketahui ketimbang Ombak, Komunitas Bambu, Yayasan Obor Indonesia,
untuk menyebut beberapa contoh penerbit yang juga menitikberatkan pada konten
sejarah dan budaya. Mungkin karena keberadaannya di Bali, sehingga tidak
setenar penerbit-penerbit yang bermarkas di Yogyakarta, Bandung dan Jakarta.
Sesampai di rumahnya, di jalan Tunggal Ametung III A,
Denpasar, saya dibuat berdecak kagum. Baru melewati pagar utama rumahnya saya
langsung berhadapan dengan tumpukan buku. Dari lantai hingga mencapai atap
garasi. Pemandangan serupa saya temukan setelah memasuki ruang tengah
rumah. Penuh buku. Hanya tersisa dua
kamar tidur dan dapur. Saya bisa membayangkan hari-harinya bergelut dengan
buku. Memang, ketika saya berkunjung istri dan anaknya sedang berada di
Yogyakarta. Di rumah inilah, dengan disaksikan buku-buku yang ia kelola dengan
jerih payah, rekam jejak penerbit yang diberi nama Pustaka Larasan ini ia
ceritakan kepada saya.
Sependek penelusuran saya, karena bermukim di Bali,
kepustakaan sejarah dan budaya Bali terbitan Pustaka Larasan tergolong lebih
beragam. Namun bukan berarti buku-buku yang mengangkat sejarah dan budaya dari
daerah-daerah lain di tanah air tidak ada. Tersedia beberapa judul dan bahkan
menunjukkan tren meningkat.
“Saya terus membangun komunikasi dengan kawan-kawan di
berbagai daerah di Indonesia. Jika mutu tulisannya bagus akan kami terbitkan
secara mandiri. Selain itu kami juga melakukan kerjasama penerbitan buku dengan
kalangan perguruan tinggi maupun pusat studi. Alhamdulillah hingga sekarang terus
berlanjut,” kilahnya.
Uniknya, di saat penerbit-penerbit lain dikelola dengan
melibatkan banyak karyawan dan didukung seperangkat manajemen modern,
apatahlagi memanfaatkan masifnya media online sekarang ini, Trisila masih
mengelola penerbit Larasan dengan cara jadul. Selain editor, ia juga merangkap
sebagai layouter, bahkan mengurusi langsung teknis percetakan. Ia menyadari
kerja-kerja demikian sangat melelahkan,
dan menyebabkan tidak tercapainya jumlah terbitan buku yang ditargetkan
saban bulan. Namun diakuinya bukan semata-mata target nomina yang dikejar.
Sekali lagi, dengan yakin-seyakinnya, bahwa cara yang ia pilih, dengan berhasil
menekan ongkos produksi dan biaya operasional, Trisila mampu menghadirkan
buku-buku bermutu (termasuk karya terjemahan) dengan biaya terjangkau.
Saya berulang kali mengorek (kalau bukan meragukan)
pilihannya mengelola penerbit dengan cara demikian itu, terutama di saat
perubahan besar-besaran terjadi dalam industri buku karena keberadaan media
online, menjamurnya penerbit-penerbit baru, sistem cetak menggunakan print on
demand (POD), serta dinamika pasar buku yang labil. Tetap saja Trisila tak
merubah pendirian. Sejauh ini dirinya berjalan sebagaimana sekarang dengan
segala kelebihan dan kekurangan.
“Tujuan saya ingin menghadirkan buku-buku bermutu dengan
harga terjangkau, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah. Namun, bukan
berarti saya menafikan dinamika industri buku sekarang ini. Saya akan terus
memutar otak agar penerbit Larasan dapat bertahan dan terus berkembang tanpa
menanggalkan idealisme,” tegasnya.
“Dengan cara apa,” sambung saya
“Selain di Denpasar, saya berencana membuka kantor cabang di
Yogyakarta. Kita tahu Yogyakarta masih menjadi magnet bagi banyak pembaca. Di
samping itu, selain terlibat aktif dalam kegiatan bazar buku, kami juga akan
menggalakkan penjualan secara online karena memang pembaca sekarang praktis
terhubung dengan media online, seperti facebook, twitter, instagram dan
aplikasi perpesanan seperti whatsapp,” lanjutnya.
Kunjungan ke rumah Trisila ini segera saya kabarkan ke Mas
Didi Kwartanada, peneliti Tionghoa, yang beberapa hari sebelumnya saya jumpai
ketika kami seforum dalam diskusi Big Data Kebudayaan pada Pra Kongres
Kebudayaan Indonesia di The Sultan Hotel, Jakarta (2018).
“Saya salut dengan mas Slamat. Harga buku-buku terbitan
Pustaka Larasan sangat bersahabat. Beda dengan penerbit lain. Mas Slamat
orangnya idealis. Masak hari gini masih bikin buku-buku bagus dengan harga
terjangkau,“ balas Mas Didi dengan nada gurau via WhatsApp.
Segera ungkapan Mas Didi Kwartanada mengingatkan saya pada
prinsip penerbit Inggris, walter Hines Page, “Bikin buku adalah kerja seni.
Jual buku adalah profesi terhormat. Pilih buku yang baik untuk dicetak adalah
tugas intelektual.”
Memang, sependek penelusuran saya, bila dibandingkan dengan
harga buku-buku sejarah dan budaya terbitan lainnya, harga Pustaka Larasan
tergolong murah. Padahal, buku-bukunya tergolong tebal serta didesain apik.
Kepada Trisila saya utarakan, ambil misal, tidak sedikit
buku-buku terjemahan bermutu baik dijual dengan harga tinggi, padahal biaya
produksi sebagian besar ditanggung oleh lembaga/pihak yang diajak kerjasama
oleh penerbit buku tersebut. Sungguh keadaan ini tidak ramah bagi pembaca yang
mengalami kesulitan ekonomi,” imbuh saya.
“Nah, idealnya buku-buku terbitan dengan pola kerjasama
tersebut dapat dijual dengan harga murah, karena penerbit tidak menanggung
biaya produksi. Itulah yang menjadi prinsip Pustaka Larasan sampai sekarang,”
celetuknya.
Seturut hal itu, diakui Slamat, harga buku menjadi mahal
juga disebabkan pelaku industri perbukuan diberatkan dengan berbagai pajak,
mulai dari pajak kertas, pajak penjualan buku, dan pajak penghasilan. Padahal,
lanjutnya, keuntungan penerbit tak lebih dari 20%, sedangkan royalti yang
diterima penulis hanya 10%. Presentasi keuntungan lebih besar justru diterima
oleh pihak distributor dan toko buku, sekitar35-50%.
“Jika pemerintah ingin daya beli sekaligus minat baca
masyarakat terhadap buku meningkat, pajak berlapis terhadap industri buku mesti
dihapus. Selain itu, pemerintah juga bisa mengalokasikan anggaran lebih besar
untuk pengadaan buku. Buku-buku bermutu, ambil misal tentang sejarah dan
budaya, dibeli oleh pemerintah untuk didistribusikan ke
perpustakaan-perpustakaan sekolah, Desa dan Kabupaten/Kota,” tuturnya.
Saya dapat menyebutkan beberapa buku-buku bagus terbitan
Larasan, antara lain, Peradaban Pesisir, Menuju Sejarah Budaya di Asia Tenggara
karya Adrian Vickers (2013); Bali Benteng Terbuka 1995-2005, Otonomi Daerah,
Demokrasi Elektoral dan Identitas Defensif karya Henck Schulte Nordholt (karya
terjemahan. Kerjasama dengan KITLV-Jakarta); Melayu Klasik, Khazanah Sastra
Indonesia Lama karya Shaleh Saidi; Memetakan Masa Lalu Aceh karya Michel
Feener, dkk (karya terjemahan); Ahli Waris Budaya Dunia Menjadi Indonesia,
1950-1965 dengan editor Jennifer Lindsay dan Maya Liem (kerjsaama dengan
KITLV-Jakarta); Aceh Setelah Tsunami dan Konflik dengan editor Patrick Daly, Antony
Reid, dkk; Kekerasan Anti-Tinghoa di Indonesia: 1996-1999 karya Jemma Purdey
(2013); Negara Teater di Bali Abad XIX karya Clifford Gertz (2013); Kritik
Terhadap Pemikiran Pascakolonial karya Gayatri C. Spivak (2013); Perspektif
Baru Penulisan Sejarah Indonesia karya Bambang Purwanto, dkk (kerjsama dengan
Yayasan Obor dan KITLV-Jakarta); Cina Pesisir, Jaringan Bisnis Orang-orang Cina
di Pesisir Pantai Utara Jawa Abad XVIII karya Retno Winarni; Pramoedya
Postcolonially (Re)viewing History, Gender, & Indentity in the Buru
Tetralogy karya Razif Bahari; dan The Spell of Power: Sejarah Politik Bali
1650-1940 karya Henk Schulte Nordholt.
Demikian penggalan obrolan dan pertemuan antara saya dan
Trisila. Tiga bulan usai perjumpaan di Bali, kami kembali bersua di acara
Borobudur Writers and Cultural Festival di Yogyakarta dan berlanjut di Kawasan
Situs Cagar Budaya Dunia, Borobudur, di Magelang, Jawa Tengah. Tak ada
perubahan dari dirinya. Pembawaannya selalu tenang. Selain tentang buku,
Trisila bercerita kegiatanya tetap menulis, riset, mengisi seminar atau
konferensi, meski di saat bersamaan harus mengurusi penerbit Larasan miliknya.
Kini, dua tahun setelah perjumpaan kami, korona melanda
banyak negara, tak terkecuali Indonesia. Ancaman resesi di hadapan mata. Tak
ada satu pun negara yang kebal dari pandemi ini. Ekonomi dunia mengalami
perlambatan. Industri berhenti beroperasi. Jutaan pekerja dirumahkan. Banyak
UMKM gulung tikar. Dan, faktanya, penerbit buku juga ikut merasakan imbas
Covid-19. Pembelian menurun. Pendapatan nyungsep. Semoga Pustaka Larasan, juga
penerbit-penerbit lainnya di tanah air, dapat bertahan dan bangkit (lagi).
*Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 23 April 2020 di rubrik Sosok portal kajanglako.com
0 Komentar