Sutan Sjahrir: Hidup yang Tak Dipertaruhkan, Tak Akan Pernah Dimenangkan

Sutan Sjahrir (1909-1966)
Oleh: Jumardi Putra*

Di tengah situasi represi politik, seiring pergerakan para aktivis kemerdekaan yang semakin terkonsolidasi sekaligus memiliki basis massa yang terus bertambah dan meluas ke banyak daerah, Sjahrir, Hatta dan beberapa aktivis PNI-Pendidikan diciduk Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge di penghujung Februari 1934.  Hatta ditahan di penjara Glodok di Batavia, sementara Sjahrir dijeblosin di Penjara Cipinang, di daerah Meester Cornelis, Batavia.

Tak berhenti di situ, usai Soekarno diasingkan terlebih dahulu ke Ende, Flores, pada tahun 1933, giliran 9 Desember 1935 Sjahrir dan Hatta dibuang ke Tanah Merah, Boven Digoel, di wilayah paling pelosok dari Pulau Papua, dan berlanjut setahun setelahnya di Banda-Neira, sebuah kepulauan di Maluku, selama enam tahun (1936-1942). Selain mereka berdua, aktivis seperti Iwa Kusumasumantri dan dokter Tjipto Mangunkusumo terlebih dahulu dikirim ke Banda-Neira.

Sebelum berlanjut, perlu saya sampaikan, tulisan berikut ini tidak hendak mengupas riwayat pengasingan tokoh perintis kemerdekaan, sebagaimana dialami Soekarno, Hatta dan tokoh lainnya, melainkan ingin melihat Sjahrir sebagai pribadi, tokoh pergerakan, politikus dan negarawan, yang aneh tapi nyata, di tengah kesibukannya masih memberi perhatian pada ilmu pengetahuan.

***

Berbeda ketika di Banda Neira, karena diselingi kegiatan mengajar, berlayar di atas taman laut, dan bermain bersama anak-anak, utamanya cucu Baadilla, yang diangkatnya menjadi anak, di Tanah Merah, Boven-Digul, Sjahrir lebih banyak diam dan menyendiri.  Begitu kenang Hatta dalam tulisannya, Mengenang Sjahrir.

Amuk sepi dan kegelisahan Sjahrir tergambar dari selarik kalimat dalam suratnya kepada Maria Johanna Duchateau, istrinya yang berdarah Belanda, yang dikirimnya dari Tanah Merah, 30 Mei 1935: “Kehidupanku di antara orang buangan keadaannya jauh lebih berat daripada di dalam sel isolasi di penjara.”  Kali lain Sjahrir menulis, “Suratmu, begitu sangat berarti buatku, aku harap kamu mampu menulisnya secara teratur kepadaku, supaya aku bisa menerima sesuatu setiap kali kapal (Albatros) datang berlabuh, dan itu artinya setiap sekali dalam tiga minggu sekarang".

Memang, surat-surat Sjahrir kepada Maria tak melulu berisi keluh-kesah pribadi, tetapi juga kerisauannya tentang negara, masyarakat dan gerakan perjuangan yang ditempuh saat dirinya diasingkan Belanda. Tak syak, Maria selain pengobat rindu dan kesepian Sjahrir selama dalam pengasingan, juga teman bertukar pikiran yang sepadan.

Temuan surat-surat antara Sjahrir dan Maria, tak lepas dari sebuah “kebetulan” Kees Snoek, Guru Besar Sastra dan Peradaban Balanda di universitas Sorbone, Prancis, yang sedang menulis biografi penyair Belanda Carles Edgar Du Perron. Tak disangka, sang penyair berkawan baik dengan Sjahrir dan Maria.  Tahun 1993 Kees Snoek mulai berkirim surat ke Maria hingga bertemu langsung dengan istri pertama Sjahrir  itu di Belanda setahun setelahnya. Dalam pertemuan itulah Maria menunjukkan isi surat-surat Sjahrir.

Kees Snoek yang juga menulis buku berjudul “Saya Ingin Melihat Semua Ini Berakhir (Esei dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer) ”, Komunitas Bambu, 2008, mengatakan surat yang ditulis Sjahrir dalam rentang waktu 1931-1940 berjumlah 287 buah dengan panjang variasai 4-7 halaman dan terdiri dari 952 lembar. Keseluruhan surat-surat itu ditulis di Eropa, selanjutnya dari berbagai tempat di Indonesia, misalnya Semarang, Medan, Jakarta, Bandung, Solo, Ambarawa, Cipinang, lalu Boven Digul. Diakui Snoek, surat-surat Sjahrir ia dapatkan langsung dari suami keempat Maria, yakni Mr. Stall, setelah Maria meninggal dunia.

Semula surat-surat tersebut akan dibakar, tetapi Maria dibantu suaminya yang juga adik Sjahrir, Sutan Sjahsyam, menyunting surat-surat Sjahrir dan membukukannya, Indonesische Overpeinzingen, diterbitkan di Amsterdam pada 1945 di bawah nama samaran Sjahrazad. Buku itu selanjutnya diterjemahkan HB Jassin dengan judul Renungan dan Perjuangan. Sementara dalam bahasa Inggris, Out of Exile, diterjemahkan Charles Wolf, bekas konsul muda Dinas Luar Negeri AS di Jakarta.

Kebiasaan saling bertulis surat para tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia benar adanya. Selain Sjahrir, tradisi berkirim surat juga dikerap dilakukan Soekarno, Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), Tan Malaka, dan Jhon Lie, untuk menyebut contoh.  Saya berbahagia ikut membaca surat-surat mereka saat menghadiri Pameran Surat Pendiri Bangsa di Museum Nasional pada medio November 2018.

Sedemikian pentingkah surat-surat tersebut? Iya. Umumnya buku sejarah resmi menampilkan seideal mungkin tokoh-tokoh yang terlibat dalam masa perjuangan. Apatahlagi di era pejabat macam sekarang ini. Tetapi yang abai oleh kita bahwa mereka juga manusia biasa dengan kelebihan dan kekurangannya.  Maka, sehimpun surat Sjahrir kepada Maria boleh dikata surat berharga dari seorang pejuang, yang juga manusia biasa. Ia yang tak kuasa direnggut kesepian, tetapi ia juga sosok yang tak bisa tidak memikirkan rakyat dan bangsanya.

***

“Meninggal karena korban tirani”. Demikian tegas Bung Hatta. Disaksikan Rosihan Anwar, Mohammad Hatta yang telah lama “puasa” bicara sejak dirinya mengundurkan diri sebagai wakil presiden RI pada 1 Desember 1956, di hari pemakaman Sjahrir, 19 April 1966, berkata, “Sutan Sjahrir yang mengandung dalam kalbunya cita-cita besar itu, hidupnya hanya berjuang, menderita dan berkorban untuk menciptakan, supaya rakyat Indonesia merdeka dari segala tindasan. Ia meninggal dengan tiada mencapainya. Ia berjuang untuk Indonesia Merdeka, melarat dalam perjuangan Indonesia Merdeka, ikut serta membina Indonesia Merdeka, tetapi ia sakit dan meninggal dunia dalam tahanan Republik Indonesia yang merdeka.”

Ungkapan Bung Hatta rasanya tak berlebihan bila melihat ironi kehidupan sahabatnya di akhir hayat. Di tengah sakit stroke plus komplikasi yang menggerogoti tubuhnya, Sjahrir menjadi pesakitan lantaran sebagai tahanan politik presiden Soekarno, terutama saat dirinya dianggap turut membentuk organisasi bernama Verenigad Ondergronds Corps (Peratusan Korps Gerakan bawah Tanah) dan terlibat mendukung gerakan pemberontakan daerah terhadap pemerintah pusat (PRRI). Kedua peristiwa ini dinilai memiliki hubungan dengan aksi lempar granat pad iring-iringan kendaraan presiden Soekarno di Makassar pada 7 Januari 1962. Maka, sembilan hari setelah peristiwa tersebut, 16 Januari 1962, Sjahrir ditahan di penjara Kebayoran Baru-Jakarta. Selain Sjahrir, tokoh lain yang juga ditangkap Anak Agung Gde Agung, Soebadio Sastrosatomo, Sultan Hamid II Alkadri dari Pontianak, Yunan Nasution, Kiai H. Isa Anshary,dan Moh Roem. Tiga bulan kemudian mereka dipindahkan ke penjara di Madiun. Sejak itulah kesehatan Sjahrir mulai merosot.

Namun, Soekarno tetap tak bisa menanggalkan jasa besar sahabat seperjuangannya itu, sehingga melalui Dekrit (Keputusan Presiden No. 76/Tahun 1966) pada 16 April 1966, Sjahrir ditetapkan sebagai pahlawan nasional, berselang tujuh hari sejak Sjahrir tutup usia.  Benar, saat tersiar kabar meninggalnya Sjahrir setelah hampir setahun berobat di Zurich, Swis, terhitung sejak 21 Juli Januari 1965 hingga 9 April 1966,  dr J. Leimena, Wakil Perdana Menteri, mengirim surat kepada Siti Wahjunah Saleh alias Poppy, istri Sjahrir, memberitahukan sekligus meminta persetujuan bahwa sebuah liang disediakan untuk Sjahrir di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan prosesi pemakaman menggunakan protokol kenegaraan dengan penghormatan penuh.

Sjahrir menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 57 tahun, tak lama setelah peristiwa Supersemar.  Kepergian Sjahrir membuat langit Indonesia berkabung. Hujan lebat menyertai pemakaman pria kelahiran Padang Panjang, Sumatra Barat, 5 Maret 1909. Puluhan ribu rakyat menghantar kepergian mendiang Sjahrir dalam perjalanan menuju taman makam pahlawan Kalibata.

***

Sebelum Indonesia merdeka, sikap berseberang jalan antara Sjahrir dengan Soekarno, dan kali lain dengan Hatta, adalah fakta tak terhindarkan yang mengiringi perjuangan tokoh “tiga serangkai” ini hingga detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia. Bahkan, jalan bersimpang antara mereka setelah proklamasi masih kerap terjadi. Selain Soekarno dan Hatta, Sjahrir juga pernah bertikai pendapat dengan Tan Malaka maupun Jenderal Soedirman.

Perbedaan pandangan yang sangat tajam antara mereka lebih tertuju pada metode perjuangan agar segera lepas dari penjajahan Belanda maupun Jepang. Yang amat mencolok ketika Sjahrir mendorong Soekarno dan Hatta segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia sebelum 17 Agustus 1945. Di satu sisi Soekarno selaku Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Inodnesia (PPKI) tidak bisa mengambil keputusan sendiri di saat diplomasi dengan pihak Jepang sedang berlangsung, dan yang lebih utama menurutnya menghindari pertumpahan darah.  Sementara Sjahrir, atas desakan kelompok pemuda meminta segera deklarasi kemerdekaan RI tanpa perlu menunggu kesepakatan Jepang. Apatahlagi menurut Sjahrir, April 1945 Jepang mengalami kekalahan beruntun di peperangan Pasifik melawan sekutu.

Tak hanya Sjahrir, tokoh pergerakan seperti Tan Malaka juga menilai Bung Karno dan Hatta bersikap lunak sehingga tidak berani melawan Jepang secara terang-terangan. Puncaknya, usai Bom Atom sekutu menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki (7 dan 9 Agustus 1945), Sjahrir kembali mendesak Sukarno dan Hatta agar mendeklarasikan kemerdekaan, tapi tak kunjung ada jawaban. Bahkan sampai hari yang dijanjikan Soekarno tiba, 15 Agustus 1945-itulah momen proklamasi yang direncanakan- kembali gagal total. Padahal Sjahrir sudah mengerahkan ribuan orang dari pelosok Jawa untuk datang ke Jakarta. Terang saja Sjahrir murka.

Dalam masa itu, hemat saya, kedua pertimbangan tersebut tak bisa dipandang secara opsisi-binner. Keduanya berpijak pada pertimbangan-pertimbangan. Faktanya, sebagaimana tertulis dalam buku-buku sejarah, kelompok pemuda dari Menteng (Wikana, dan kawan-kawan) nekat menculik Sukarno & Hatta ke Rengasdengklok, sehingga perundingan menuju kemerdekaan Indonesia berada dalam situasi sulit. Jelas Sjahrir kaget dan menumpahkan kekesalan pada anak-anak-anak muda tadi. Akhirnya, Sukarno-Hatta dijemput balik oleh Ahmad Subardjo untuk menyusun teks proklamasi di rumah Tadashi Maeda, Menteng. Keesokan harinya 17 Agustus 1945, peristiwa yang diimpikan para tokoh awal pergerakan Indonesia sejak tahun 1931 terwujud. Soekarno dengan didampingi Bung Hatta membaca teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Di mana sang arsitek, Bung Kecil? Ia memilih tidak hadir dalam momentum haru-biru itu.

Selain itu, sebelum Indonesia merdeka, kritik antara tokoh “Tiga Serangkai” ini juga tampak jelas antara PNI-nya Sekarno dan PNI-nya Sjahrir dan Hatta. Sjahrir, bersama Hatta, mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (dikenal dengan sebutan PNI-Baru), sedangkan Soekarno menjadi pendiri sekaligus tokoh utama Partai Nasional Indonesia (PNI). Kendati akronim dua organisasi pergerakan itu sama, tetapi keduanya berangkat dengan metode yang berbeda. PNI-Baru mengutamakan pendidikan politik sehingga kerap menyelenggarakan kursus-kurus politik dan membuat brosur yang disebarluaskan ke masyarakat. Sedangkan PNI yang dinahkodai Bung Karno terkonsentrasi pada penggalangan massa-rakyat yang tampak dalam rapat-rapat akbar yang dihadiri ribuan orang.

Namun demikian, Sjahrir mengamini Soekarno adalah pemimpin besar republik yang diakui rakyat. Soekarno merupakan sosok pemersatu bangsa Indonesia. Karena agitasinya yang menggelora itu pula, massa rakyat di bekas wilayah kekuasaan Hindia Belanda mendukung revolusi.

Menyadari hal itu, baik Sjahrir maupun Hatta bersepakat menyarankan agar kekuatan raksasa yang sudah dihidupkan Soekarno harus dibendung untuk kemudian diarahkan secara benar, sehingga energi itu tak meluap dan merusak. Tak mungkin revolusi berjalan terlalu lama karena akan mengguncang ‘sendi’ dan ‘pasak’ masyarakat.  Jika tak dikendalikan maka akan meruntuhkan seluruh ‘bangunan’. Di titik itu kritik Sjahrir dan Hatta terhadap Soekarno kembali memicu  ketidakharmonisan di antara mereka.

***

“Apa yang aku tak temukan di dalam studiku, apa yang tak kutemukan di dalam filsafat, aku temukan pada dirimu, pada surat-suratmu.”  Begitu selarik kalimat dalam surat Sjahrir kepada Maria Duchateau, 30 Mei 1935.

Saya menafsirkan selarik kalimat tersebut inheren dalam gerak perjuangan seorang Sjahrir. Sesuatu yang sangat dekat dengan dirinya sejak menjalani bangku sekolah di Europeesche Lagere School (ELS: SD) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO: SMP) di Medan. Setelah lulus dari MULO tahun 1926, Sjahrir melanjutkan sekolahnya ke Algemene Middelbare School (AMS) Westers Klassieke Afdeling  (Jurusan Budaya Klasik tingkat SMA ) di Bandung  hingga puncaknya melanjutkan kuliah di jurusan hukum di Universitas Amsterdam, lalu pindah ke jurusan Adat di Universitas Leiden-tempat beberapa intelektual terkemuka mengajar di situ, seperti Snouck Hurgronje dan lain-lain.

Di Medan, selama bersekolah, Sjahrir adalah pelajar cerdas, rajin membaca buku filsafat, dan tergolong aktif dalam berbagai macam kegiatan, seperti klub teater, bermain musik biola, sampai ikut klub sepak bola ketika dirinya di Bandung. Begitu juga semasa studi di Belanda, Sjahrir tekun mendalami sosialisme. Ia akrab dengan Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat, dan istrinya Maria Duchateau, yang kelak dinikahi Sjahrir pada 1932 secara Islam di Medan, meski sebentar, hingga kemudian Sjahrir meminang gadis cerdas Siti Wahjuni Saleh alias Poppy, kakak bagi tiga bersaudara, yakni  diplomat unggul dan Rektor Universitas PBB, Tokyo, Soedjatmoko; Miriam Budiarjo, pendiri Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI; dan Nugroho Wisnumurti, mantan Dubes tetap Indonesia di PBB.

Pada masa awal kuliahnya, Sjahrir aktif mengikuti kegiatan sebuah klub studi yang bernama Sociaal Democratische Studenten Club. Klub studi ini merupakan bentukan dari Partai Sosialis Demokrat Belanda (Sociaal Demokratische Arbeiderspartij – SDAP). Di klub inilah, Sjahrir mendalami gagasan-gagasan politik yang berkembang saat itu, seperti pemikiran Friedrich Engels, Otto Bauer, Karl Marx, Rosa Luxemburg, dan filsuf kelas dunia lainnya.

Sebagaimana Bung karno dan Hatta, Sjahrir juga pelahap buku. Sayangnya, segi pendidikan formal, tersebab beberapa hal (salah satunya saat dirinya diminta Hatta mengurusi PNI-Baru di tanah air) dan situasi republik jelang merdeka, niat Sjahrir melanjutkan kembali studinya di Belanda tidak tercapai. Bahkan, niat untuk menemui istirinya di Belanda pada Maret 1934 menggunakan kapal uap S.S Aramis dari Batavia dengan bekal uang kiriman Maria berujung gagal total, lantaran akhir Februari Sjahrir dan Hatta ditangkap Belanda hanya selisih sehari antara mereka.

Ignas Kleden, dalam kata pangantarnya di buku Rosihan Anwar,  Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati Yang Mendahului Zamannya (Kompas, 2011), memaparkan “seperti juga Soekarno di Endes-Flores membuat studi yang intensif tentang Islam dan modernitas, dan Hatta di Digul mengajar dan menulis tentang filsafat Yunan Antik, maka Sjahrir pun merencanakan bacaannya teratur buku-buku yang ada. Untuk memperdalam pengetahuannya tentang ilmu ekonomi dia membaca Jhon Stuart Mill (1806-73), menulis tinjauan budaya yang panjang dan mendalam tentang buku Huzinga (Johan Huizinga, 1874-1945), membaca Ortega Y Gasset (1883-1955) dan Benetto Corce (1866-1952) untuk memperdalam pengetahuannya tentang filsafat kebudayaan, menulis kritik tentang positivisme dan ilmu-ilmu sosial, membaca biografi Friedrich Engels (1820-95) dan Gustav Meyer, membandingkan psikologi Kant dan Goethe (Johann Wolfgang von Goethe, 1749-1832), menganalisa penulisan cerpen Amerika, Belanda, dan Indonesia sambil memberi komentar kritis tentang majalah Poedjangga Baroe (Sutan Sjahrir 1990:165-8) dan bahkan menyempatkan diri berpolemik dengan penyair  J.E. Tatengkeng (Jan Engelbert Tatengkeng, 1907-68; Sutan Sjahrir 2000).

Kegemaran Bung Kecil terhadap buku dibenarkan sejarawan Rudolf Mrazek dalam biografi Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia. Ketika tumbuh remaja di kota Medan, Sjahrir mengaku telah membaca ratusan buku dan novel kanak-kanak Belanda. Tak heran di tengah keluarganya, Sjahrir disebut anak paling pandai.

Gambaran senyawa sederet tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia yang dekat dengan buku, perpustakaan dan ilmu pengetahuan, sehingga seluruh perjalanan hidupnya, ibarat cangkang dan kerang yang tumbuh kembang bersama, juga digambarkan Roeslan Abdul Gani dalam biografinya (A Fading Dream: The Story ofRoeslan Abdulgani and Indonesia, 2003) berikut ini: “Generasi Soekarno dan Hatta asyik mengembara dalam dunia Socrates, Plato, Marx, Rever, dan banyak yang lain. Pikiran mereka dibanjiri oleh mimpi-mimpi literatur Shakespeare, komposisi Mozart, dan membayangkan sebuah dunia utopis. Sementara Generasi baru punya mimpi lain: mengendarai Lamborgini, ditemani oleh lagu-lagu Michael Jackson dan semangatnya marak dengan ekstasi.”

Maka, mengamati ketekunan Sjahrir mendalami beragam displin ilmu, selain ia juga tumbuh dan dibesarkan dalam tradisi pergerakan, menurut kacamata Charles Wolf Jr, penulis Amerika, yang menulis pengantar untuk terjemahan Inggris buku Sjahrir Out of Exile, bahwa seandainya Sjahrir boleh memilih di antara politik dan ilmu pengetahuan dia pastilah akan memilih melakukan studi-studi yang bersifat ilmu pengetahuan.

Pandangan Charles tak lah berlebihan, setidaknya perhatian Sjahrir terhadap ilmu pengetahuan dapat dilacak jauh sebelum dirinya menempuh studi di Belanda hingga terlibat praktis dalam pergerakan kemerdekaan Idonesia, yakni sejak Sjahrir remaja, sudah mendirikan sekolah untuk kaum miskin di Bandung pada umur 18 tahun. Sekolah rakyat ini diberi nama Tjahja Volksuniversiteit atau dalam bahasa Melayu berarti “Universitas Rakyat Cahaya”. Di lembaga pendidikan ini, entah berapa banyak anak-anak miskin di Bandung yang diajari membaca dan menghitung secara gratis.

Selain itu, Sjahrir juga mendirikan sebuah klub diskusi politik untuk para pemuda di Bandung, yang dinamakan Patriae Scientiaeque. Kegiatannya di klub diskusi itulah yang membawa Sjahrir berjumpa dengan sosok aktivis lain dari klub debat tetangga (Algemenee Studie Club), yang dipimpin seorang mahasiswa Bandung Technische Hogeschool (ITB) bernama Koesno alias Ir. Sukarno yang kelak menjadi pemimpin besar Indonesia.

Namun demikian, bahwa Sjahrir hingga akhir hayatnya dikenal sebagai politikus handal juga tak dapat diabaikan. Ia tidak hanya tercatat sebagai pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI), Ketua PNI-Baru, pelahap buku, penulis buku-buku bermutu serta sosok yang menyukai filsafat, ekonomi, politik, seni dan sastra,tetapi ia juga Perdana Menteri pertama Indonesia dengan usia termuda di dunia. Paling tidak, dua prestasi Sjahrir semasa menjabat Perdana Menteri Indonesia, yaitu pertama keputusan cerdiknya memberikan bantuan pada India yan mengalami krisis pangan pada 20 Agustus 1946. Strategi tersebut dinilai jitu karena paska India merdeka dari kolonisasi Inggris 15 Agustus 1947, Jawaharlal Nehru, Bapak Bangsa India sekaligus Perdana Menteri pertama mengundang Indonesia berpartisipasi di Konferensi Hubungan Negara-negara Asia di New Delhi. Dari sini lah jaringan internasional Sjahrir makin berkembang dan akhirnya ia membangun diplomasinya ke Kairo, Mesir, Suriah, Iran, Burma, dan Singapura untuk membangun hubungan baik dan minta dukungan pengakuan dunia kepada Indonesia.

Prestasi kedua Sjahrir adalah menggawangi Perundingan Linggarjati. Pada November 1946, delegasi Belanda siap berunding dengan delegasi Republik guna menyelesaikan sengketa wilayah Indonesia. Meskipun kita tahu muncul kritikan-kritikan terhadap hasil perundingan tersebut.

Demikian politik bagi Sjahrir. Jejak langkahnya yang terekam jelas di kancah politik, dengan tidak meninggalkan perhatiannya pada ilmu pengetahuan, membuat politik bukan program apalagi proyek untuk mencapai kepentingan-kepentingan jangka pendek bagi dirinya maupun kelompok orang-orang terdekatnya.  Politik bagi Sjahrir, hemat saya, adalah segenap kebesaran jiwa, kematangan berpikir, dan pandangan jauh ke depan untuk mewujudkan kebaikan kehidupan itu sendiri. Sesuatu yang berbanding terbalik dengan politik zaman now. Politik dengan penuh kepura-puraan atau tipu-muslihat.

Mungkin itu salah satu cara Sjahrir terus meluaskan pandangan (untuk tidak terjebak dalam taqlid buta) sekaligus menguji ketangguhannya untuk tiada henti berharap demi terlibat aktif menggapai cita-cita kemerdekaan Indoesia di masa itu, sekalipun realitas di sekelilingnya bertubi-tuba memaksa untuk berhenti berharap. Karena itu, sekali lagi, penggalan sajak penyair Jerman, Friedrich Schiller (1723-1796), “und setzt ihr nicht das Leben, nie wird euch das Leben gewonnen sein”- (Hidup yang tak dipertaruhkan. Tak Akan pernah dimenangkan!) yang kerap dikutip Sjahrir dari luar kepala, tak lain adalah pengejewantahan laku hidupnya. 

*Tulisan terbit pertama kali di rubrik Sosok portal kajanglako.com pada Sabtu, 11 April 2020.

Referensi:

-Arif Zulkifli; Bapak Bangsa; Sjahrir, Peran Besar Bung Kecil; Seri Buku Tempo, KPG, 2012.

-Bonnie Triyana (Kurator); Pameran Surat Pendiri Bangsa, Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dan Historia, 20-27 November 2018.

-Goenawan Mohammad; Sjahrir di Pantai, dalam buku Tokoh + Pokok, Tempo,2011.

-Mavis Rose; Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta; Equinox Publishing, 2010.

-Rudolf Mrazek; Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, 1994.

-Rosihan Anwar; Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati Yang Mendahului Zamannya”, Kompas, 2011.

-Rosihan Anwar;  Mengenang Sjahrir: Seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2010.

-Retnowati Abdulgani-Knapp; A Fading Dream: The Story of Roeslan Abdulgani and Indonesia, Singapore : Times Books International,  2003.

2 Komentar