Oleh: Jumardi Putra*
***
Di tengah situasi represi politik, seiring pergerakan para
aktivis kemerdekaan yang semakin terkonsolidasi sekaligus memiliki basis massa
yang terus bertambah dan meluas ke banyak daerah, Sjahrir, Hatta dan beberapa
aktivis PNI-Pendidikan diciduk Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge
di penghujung Februari 1934. Hatta
ditahan di penjara Glodok di Batavia, sementara Sjahrir dijeblosin di Penjara
Cipinang, di daerah Meester Cornelis, Batavia.
Tak berhenti di situ, usai Soekarno diasingkan terlebih
dahulu ke Ende, Flores, pada tahun 1933, giliran 9 Desember 1935 Sjahrir dan
Hatta dibuang ke Tanah Merah, Boven Digoel, di wilayah paling pelosok dari
Pulau Papua, dan berlanjut setahun setelahnya di Banda-Neira, sebuah kepulauan
di Maluku, selama enam tahun (1936-1942). Selain mereka berdua, aktivis seperti
Iwa Kusumasumantri dan dokter Tjipto Mangunkusumo terlebih dahulu dikirim ke
Banda-Neira.
Sebelum berlanjut, perlu saya sampaikan, tulisan berikut ini
tidak hendak mengupas riwayat pengasingan tokoh perintis kemerdekaan,
sebagaimana dialami Soekarno, Hatta dan tokoh lainnya, melainkan ingin melihat
Sjahrir sebagai pribadi, tokoh pergerakan, politikus dan negarawan, yang aneh
tapi nyata, di tengah kesibukannya masih memberi perhatian pada ilmu
pengetahuan.
Berbeda ketika di Banda Neira, karena diselingi kegiatan
mengajar, berlayar di atas taman laut, dan bermain bersama anak-anak, utamanya
cucu Baadilla, yang diangkatnya menjadi anak, di Tanah Merah, Boven-Digul,
Sjahrir lebih banyak diam dan menyendiri.
Begitu kenang Hatta dalam tulisannya, Mengenang Sjahrir.
Amuk sepi dan kegelisahan Sjahrir tergambar dari selarik
kalimat dalam suratnya kepada Maria Johanna Duchateau, istrinya yang berdarah
Belanda, yang dikirimnya dari Tanah Merah, 30 Mei 1935: “Kehidupanku di antara
orang buangan keadaannya jauh lebih berat daripada di dalam sel isolasi di
penjara.” Kali lain Sjahrir menulis,
“Suratmu, begitu sangat berarti buatku, aku harap kamu mampu menulisnya secara
teratur kepadaku, supaya aku bisa menerima sesuatu setiap kali kapal (Albatros)
datang berlabuh, dan itu artinya setiap sekali dalam tiga minggu
sekarang".
Memang, surat-surat Sjahrir kepada Maria tak melulu berisi
keluh-kesah pribadi, tetapi juga kerisauannya tentang negara, masyarakat dan
gerakan perjuangan yang ditempuh saat dirinya diasingkan Belanda. Tak syak,
Maria selain pengobat rindu dan kesepian Sjahrir selama dalam pengasingan, juga
teman bertukar pikiran yang sepadan.
Temuan surat-surat antara Sjahrir dan Maria, tak lepas dari
sebuah “kebetulan” Kees Snoek, Guru Besar Sastra dan Peradaban Balanda di
universitas Sorbone, Prancis, yang sedang menulis biografi penyair Belanda Carles
Edgar Du Perron. Tak disangka, sang penyair berkawan baik dengan Sjahrir dan
Maria. Tahun 1993 Kees Snoek mulai
berkirim surat ke Maria hingga bertemu langsung dengan istri pertama Sjahrir itu di Belanda setahun setelahnya. Dalam
pertemuan itulah Maria menunjukkan isi surat-surat Sjahrir.
Kees Snoek yang juga menulis buku berjudul “Saya Ingin
Melihat Semua Ini Berakhir (Esei dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer) ”,
Komunitas Bambu, 2008, mengatakan surat yang ditulis Sjahrir dalam rentang
waktu 1931-1940 berjumlah 287 buah dengan panjang variasai 4-7 halaman dan
terdiri dari 952 lembar. Keseluruhan surat-surat itu ditulis di Eropa,
selanjutnya dari berbagai tempat di Indonesia, misalnya Semarang, Medan,
Jakarta, Bandung, Solo, Ambarawa, Cipinang, lalu Boven Digul. Diakui Snoek,
surat-surat Sjahrir ia dapatkan langsung dari suami keempat Maria, yakni Mr.
Stall, setelah Maria meninggal dunia.
Semula surat-surat tersebut akan dibakar, tetapi Maria
dibantu suaminya yang juga adik Sjahrir, Sutan Sjahsyam, menyunting surat-surat
Sjahrir dan membukukannya, Indonesische Overpeinzingen, diterbitkan di
Amsterdam pada 1945 di bawah nama samaran Sjahrazad. Buku itu selanjutnya
diterjemahkan HB Jassin dengan judul Renungan dan Perjuangan. Sementara dalam
bahasa Inggris, Out of Exile, diterjemahkan Charles Wolf, bekas konsul muda
Dinas Luar Negeri AS di Jakarta.
Kebiasaan saling bertulis surat para tokoh pergerakan
kemerdekaan Indonesia benar adanya. Selain Sjahrir, tradisi berkirim surat juga
dikerap dilakukan Soekarno, Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, Suwardi
Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), Tan Malaka, dan Jhon Lie, untuk menyebut
contoh. Saya berbahagia ikut membaca
surat-surat mereka saat menghadiri Pameran Surat Pendiri Bangsa di Museum
Nasional pada medio November 2018.
Sedemikian pentingkah surat-surat tersebut? Iya. Umumnya
buku sejarah resmi menampilkan seideal mungkin tokoh-tokoh yang terlibat dalam
masa perjuangan. Apatahlagi di era pejabat macam sekarang ini. Tetapi yang abai
oleh kita bahwa mereka juga manusia biasa dengan kelebihan dan
kekurangannya. Maka, sehimpun surat
Sjahrir kepada Maria boleh dikata surat berharga dari seorang pejuang, yang
juga manusia biasa. Ia yang tak kuasa direnggut kesepian, tetapi ia juga sosok
yang tak bisa tidak memikirkan rakyat dan bangsanya.
***
“Meninggal karena korban tirani”. Demikian tegas Bung Hatta.
Disaksikan Rosihan Anwar, Mohammad Hatta yang telah lama “puasa” bicara sejak
dirinya mengundurkan diri sebagai wakil presiden RI pada 1 Desember 1956, di
hari pemakaman Sjahrir, 19 April 1966, berkata, “Sutan Sjahrir yang mengandung
dalam kalbunya cita-cita besar itu, hidupnya hanya berjuang, menderita dan
berkorban untuk menciptakan, supaya rakyat Indonesia merdeka dari segala
tindasan. Ia meninggal dengan tiada mencapainya. Ia berjuang untuk Indonesia
Merdeka, melarat dalam perjuangan Indonesia Merdeka, ikut serta membina
Indonesia Merdeka, tetapi ia sakit dan meninggal dunia dalam tahanan Republik
Indonesia yang merdeka.”
Ungkapan Bung Hatta rasanya tak berlebihan bila melihat
ironi kehidupan sahabatnya di akhir hayat. Di tengah sakit stroke plus
komplikasi yang menggerogoti tubuhnya, Sjahrir menjadi pesakitan lantaran
sebagai tahanan politik presiden Soekarno, terutama saat dirinya dianggap turut
membentuk organisasi bernama Verenigad Ondergronds Corps (Peratusan Korps
Gerakan bawah Tanah) dan terlibat mendukung gerakan pemberontakan daerah
terhadap pemerintah pusat (PRRI). Kedua peristiwa ini dinilai memiliki hubungan
dengan aksi lempar granat pad iring-iringan kendaraan presiden Soekarno di
Makassar pada 7 Januari 1962. Maka, sembilan hari setelah peristiwa tersebut,
16 Januari 1962, Sjahrir ditahan di penjara Kebayoran Baru-Jakarta. Selain
Sjahrir, tokoh lain yang juga ditangkap Anak Agung Gde Agung, Soebadio Sastrosatomo,
Sultan Hamid II Alkadri dari Pontianak, Yunan Nasution, Kiai H. Isa Anshary,dan
Moh Roem. Tiga bulan kemudian mereka dipindahkan ke penjara di Madiun. Sejak
itulah kesehatan Sjahrir mulai merosot.
Namun, Soekarno tetap tak bisa menanggalkan jasa besar
sahabat seperjuangannya itu, sehingga melalui Dekrit (Keputusan Presiden No.
76/Tahun 1966) pada 16 April 1966, Sjahrir ditetapkan sebagai pahlawan
nasional, berselang tujuh hari sejak Sjahrir tutup usia. Benar, saat tersiar kabar meninggalnya
Sjahrir setelah hampir setahun berobat di Zurich, Swis, terhitung sejak 21 Juli
Januari 1965 hingga 9 April 1966, dr J.
Leimena, Wakil Perdana Menteri, mengirim surat kepada Siti Wahjunah Saleh alias
Poppy, istri Sjahrir, memberitahukan sekligus meminta persetujuan bahwa sebuah
liang disediakan untuk Sjahrir di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan prosesi
pemakaman menggunakan protokol kenegaraan dengan penghormatan penuh.
Sjahrir menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 57 tahun,
tak lama setelah peristiwa Supersemar.
Kepergian Sjahrir membuat langit Indonesia berkabung. Hujan lebat
menyertai pemakaman pria kelahiran Padang Panjang, Sumatra Barat, 5 Maret 1909.
Puluhan ribu rakyat menghantar kepergian mendiang Sjahrir dalam perjalanan
menuju taman makam pahlawan Kalibata.
***
Sebelum Indonesia merdeka, sikap berseberang jalan antara
Sjahrir dengan Soekarno, dan kali lain dengan Hatta, adalah fakta tak
terhindarkan yang mengiringi perjuangan tokoh “tiga serangkai” ini hingga
detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia. Bahkan, jalan bersimpang antara
mereka setelah proklamasi masih kerap terjadi. Selain Soekarno dan Hatta,
Sjahrir juga pernah bertikai pendapat dengan Tan Malaka maupun Jenderal
Soedirman.
Perbedaan pandangan yang sangat tajam antara mereka lebih
tertuju pada metode perjuangan agar segera lepas dari penjajahan Belanda maupun
Jepang. Yang amat mencolok ketika Sjahrir mendorong Soekarno dan Hatta segera
mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia sebelum 17 Agustus 1945. Di satu sisi Soekarno selaku Ketua Panitia Persiapan
Kemerdekaan Inodnesia (PPKI) tidak bisa mengambil keputusan sendiri di saat
diplomasi dengan pihak Jepang sedang berlangsung, dan yang lebih utama
menurutnya menghindari pertumpahan darah.
Sementara Sjahrir, atas desakan kelompok pemuda meminta segera deklarasi
kemerdekaan RI tanpa perlu menunggu kesepakatan Jepang. Apatahlagi menurut
Sjahrir, April 1945 Jepang mengalami kekalahan beruntun di peperangan Pasifik
melawan sekutu.
Tak hanya Sjahrir, tokoh pergerakan seperti Tan Malaka juga
menilai Bung Karno dan Hatta bersikap lunak sehingga tidak berani melawan
Jepang secara terang-terangan. Puncaknya, usai Bom Atom sekutu menghancurkan
Hiroshima dan Nagasaki (7 dan 9 Agustus 1945), Sjahrir kembali mendesak Sukarno
dan Hatta agar mendeklarasikan kemerdekaan, tapi tak kunjung ada jawaban.
Bahkan sampai hari yang dijanjikan Soekarno tiba, 15 Agustus 1945-itulah momen
proklamasi yang direncanakan- kembali gagal total. Padahal Sjahrir sudah
mengerahkan ribuan orang dari pelosok Jawa untuk datang ke Jakarta. Terang saja
Sjahrir murka.
Dalam masa itu, hemat saya, kedua pertimbangan tersebut tak
bisa dipandang secara opsisi-binner. Keduanya berpijak pada
pertimbangan-pertimbangan. Faktanya, sebagaimana tertulis dalam buku-buku
sejarah, kelompok pemuda dari Menteng (Wikana, dan kawan-kawan) nekat menculik
Sukarno & Hatta ke Rengasdengklok, sehingga perundingan menuju kemerdekaan
Indonesia berada dalam situasi sulit. Jelas Sjahrir kaget dan menumpahkan
kekesalan pada anak-anak-anak muda tadi. Akhirnya, Sukarno-Hatta dijemput balik
oleh Ahmad Subardjo untuk menyusun teks proklamasi di rumah Tadashi Maeda,
Menteng. Keesokan harinya 17 Agustus 1945, peristiwa yang diimpikan para tokoh
awal pergerakan Indonesia sejak tahun 1931 terwujud. Soekarno dengan didampingi
Bung Hatta membaca teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Di mana sang arsitek,
Bung Kecil? Ia memilih tidak hadir dalam momentum haru-biru itu.
Selain itu, sebelum Indonesia merdeka, kritik antara tokoh
“Tiga Serangkai” ini juga tampak jelas antara PNI-nya Sekarno dan PNI-nya
Sjahrir dan Hatta. Sjahrir, bersama Hatta, mendirikan Pendidikan Nasional
Indonesia (dikenal dengan sebutan PNI-Baru), sedangkan Soekarno menjadi pendiri
sekaligus tokoh utama Partai Nasional Indonesia (PNI). Kendati akronim dua
organisasi pergerakan itu sama, tetapi keduanya berangkat dengan metode yang
berbeda. PNI-Baru mengutamakan pendidikan politik sehingga kerap
menyelenggarakan kursus-kurus politik dan membuat brosur yang disebarluaskan ke
masyarakat. Sedangkan PNI yang dinahkodai Bung Karno terkonsentrasi pada
penggalangan massa-rakyat yang tampak dalam rapat-rapat akbar yang dihadiri
ribuan orang.
Namun demikian, Sjahrir mengamini Soekarno adalah pemimpin
besar republik yang diakui rakyat. Soekarno merupakan sosok pemersatu bangsa
Indonesia. Karena agitasinya yang menggelora itu pula, massa rakyat di bekas
wilayah kekuasaan Hindia Belanda mendukung revolusi.
Menyadari hal itu, baik Sjahrir maupun Hatta bersepakat
menyarankan agar kekuatan raksasa yang sudah dihidupkan Soekarno harus dibendung
untuk kemudian diarahkan secara benar, sehingga energi itu tak meluap dan
merusak. Tak mungkin revolusi berjalan terlalu lama karena akan mengguncang
‘sendi’ dan ‘pasak’ masyarakat. Jika tak
dikendalikan maka akan meruntuhkan seluruh ‘bangunan’. Di titik itu kritik
Sjahrir dan Hatta terhadap Soekarno kembali memicu ketidakharmonisan di antara mereka.
***
“Apa yang aku tak temukan di dalam studiku, apa yang tak
kutemukan di dalam filsafat, aku temukan pada dirimu, pada surat-suratmu.” Begitu selarik kalimat dalam surat Sjahrir
kepada Maria Duchateau, 30 Mei 1935.
Saya menafsirkan selarik kalimat tersebut inheren dalam
gerak perjuangan seorang Sjahrir. Sesuatu yang sangat dekat dengan dirinya
sejak menjalani bangku sekolah di Europeesche Lagere School (ELS: SD) dan Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO: SMP) di Medan. Setelah lulus dari MULO tahun
1926, Sjahrir melanjutkan sekolahnya ke Algemene Middelbare School (AMS)
Westers Klassieke Afdeling (Jurusan
Budaya Klasik tingkat SMA ) di Bandung
hingga puncaknya melanjutkan kuliah di jurusan hukum di Universitas
Amsterdam, lalu pindah ke jurusan Adat di Universitas Leiden-tempat beberapa
intelektual terkemuka mengajar di situ, seperti Snouck Hurgronje dan lain-lain.
Di Medan, selama bersekolah, Sjahrir adalah pelajar cerdas,
rajin membaca buku filsafat, dan tergolong aktif dalam berbagai macam kegiatan,
seperti klub teater, bermain musik biola, sampai ikut klub sepak bola ketika
dirinya di Bandung. Begitu juga semasa studi di Belanda, Sjahrir tekun mendalami
sosialisme. Ia akrab dengan Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat,
dan istrinya Maria Duchateau, yang kelak dinikahi Sjahrir pada 1932 secara
Islam di Medan, meski sebentar, hingga kemudian Sjahrir meminang gadis cerdas
Siti Wahjuni Saleh alias Poppy, kakak bagi tiga bersaudara, yakni diplomat unggul dan Rektor Universitas PBB,
Tokyo, Soedjatmoko; Miriam Budiarjo, pendiri Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UI; dan Nugroho Wisnumurti, mantan Dubes tetap Indonesia di PBB.
Pada masa awal kuliahnya, Sjahrir aktif mengikuti kegiatan
sebuah klub studi yang bernama Sociaal Democratische Studenten Club. Klub studi
ini merupakan bentukan dari Partai Sosialis Demokrat Belanda (Sociaal
Demokratische Arbeiderspartij – SDAP). Di klub inilah, Sjahrir mendalami
gagasan-gagasan politik yang berkembang saat itu, seperti pemikiran Friedrich
Engels, Otto Bauer, Karl Marx, Rosa Luxemburg, dan filsuf kelas dunia lainnya.
Sebagaimana Bung karno dan Hatta, Sjahrir juga pelahap buku.
Sayangnya, segi pendidikan formal, tersebab beberapa hal (salah satunya saat
dirinya diminta Hatta mengurusi PNI-Baru di tanah air) dan situasi republik
jelang merdeka, niat Sjahrir melanjutkan kembali studinya di Belanda tidak
tercapai. Bahkan, niat untuk menemui istirinya di Belanda pada Maret 1934
menggunakan kapal uap S.S Aramis dari Batavia dengan bekal uang kiriman Maria
berujung gagal total, lantaran akhir Februari Sjahrir dan Hatta ditangkap
Belanda hanya selisih sehari antara mereka.
Ignas Kleden, dalam kata pangantarnya di buku Rosihan
Anwar, Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis,
Demokrat Sejati Yang Mendahului Zamannya (Kompas, 2011), memaparkan “seperti
juga Soekarno di Endes-Flores membuat studi yang intensif tentang Islam dan
modernitas, dan Hatta di Digul mengajar dan menulis tentang filsafat Yunan
Antik, maka Sjahrir pun merencanakan bacaannya teratur buku-buku yang ada.
Untuk memperdalam pengetahuannya tentang ilmu ekonomi dia membaca Jhon Stuart
Mill (1806-73), menulis tinjauan budaya yang panjang dan mendalam tentang buku
Huzinga (Johan Huizinga, 1874-1945), membaca Ortega Y Gasset (1883-1955) dan
Benetto Corce (1866-1952) untuk memperdalam pengetahuannya tentang filsafat
kebudayaan, menulis kritik tentang positivisme dan ilmu-ilmu sosial, membaca
biografi Friedrich Engels (1820-95) dan Gustav Meyer, membandingkan psikologi
Kant dan Goethe (Johann Wolfgang von Goethe, 1749-1832), menganalisa penulisan
cerpen Amerika, Belanda, dan Indonesia sambil memberi komentar kritis tentang
majalah Poedjangga Baroe (Sutan Sjahrir 1990:165-8) dan bahkan menyempatkan
diri berpolemik dengan penyair J.E.
Tatengkeng (Jan Engelbert Tatengkeng, 1907-68; Sutan Sjahrir 2000).
Kegemaran Bung Kecil terhadap buku dibenarkan sejarawan
Rudolf Mrazek dalam biografi Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia.
Ketika tumbuh remaja di kota Medan, Sjahrir mengaku telah membaca ratusan buku
dan novel kanak-kanak Belanda. Tak heran di tengah keluarganya, Sjahrir disebut
anak paling pandai.
Gambaran senyawa sederet tokoh pergerakan kemerdekaan
Indonesia yang dekat dengan buku, perpustakaan dan ilmu pengetahuan, sehingga
seluruh perjalanan hidupnya, ibarat cangkang dan kerang yang tumbuh kembang
bersama, juga digambarkan Roeslan Abdul Gani dalam biografinya (A Fading Dream:
The Story ofRoeslan Abdulgani and Indonesia, 2003) berikut ini: “Generasi
Soekarno dan Hatta asyik mengembara dalam dunia Socrates, Plato, Marx, Rever,
dan banyak yang lain. Pikiran mereka dibanjiri oleh mimpi-mimpi literatur
Shakespeare, komposisi Mozart, dan membayangkan sebuah dunia utopis. Sementara
Generasi baru punya mimpi lain: mengendarai Lamborgini, ditemani oleh lagu-lagu
Michael Jackson dan semangatnya marak dengan ekstasi.”
Maka, mengamati ketekunan Sjahrir mendalami beragam displin
ilmu, selain ia juga tumbuh dan dibesarkan dalam tradisi pergerakan, menurut
kacamata Charles Wolf Jr, penulis Amerika, yang menulis pengantar untuk
terjemahan Inggris buku Sjahrir Out of Exile, bahwa seandainya Sjahrir boleh
memilih di antara politik dan ilmu pengetahuan dia pastilah akan memilih melakukan
studi-studi yang bersifat ilmu pengetahuan.
Pandangan Charles tak lah berlebihan, setidaknya perhatian
Sjahrir terhadap ilmu pengetahuan dapat dilacak jauh sebelum dirinya menempuh
studi di Belanda hingga terlibat praktis dalam pergerakan kemerdekaan Idonesia,
yakni sejak Sjahrir remaja, sudah mendirikan sekolah untuk kaum miskin di
Bandung pada umur 18 tahun. Sekolah rakyat ini diberi nama Tjahja
Volksuniversiteit atau dalam bahasa Melayu berarti “Universitas Rakyat Cahaya”.
Di lembaga pendidikan ini, entah berapa banyak anak-anak miskin di Bandung yang
diajari membaca dan menghitung secara gratis.
Selain itu, Sjahrir juga mendirikan sebuah klub diskusi
politik untuk para pemuda di Bandung, yang dinamakan Patriae Scientiaeque.
Kegiatannya di klub diskusi itulah yang membawa Sjahrir berjumpa dengan sosok
aktivis lain dari klub debat tetangga (Algemenee Studie Club), yang dipimpin
seorang mahasiswa Bandung Technische Hogeschool (ITB) bernama Koesno alias Ir.
Sukarno yang kelak menjadi pemimpin besar Indonesia.
Namun demikian, bahwa Sjahrir hingga akhir hayatnya dikenal
sebagai politikus handal juga tak dapat diabaikan. Ia tidak hanya tercatat
sebagai pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI), Ketua PNI-Baru, pelahap buku,
penulis buku-buku bermutu serta sosok yang menyukai filsafat, ekonomi, politik,
seni dan sastra,tetapi ia juga Perdana Menteri pertama Indonesia dengan usia
termuda di dunia. Paling tidak, dua prestasi Sjahrir semasa menjabat Perdana
Menteri Indonesia, yaitu pertama keputusan cerdiknya memberikan bantuan pada
India yan mengalami krisis pangan pada 20 Agustus 1946. Strategi tersebut
dinilai jitu karena paska India merdeka dari kolonisasi Inggris 15 Agustus
1947, Jawaharlal Nehru, Bapak Bangsa India sekaligus Perdana Menteri pertama
mengundang Indonesia berpartisipasi di Konferensi Hubungan Negara-negara Asia
di New Delhi. Dari sini lah jaringan internasional Sjahrir makin berkembang dan
akhirnya ia membangun diplomasinya ke Kairo, Mesir, Suriah, Iran, Burma, dan
Singapura untuk membangun hubungan baik dan minta dukungan pengakuan dunia
kepada Indonesia.
Prestasi kedua Sjahrir adalah menggawangi Perundingan
Linggarjati. Pada November 1946, delegasi Belanda siap berunding dengan
delegasi Republik guna menyelesaikan sengketa wilayah Indonesia. Meskipun kita
tahu muncul kritikan-kritikan terhadap hasil perundingan tersebut.
Demikian politik bagi Sjahrir. Jejak langkahnya yang terekam
jelas di kancah politik, dengan tidak meninggalkan perhatiannya pada ilmu
pengetahuan, membuat politik bukan program apalagi proyek untuk mencapai
kepentingan-kepentingan jangka pendek bagi dirinya maupun kelompok orang-orang
terdekatnya. Politik bagi Sjahrir, hemat
saya, adalah segenap kebesaran jiwa, kematangan berpikir, dan pandangan jauh ke
depan untuk mewujudkan kebaikan kehidupan itu sendiri. Sesuatu yang berbanding
terbalik dengan politik zaman now. Politik dengan penuh kepura-puraan atau
tipu-muslihat.
Mungkin itu salah satu cara Sjahrir terus meluaskan
pandangan (untuk tidak terjebak dalam taqlid buta) sekaligus menguji
ketangguhannya untuk tiada henti berharap demi terlibat aktif menggapai
cita-cita kemerdekaan Indoesia di masa itu, sekalipun realitas di sekelilingnya
bertubi-tuba memaksa untuk berhenti berharap. Karena itu, sekali lagi,
penggalan sajak penyair Jerman, Friedrich Schiller (1723-1796), “und setzt ihr
nicht das Leben, nie wird euch das Leben gewonnen sein”- (Hidup yang tak
dipertaruhkan. Tak Akan pernah dimenangkan!) yang kerap dikutip Sjahrir dari
luar kepala, tak lain adalah pengejewantahan laku hidupnya.
*Tulisan terbit pertama kali di rubrik Sosok portal kajanglako.com pada Sabtu, 11 April 2020.
Referensi:
-Arif Zulkifli; Bapak Bangsa; Sjahrir, Peran Besar Bung
Kecil; Seri Buku Tempo, KPG, 2012.
-Bonnie Triyana (Kurator); Pameran Surat Pendiri Bangsa,
Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia dan Historia, 20-27 November 2018.
-Goenawan Mohammad; Sjahrir di Pantai, dalam buku Tokoh +
Pokok, Tempo,2011.
-Mavis Rose; Indonesia Free: A Political Biography of
Mohammad Hatta; Equinox Publishing, 2010.
-Rudolf Mrazek; Sjahrir: Politik dan Pengasingan di
Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, 1994.
-Rosihan Anwar; Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat
Sejati Yang Mendahului Zamannya”, Kompas, 2011.
-Rosihan Anwar;
Mengenang Sjahrir: Seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang
Tersisih dan Terlupakan. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2010.
-Retnowati Abdulgani-Knapp; A Fading Dream: The Story of
Roeslan Abdulgani and Indonesia, Singapore : Times Books International, 2003.
2 Komentar
Bernas bang. 👍
BalasHapusMokasih Mon. Apa kabar?
BalasHapus