WS Rendra dan Mbah Surip |
Oleh: Jumardi Putra*
Setiap 10 November, masing-masing kita memperingati hari pahlawan. Selain mengenang jasa para pejuang kemerdekaan di jalan perang, saya teringat dua pribadi berkarakter kuat, yang hingga akhir hayatnya bertungkus-lumus di lapangan kesenian. Mereka adalah WS Rendra dan Mbah Surip.
Sepanjang usia belum dibatasi oleh kematian, dramawan Rendra masih melakukan perlawanan terhadap segala bentuk ketimpangan di negeri ini melalui proses teater, puisi, esai, hingga pidato kebudayaan. Ungkapannya selalu menyentuh dan menunjukkan pribadi yang matang: “Kesadaran adalah matahari/ Kesabaran adalah bumi/ Keberanian menjadi cakrawala/ Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”.
Demikian itu menegaskan semangatnya hanya redam beriringan dengan ketetapan usia dari Sang pemilik kehidupan. Hampir menginjak umur 74 tahun, barulah si “Burung Merak”-julukan Rendra-terbang tinggi bersama cita-cita luhur yang diperjuangkan semasa hidup.
Saking berartinya seorang Rendra dalam memperjuangkan hak-hak kaum marginal serta konsistensinya pada jalur seni, esais Goenawan Mohammad masih tidak percaya dengan kepergian lelaki kelahiran 7 November 1935 itu untuk selamanya. “Baru setelah melihat ia dikebumikan di bawah gundukan tanah merah, diketahui WS Rendra memang telah meninggalkan kita. Itu pun dengan catatan, Rendra akan selalu hidup karena ia telah meninggalkan puisi untuk kita,” ungkapnya (Majalah Tempo, 10/8/09).
Hal senada disampaikan penyair Sutardji Colzoum Bachri. Sebenarnya Rendra tidak pergi. Ia akan selalu hidup sepanjang gagasan cemerlangnya masih mengisi denyut nadi generasi bangsa ini. Bagi penulis kumpulan puisi O Amuk Kapak (Sinar Harapan, Jakarta, 1981) ini, WS Rendra adalah pribadi besar. Sesuatu yang jarang ditemukan dalam tiap-tiap diri penyair di negeri ini. Pertautan antara pribadi kerakyat-jelataan dan kesungguhan dalam menapaki jalan kebudayaan adalah pembeda antara dia dengan penyair lainnya.
Kedua pendapat di atas mengingatkan saya pada tulisan Rendra di majalah lawas, Penabur, 1960, berjudul Menuju Kebudayaan Nasional. Di dalam tulisan tersebut, Rendra menyinggung kesejatian seorang seniman yang dapat mendewasakan simbol-simbol kebudayaan, yakni seniman yang mempunyai pribadi yang jelas. Pegangan hidupnya harus nyata. Sikap jiwanya harus tegas. Tujuan cita-citanya harus sehat dan satunya kata dan perbuatan.
Bagaimana dengan tokoh fenomenal Mbah Surip? Ia adalah seorang seniman jalanan, yang jelang tutup usia begitu familiar di kalangan masyarakat Indonesia, bahkan beberapa lagu hitsnya berhasil menduduki posisi teratas di tangga musik tanah air. Bagi Mbah Surip, sepanjang peradaban “gila” saat ini masih menjadi laku hidup manusia di negeri ini, sewaktu itu pula ia melawan dengan seperangkat ketulusan dan keikhlasan menjalani hidup dalam prosesi kemelaratan. Bahkan, dengan kejujurannya, dia harus hidup dalam dunia yang begitu asing di mata orang lain.
Rendra dan Mbah Surip dalam pandangan saya adalah dua sosok fenomena yang mengejutkan bumi manusia Indonesia. WS Rendra hidup, besar, dan berjuang melalui ketangkasannya dalam meracik kata-kata hingga mampu menyalakan semangat gerakan mahasiswa pada tahun 1970-1980. Bahkan, terus menerus sampai akhir hidupnya.
Dalam pada itu, yang jauh lebih penting, merujuk pendapat budayawan Radhar Panca Dahana, Rendra, dengan kerja dan pengorbanannya telah menciptakan kesadaran, menumbuhkan dan mendewasakan kebudayaan, mempertinggi khasanah, dan pemaknaan dunia simbolik. Di level itulah, negeri ini berjaya, dihormati dunia, mempertahankan integritasnya, dan melanjutkan tradisi kulturalnya yang tua (Majalah Intisari,9/09).
Begitu juga dengan Mbah Surip, dengan ketulusan dan kesederhanaan serta kesungguhannya menjalani laku hidup yang asing di mata banyak orang, ternyata pria kelahiran Mojokerto, 5 Mei 1957 ini mampu menyuguhkan pelajaran penting bagi peradaban yang kadung edan. Ia mengkritik betapa kekayaan yang melimpah, bagian daripada pemujaan terhadap harta dan kekuasaan tidak menghasilkan apa-apa, kecuali kehampaan yang meluas tanpa tepi. Masihkah kita ingat, ia selalu tertawa Ha..Ha..Ha..Inilah wajah kehidupan, penuh kepalsuan!
Dalam abad berlaring kencang sekaligus dalam amukan materialism sekarang ini, di mana sesungguhnya mereka berdua berada? Semasa hidup mereka tetap memilih kehidupan yang jauh dari hiruk-pikuk pemberhalaan terhadap harta dan kekuasaan. WS Rendra hidup di jalur seni. Begitu juga Mbah Surip hidup di sepanjang jalan, dimana lagu-lagu sederhananya bisa menghibur rakyat di kala pusing tujuh keliling oleh ulah para pejabat yang lihai mengkhianati amanah dari rakyat.
Saya tidak bermaksud membandingkan antara keduanya. Karena memang mereka memiliki maqam masing-masing. WS Rendra atau pun Mbah Surip telah mewakafkan hidupnya secara sadar sekaligus meyakinkan kita bahwa tugas adalah tugas, lain tidak!
Di dalam diri keduanya tersimpan daya hidup dan daya cipta, sebagaimana teringat oleh saya penggalan tulisan Kusnadi, pimpinan redaksi majalah Budaya, 1958, Menyambut 8 Tahun ASRI, berbunyi “Seniman menjadi pejuang dari pandangan-pandangan keindahan, yang bercita-cita dapat melaksanakan dalam ciptaan-ciptaan yang ingin disumbangkan kepada masyarakat sejaman, sebagai suatu sumbangan yang patut dihargai bagi ukuran peradaban dan kebudayaan bangsa atau pun dunia”.
*Tulisan ini terbit pertama kali di rubrik oase-esai portal kajanglako.com pada 2019.
0 Komentar