Raden Inu Kertapati (berpeci hitam) |
Oleh: Jumardi Putra*
Selasa, 17 Oktober 2017, Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Jambi menyelenggarakan diskusi bertajuk Peran Pemuda di Jambi Merebut Kemerdekaan RI. Helatan ini mengundang tiga narasumber yaitu Asrie Rasyid, BA (Pejuang Angkatan 45), Arif Rahim (Dosen Sejarah FKIP Universitas Batanghari) dan Wiwin Eko Santoso (Pengamat sejarah).
Selain membentangkan peran pemuda Jambi, sarasehan sejarah ini juga menyeruakkan sisi kontroversial sejarah perjalanan tokoh-tokoh di Provinsi Jambi, terutama mengenai mundurnya Sagaf Yahya sebagai Residen Jambi yang pertama pasca proklamasi, dan digantikan oleh Raden Inu Kertapati.
Menanggapi penggantian Sagaf Yahya, Wiwin Eko Santoso mengkonfirmasi langsung kepada H. Asrie Rasyid, BA, yang pernah duduk sebagai Kepala Bidang Humas Dewan Harian Daerah (DHD) Angkatan 45 Provinsi Jambi Masa Bhakti 1990-1994.
Sepenulusuran Wiiwin, tahun 1991, DHDA 45 Provinsi Jambi menerbitkan buku berjudul Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Kemerdekaan RI (1945-1949) di Provinsi Jambi. Di buku itu, terutama pada halaman 31 tertulis, bahwa pada awal tahun 1946 dr Sagaf Yahya, Residen pertama Jambi pasca proklamasi diganti Raden Inu Kertapati karena alasan kesehatan. Oleh karenanya, dr. Sagaf Yahya meletakan jabatannya kepada KNID Jambi kepada Gubernur Sumatera.
“Apakah benar dr. Sagaf Yahya berhenti karena alasan kesehatan, pak, sebagaimana termuat dalam buku cetakan 1991 itu?” tanya Wiwin.
Sebab, lanjut Wiwin, menurut buku karya R. Zainuddin dkk, Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Jambi, (1986:53), para pemuka rakyat dan pemuda tidak merasa yakin dr. Sagaf Yahya sebagai residen Jambi dapat menggerakkan massa karena yang dibutuhkan rakyat Jambi pemimpin yang militan dan berani. Oleh karenanya, KNID Jambi menasihati agar dr Sagaf Yahya untuk mengundurkan diri.
Dua versi buku itu sama-sama dibenarkan oleh Pak H. Asrie Rasyid. Hanya saja, H. Asrie Rasyid tidak ingin berpolemik apakah dr. Safaf Yahya mengundurkan diri atau diminta untuk meletakan jabatan residennya. Ia menambahkan Jambi kala itu membutuhkan figur pemimpin yang kharismatik seperti Raden Inu Kertopati. Saat yang bersamaan ketika itu memang dr. Safar Yahya dalam kondisi sakit-sakitan.
Selain pengunduran diri Sagaf Yahya yang masih menyisakan kontroversi, Ratna Dewi dari Seloko Institute, mengetengahkan gagalnya pelantikan H. Hanafie sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat 1 Jambi (lihat hasil pemilihan kepala Daerah oleh DPRD-Provinsi, 3 Maret 1958 dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri 2 April 1958).
Menurut Ratna Dewi, menyusul dua hari sebelum pelaksanaan pelantikan, Hanafie diterbangkan ke Palembang menghadap pihak operasi sadar Panglima TT. II Sriwijaya, lalu ditahan selama satu bulan di Palembang dan berlanjut lebih dari dua bulan di Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jakarta tanpa ada alasan kuat penahanannya sampai ia menjadi tahanan rumah, lalu dilepaskan dan kembali ke Jambi dengan Gubernur Jambi yang baru, yaitu M. Joesoef Singedekane. “Kenapa peristiwa semacam ini luput dari pembicaraan atau kajian dari para peneliti sejarah kita,” tanya Ratna Dewi.
Terhadap kedua peristiwa di atas, Arif Rahim, dosen sejarah UNBARI mengatakan aspek ideologi dan politik sangat kentara, terutama pada persoalan gagalnya pelantikan Haji Hanafi sebagai Gubernur Jambi pertama, yang sejatinya disetujui mayoritas anggota DPRD-Provinsi Jambi sekaligus ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri kala itu.
Asrie Rasyid, pejuang angkatan 45, mengamini bahwa gagalnya saudara Hanafie, yang ketika itu juga sebagai Ketua Badan Kongres Rakyat Daerah Jambi (BKRD), dilantik sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Jambi merupakan peristiwa politik.
Tulisan khusus mengenai gagalnya pelantikan Hanafie sebagai Gubernur Jambi dapat dibaca di link berikut ini: Hanafie Gagal Dilantik sebagai Gubernur Jambi
“Nah, sejauh ini belum ada penelitian serius yang menguliti warna-warni sejarah kontroversi seperti dua kasus di atas. Karena itu penguatan kerja-kerja riset/kajian melalui pendataan dan pengumpulan sumber data kearsipan dalam upaya menggairahkan studi sejarah di Jambi dan publikasi mengenai dinamika daerah yang saat ini disebut sebagai Jambi menjadi niscaya,” ungkap Dosen Sejarah FKIP UNBARI itu.
*Keterangan foto: Raden Inu Kertapati bersama Komandan militer Belanda Letnan Kolonel van Riedveld dan Jan Johannes van de Velde, asisten pemerintah teritorial (berpakaian putih. Duduk di belakang di sebelah tokoh agama)
0 Komentar