“Kerja arsip berdekatan dengan kesepian. Kitalah yang harus meramaikannya.” Begitu saya mengawali percakapan di hadapan para arsiparis dari Kabupaten/Kota se provinsi Jambi di sebuah hotel di Kota Jambi Juli
tahun lalu.
Dinas Perpustakaan dan Arsip Provinsi Jambi meminta saya
berbagi pengalaman mengakuisisi arsip perseorangan/tokoh (saya lebih condong
menyebutnya pengumpulan ketimbang pengambil-alihan). Meski demikian, percakapan
di antara kami tidak dibatasi semata oleh tajuk di atas, melainkan masing-masing pelaku
arsip, dengan leluasa mengisahkan pengalaman sekaligus menyampaikan
pandangannya tentang dunia kearsipan dewasa ini, terutama berkaitan dengan
sejarah dan budaya Jambi.
Akuisisi arsip tidak saja dilakukan oleh lembaga pemerintah,
tetapi bisa juga dikerjakan oleh perseorangan atau komunitas karena esensinya
adalah penyelamatan bukti rekaman kegiatan atau sumber informasi dengan
berbagai macam bentuk yang dibuat oleh lembaga, organisasi maupun perseorangan
berupa surat, warkat, akta, piagam, buku, dan sebagainya. Itu kenapa lembaga
arsip melekat pada dirinya sebagai pusat informasi sekaligus penunjang bagi
setiap aktivitas riset.
Keberhasilan mengakuisisi arsip perseorangan sangat
bergantung pada kemampuan pelaku arsip membangun kepercayaan dengan sang
pemilik, karena itu tak bisa bekerja sekali duduk, melainkan perlu fokus dan
konsistensi tingkat tinggi.
Ada banyak
contoh pengarsip tangguh di tanah air, sebut saja Misbach Yusa Biran sang arsif
film nasional, Pramoedya Ananta Toer (bersama Koesalah Toer dan Ediati Kamil)
sang arsip kronik sejarah Revolusi Indonesia, Muhidin M Dahlan sang arsip
majalah dan Koran lama tanah air, dan masih banyak nama-nama pelaku arsip beken
lainnya. Singkatnya, selain menyenangkan, akuisisi arsip juga kegiatan yang
menantang. Senang karena bertemu dengan pemilik arsip. Menantang lantaran
berjumpa pemilik arsip yang memiliki beragam latar belakang pendidikan, budaya
dan sebagainya.
Sedemikian pentingkah arsip bagi suatu daerah sehingga
mendesak diakuisisi? Di hadapan peserta ketika itu saya membacakan sepotong
sajak berbahasa Belanda dan pantun Melayu yang termaktub di halaman pertama
monograf berjudul “Jambi dalam Sejarah Nusantara: 692-1949 M” karya mendiang A.
Mukty Nasruddin (tidak diterbitkan dalam bentuk buku, 1989), berikut saya kutip
seutuhnya:
Wat verdwijne
En wat verschijne
In het verleden
Ligt het heden
In het nu
Wat komen zal
Kokok ayam bertalu talu
Kokok ayam bertalu talu
Hari siang disangka dalu
Jika mengenang zaman yang lalu
Menyadari kita selalu
(pantun melayu)
Sepintas sajak dan pantun di atas menunjukkan benang merah
bahwa arsip menjadi dokumen penting yang menautkan masa yang lampau sekaligus
pijakan bagi langkah ke depan. Dan, setiap arsip pasti ada pemiliknya atau
pembuatnya. Tidak ada arsip yang tanpa pemilik. Ketika pemilik sudah tidak ada
lantaran beberapa sebab, seperti meninggal dunia, lembaga
dihapus/digabung/diganti nama, atau sebab lain seperti terjadinya bencana atau
perang, maka jelas menyulitkan bagi pelaku arsip yang ingin mencari keberadaan
arsip yang bersangkutan, apalagi dikarenakan masih rendahnya kesadaran
pemahaman pemilik akan arti pentingnya arsip. Di titik ini berlaku adigium “memory can fail, but what is recorded will remain.”
Secara tradisional, orang Jambi secara perorangan atau
komunal sudah lama melakukan kerja-kerja kerasipan. Hal ini dibuktikan dengan
sering ditemukan “arsip” di pagu (loteng) rumah yang dimasukkan ke dalam tabung
bambu atau dibungkus kain dan dimasukkan (ke dalam pahatan) tiang utama di pagu
(loteng) rumah. Arsip itu berupa surat
hutang-piutang, surat pagang-gadai, dan ijazah serta foto-foto yang dibingkai
kaca, yang di belakangnya selalu tertera informasi.
Cara-cara demikian perlu penyegaran seiring kemajuan
teknologi serta menguatnya peran negara memelihara arsip sekaligus membuka
seluas-luasnya untuk kepentingan bidang pendidikan dan penelitian. Dalam pada
itu, membersamai dunia yang semakin kompleks dan bergerak cepat sekarang ini,
menyebabkan bertambah pula jumlah arsip yang dihasilkan, maka manajemen arsip
secara elektronik (arsip online) boleh dikata sebagai salah satu infrastruktur
pengarsipan yang relevan kita ketengahkan. Apa sebab? Jumlah arsip yang semakin
banyak dari waktu ke waktu jelas membutuhkan penanganan yang baik agar
informasi yang terkandung di dalam arsip tersebut dapat ditemukan dengan cepat
dan tepat.
Bahkan saat ini, lewat media sosial orang-orang dengan
sukarela menjadi bagian dari pengarsip sekaligus arsip itu sendiri. Arsip
online telah menjadi bagian penting bagi kehidupan kita. Internet sejauh ini
telah terbukti menjadi mesin penyimpan tak terbatas hampir seluruh warisan ilmu
pengetahuan dunia. Buktinya, di tengah pandemi korona sekarang ini tak sedikit
perguruan tinggi, pusat-pusat studi, lembaga penelitian, dan bahkan individu
penulis membuka seluas-luasnya akses literatur milik mereka bagi publik secara
gratis.
Kerja pengarsipan secara online, untuk menyebut
contoh, secara bertahap berhasil dilakukan oleh Perpustakaan Nasional dan Asip
Nasional Republik Indonesia (ANRI) melalui aplikasi
https://www.perpusnas.go.id/ dan https://www.anri.go.id/. Ribuan arsip sejarah
dari berbagai daerah di tanah air berhasil dikumpulkan, lalu disimpan ke dalam
wujud digital. Upaya tersebut jelas langkah maju untuk memastikan kehadiran
negara dalam menyelamatkan harta karun bangsa. Baru-baru ini, seiring seruan
stayathome di tengah pandemi korona, Perpusnas membuka akses secara online ribuan arsip naskah kuno di alamat http://khastara.perpusnas.go.id.
Di luar inisiasi pemerintah dan jalur perguruan tinggi,
kerja demikian juga dilakukan IVAA (Indonesian Visual Art Archive), sebuah
organisasi nirlaba di Yogyakarta (berdiri sejak 2007) yang melakukan
pengumpulan dan eksplorasi arsip seni, sekaligus fasilitasi penelitian melalui internet dan ruang fisiknya. Berlimpah arsip seni yang dengan mudah dapat
diakses oleh pembaca, dan bahkan bisa juga melihat secara langsung arsip
fisiknya ke IVAA.
Kerja serupa, meski dengan fokus garapan arsip berbeda,
Indonesia Boekoe (I-Boekoe) yang beralamat di Jalan Patehan Wetan, Kraton,
Yogyakarta, berhasil mengumpulkan arsip lama berupa majalah dan koran. Kerja
keras mereka membuahkan hasil riset kepustakaan yang menakjubkan, seperti buku
100 Tahun Musik Indonesia; karya lengkap Tirto Adi Soerdjo, perintis
persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia; Kronik Kebangkitan
Indonesia 1908-1912; Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia; Seabad
Pers Kebangsaan: 1907-2007; dan masih banyak lainnya.
Bagaimana di Jambi? Dari sedikit kerja pengumpulan arsip
secara online, untuk menyebut contoh, terdapat weblog Jambistudies
http://jambistudies.blogspot.com/, yang dinahkodai MH. Abid, Widodo dan Jhoni
Imron. Weblog yang digagas tiga orang muda ini fokus mengumpulkan dan mendokumentasikan
banyak hasil studi berkenaan dengan wilayah yang sekarang disebut sebagai
Jambi.
Hasil studi itu bisa berupa tesis dan disertasi, laporan penelitian,
artikel di jurnal ilmiah, buku dan bagian buku terkait Jambi, paper konferensi,
catatan dan arsip lama, hasil wawancara, serta artikel koran yang dianggap
penting. Dalam bentuknya yang populer, arsip online tentang kanekaragaman
budaya Jambi, ditulis dalam bahasa Inggris, juga diprakarsai oleh pasangan
Amerika yang bertempat tinggal di Provinsi Jambi, Sumatra dari tahun 2009-2015
(Lebih lanjut lihat: https://sumatfeet.wordpress.com/).
Mengamati kerja kearsipan online, baik secara kelembagaan
maupun pereorangan, membawa kita pada satu titik pangkal bahwa semakin terbuka
luas kesempatan bagi tangan-tangan kreatif untuk ambil bagian mengumpulkan
sekaligus mengeksplorasi arsip tentang tokoh maupun sejarah dan budaya suatu
daerah.
Khusus di Jambi, sependek penelusuran saya, kita belum memiliki arsip
online maupun fisik yang secara spesifik mengumpulkan dan mengeksplorasi arsip
seputar sejarah partai politik Masyumi Provinsi Jambi, sejarah organisasi keagamaan seperti Nahdhatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah, pers lokal, karya dan komunitas seni, komunitas adat, politik
lokal, Tionghoa dan sejarah transmigrasi di Jambi. Tentu masih banyak hal
menarik lainnya yang bisa jadi abai kita perhatikan aspek kearsipannya selama
ini. Jadi, tunggu apalagi, mari ikut ambil bagian.
*Tulisan ini terbit pertama kali di rubrik Perspektif portal kajanglako.com
pada Jumat, 8 Mei 2020.
0 Komentar