Penyerahan perhiasan oleh Jambi Kepada Belanda.* |
Oleh: Jumardi Putra*
Penulisan sejarah Jambi boleh dikata masih belum berkembang,
tetapi terus tumbuh. Meski bukan suatu yang mustahal, menyibak tirai masa
lampau Jambi, terutama fase awal Melayu Kuno (abad ke-7 atau tahun 680 Masehi),
dan masa pendudukan Sriwijaya abad ke-7 sampai 13 (kedua fase ini bercorak
Hindu-Budha) hingga masuknya Islam pada pertengahan abad ke-15, hanya
bersandarkan pada literatur yang terbatas sekaligus terserak di banyak tempat
(terutama di luar tinjauan arkeologi), jelas sebuah pekerjaan yang amat tidak
mudah.
Namun, dengan tetap mendorong setiap upaya penguatan studi
Jambi terhadap pelbagi kajian dalam rentang waktu tersebut di atas, setidaknya
sebagian dari kita bisa memulai riset dinamika Jambi sejak diterapkannya sistem
pemerintah Belanda pada tahun 1906, yaitu setelah dihapuskannya Kesultanan
Jambi.
Salah satu hasil penelitian yang mengisi celah kosong riset
gerakan sosial paska keruntuhan Kesultanan Jambi (baca: Sumatraans Sultanaat en
Koloniale Staat: De Relatie Djambi-Batavia (1830-1907) karya Elsbeth Locher
Scolten yang terbit pada tahun 1994, hingga rakyat di daerah ini berjibaku
melawan kolonial Belanda, dan puncaknya terjadi pemberontakan pada tahun 1916
yang terkenal dengan perang sarikat, adalah disertasi Jang Aisjah Muttalib
dengan judul Jambi 1900-1916: From War to Rebellion di Universitas Columbia,
Amerika Serikat (1977).
Selain dalam bentuk disertasi, Jang Aisjah Muttalib juga
menulis artikel panjang di jurnal Prisma, No 8 tahun 1980, berjudul “Suatu
Tinjauan Mengenai Beberapa Gerakan Sosial di Jambi pada Perempatan Pertama Abad
ke 20” hal 26-37; "Social Movements in Jambi During the Early 20th
Century", Prisma: Indonesian Journal of Social and Economic Affairs, 22
(1981).
Karya perempuan kelahiran Bangka, 16 Juli 1942 ini menunjukkan
terjadinya peralihan gerakan perlawanan rakyat melalui pergerakan sosial pada
perempatan pertama abad 20 terhadap kolonialisme Belanda dari penguasa
kerajaan, yakni sultan, ke rakyat petani.
Pemberontakan masyarakat lokal berjuluk Sarikat Abang
(selanjutnya ditulis SA) yang memuncak pada tahun 1916 di beberapa daerah
pedalaman Jambi tidak saja menyasar para pejabat dan tentara kolonial Belanda,
tetapi juga beberapa elit lokal yang menjadi panjang tangan Belanda, seperti
Demang sebagai kepala distrik (jabatan di bawah kontroleur yang dibuat untuk
memudahkan komunikasi pemerintah Belanda dengan penduduk dan kepala-kepala
dusun/marga yang dikepalai seorang pesirah).
Meski bukan khas Jambi, tipologi pemberontakan Sarikat Abang
menyerupai gerakan messianis (Ratu Adil), sebagaimana yang juga menjadi salah
satu kesimpulan sejarahwan Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani di
Banten 1888, yaitu menggunakan tarekat sufi sebagai landasan organisasi.
Hal
senada dikatakan Kuntowijoyo bahwa gerakan Mesianisme khas abad ke-19 merupakan
percampuran antara tradisi pedesaan dan magi serta pemujaan nenek moyang dan
orang keramat (lihat Kuntowijyo, Masyarakat Desa dan Radikalisasi Petani, dalam
buku “Petani, Priyayi, dan Mitos Politik”, Labirin dan MataBangsa, 2017).
Pandangan sejarahwan tersebut sejalan dengan A.P.E. Korver
dalam bukunya “Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil” (Grafiti Press, 1985). Salah
satu bukti yang menguatkan simpulan Kover, yaitu 6 Agustus 1916, terjadi
pemberontakan/perlawanan bersenjata di Muara Tembesi. Para pemberontak
menyerang tangsi polisi bersenjata, memaksa membuka penjara, dan membakar
kantor pos Belanda. Dari Muara Tembesi kerusuhan kemudian menyebar dengan cepat
ke daerah pedalaman di Jambi.
Selain itu, Korver juga menyebutkan keunikan sekaligus yang
membedakan Sarekat Islam (selanjutnya ditulis SI) dengan Sarikat Abang (SA)
adalah Sarikat Abang kental dengan nuansa mistik sebagaimana laiaknya sebuah
tarekat. Hanya saja kalau tarekat seringkali fatalistik, namun “Tarekat Sarikat
Abang” lebih radikal. Lukman Hakim, dkk, dalam buku berjudul Sejarah Perlawanan
Rakyat Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Jambi, Perpustakaan Nasional,
1983, mengatakan Serikat Abang (merah) merupakan pecahan (kalau bukan
pengerasan) dari Serikat Islam.
Berbeda dengan Sarikat Abang yang tergolong
radikal, anti Belanda, sangat terpengaruh ajarah sufi, tarekat dengan sebutan
“Ilmu Abang”, sedangkan Serikat Islam (putih) adalah organisasi resmi yang
bergerak di bidang sosial keagamaan, bersikap moderat, serta anggotanya lebih
didominasi oleh pegawai dan golongan kelas menengah.
Lagi, perlawanan Sarikat Abang tidak terkoordinir, bersifat
spontan dan berciri lokal, serta berumur singkat. Meski begitu aksi
pemberontakan SA telah mengakibatkan korban tewas di kedua belah pihak dalam
jumlah yang tidak sedikit.
Hal demikian dapat kita lacak melalui Gerakan Alam
Bidang pada tahun 1909 di Desa Lubuk Resam, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten
Bungo-Tebo; yang disusul di beberapa daerah lain melalui Gerakan Imam Mahdi di
Lubuk Gasing Kecamatan Bangko, Kabupaten Sarolangun-Bangko, kemudian peristiwa
Kademang Ali tahun 1914 hingga puncaknya terjadi pada Oktober 1916.
Sejarahwan Mestika Zed dalam disertasinya di Universitas
Amsterdam (1991), yang kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul Kepialangan
Politik dan Revolusi: Palembang 1900-1950, terbit pada tahun 2001 (LP3ES),
terutama mengenai Perang Serikat Abang-sub bab tentang Kolonialisme dan Kaum
Pergerakan, 1900-1942 (halaman 135-141) menyinggung tentang munculnya
pemberontakan Sarikat Abang (1915) dalam masa aktif organisasi Serikat Islam
(sejak 1913) di Kota Palembang hingga meluas ke daerah-daerah pedalaman di
Palembang, tak terkecuali di daerah perbatasan antara Surulangun, Ibu Kota
Distrik Rawas, Keresidenan Palembang dengan Sarolangun-daerah Keresidenan
Jambi.
Meski dibantah oleh pengurus SI Kota Palembang, kemunculan pemberontakan
Sarikat Abang jelas meninggalkan kesan amat mendalam di kalangan penduduk
setempat dan pemerintah kolonial. Tak syak, pihak Belanda menerapkan pengawasan
secara ketat, terutama pengawasan bagi pejabat Bumi Putra, seperti Pesirah di
setiap Distrik di Palembang agar mereka memantau gerakan di tengah masyarakat.
Dari buku Mestika Zed itu, yang didukung sumber literatur
kolonial sezaman, kita bisa mengetahui, meski isu kewajiban pajak dan kerja
rodi berlaku untuk semua distrik di wilayah Karesidenan Palembang, Rawas
menjadi pusat SA dikarenakan jauh dari pusat pantauan Belanda di Kota Palembang
sekaligus berbatasan dengan Jambi (Sarolangun) yang tingkat pengawasan Belanda
tergolong lemah. Di sini lah, hemat
saya, gerakan SA Palembang dan di Jambi menemukan titik singgung antara
keduanya.
Bahkan, Mestika Zed juga menjelaskan agak detail pola transmisi paham
keagamaan yang melatari gerakan Sarikat Abang dari beberapa tokoh lokal yang
terhubung dengan tokoh-tokoh di luar daerahnya hingga ke pulau Jawa.
Singkatnya, mengutip pendapat Michael Adas, dalam The Prophets of Rebellion:
Milenarian Protest Movements against the Colonial Order (Chapel Hill: The University
of North Carolina Press, 1979); James C. Scott, Moral Ekonomi Petani (Jakarta:
LP3ES, 1985), Mestiza Zeid dalam buku Kepialangan Politik…(Ibid, hal 137)
mengatakan, radikalisme gerakan SA kemudian berpadu dengan propaganda dan isu
politik meniru organisasi modern seperti kelompok SI. Gerakan yang menebarkan
semangat perang “Sabil” dengan jumlah pengikut yang semakin lama semakin
membesar ini sesungguhnya dapat pula ditemukan di dalam gerakan protes sebagian
besar negeri jajahan Eropa di Asia Tenggara.
***
Dari sedikit literatur yang berkaitan gerakan seputar
pemberontakan Sarikat Abang di Jambi menyiratkan satu hal utama, yakni masih
terdapat celah penelitian yang bisa dilakukan guna menyibak tabir sumir gerakan
tersebut baik dari sisi politik gerakan, tahapan perkembangan gerakan,
keterhubungan antara elit/tokoh maupun pandangan keagamaan yang melatari
gerakan, sehingga slogan “perang sabil”(perang suci) dan penantian akan Imam
Mahdi yang menjadi ciri umum gerakan anti Belanda di Indonesia, tak terkecuali
di Jambi, menegaskan agama masih memainkan peran penting dalam kehidupan
rakyat.
Selanjutnya, selain tentang munculnya beragam respon
masyarakat agama (non Islam) di Belanda terhadap Gerakan Sarikat Abang di Jambi
yang bercorak millenearisme, sebagaimana termuat di dalam koran-koran berbahasa
Belanda masa itu, juga penting bagi kita mengetahui lebih jauh perbedaan antara
Sarikat Abang dan Sarekat Islam (di Jambi dengan daerah di luarnya) dan atau
titik singgung antara keduanya, yang sama-sama memadukan sentimen nasionalisme
dengan semangat keagamaan dalam melawan kolonialisme Belanda.
Bertolak dari hal demikian, redaksi Kajanglako.com akan
menghadirkan rubrik khusus “Jejak” yang memuat serial tulisan terjemahan
disertasi Jang Aisjah Muttalib. Seri terjemahan ini dikerjakan oleh Ratna Dewi,
peneliti Seloko Institute, dan tayang dua kali dalam sepekan. Adapun rencana
penerjemahan ini diketahui oleh Pak Samsurijal, pihak keluarga mendiang Jang
Aisjah Muttalib.
Serial terjemahan ini ke depannya diterbitkan menjadi buku
utuh, tentu diawali dengan penyuntingan sekaligus pengantar ahli serta
bekerjasama dengan lembaga/organisasi yang menaruh komitmen pada
pengarus-utamaan penulisan maupun publikasi sejarah lokal di Indonesia. Bersamaan hal itu, sepanjang serial terjemahan
ini hadir ke hadapan pembaca tiap pekan, masukan dari tuan dan puan sangat
diperlukan.
Kehadiran rubrik ini tidak tiba-tiba. Jauh
sebelumnya, sekira enam tahu lalu, desertasi Jang Aisjah (cetak ulang versi UMI
Company, Nomor 9533627, 1995) menjadi salah satu literatur yang kerap
disinggung antar sesama peminat studi Jambi, terutama di lingkup Seloko Institute, pusat studi sejarah dan
budaya Jambi. Terlebih Jang Aisjah, dalam pengantar disertasinya, mengatakan
memilih Jambi dikarenakan karakteristiknya yang unik.
Masyarakat Jambi bukan
hanya menyerap banyak elemen budaya Minangkabau tetapi juga Jawa. Jang Aisjah
melihat masyarakat Jambi sebagai campuran dua sistem kekerabatan; matrilineal
dan patrilineal. Kemudian Jambi juga memiliki dua jenis pemerintahan;
demokratis dan hirarkis. Dengan mempelajari Jambi, tulis Jang, kita akan
melihat contoh bagaimana masyarakat yang terisolasi di luar Jawa menyesuaikan
diri dan merespon tuntutan kolonialisme Belanda abad ke-20.
Kehadiran rubrik berisikan serial terjemahan disertasi Jang
Aisjah ini melengkapi rubrik khusus yang telah lebih dulu ada di portal
kajanglako.com sedari kelahirannya sejak tiga tahun lalu, yakni rubrik Telusur
yang diampu oleh antropolog Frieda Amran, yang kini mukim di Belanda. Rubrik
telusur memuat seri laporan Ekspedisi Sumatra Tengah (Midden Sumatra Expeditie:
1877-1879 karya D.D. Veth, Jhon F. Snellmen, AL van Hasselt, dan Jhon Schouw
Sanvoort), yang diinisiasi oleh Koninklijke Nederlandsche Aardrijkskundige
Genootschap (KNAG) Perhimpunan Ilmu Bumi Kerajaan Belanda. Selain rubrik
telusur, terdapat rubrik Sosok, memuat seri intelektual publik dalam maupun
luar negeri, yang diampu oleh peneliti senior LIPI (purnatugas) yakni Dr.
Riwanto Tirtosudarmo.
Akhirnya, kami berharap serial terjemahan disertasi Jang
Aisjah Muttalib ini, selain bisa segera dituntaskan pembacaannya oleh umum,
juga dapat memantik para akademisi, peneliti dan para pegiat sejarah, terutama
mahasiswa ilmu sejarah di FIB Universitas Jambi, untuk meneliti lebih lanjut
seputar gerakan perlawanan rakyat Jambi terhadap kolonialisme dan imperialisme
Belanda.
*Pengantar rubrik serial terjemahan disertasi Jang Aisjah
Muttalib berjudul Jambi 1900-1916: From War to Rebellion (1995) di portal
kajanglako.com. Tulisan ini terbit di rubrik Jejak portal kajanglako.com pada Jumat, 8 Mei 2020.
*Keterangan foto: kiri ke kanan: Pengikut Residen Palembang;
Kontroler [..]; pangeran Ratu Martaningrat yang diasingkan; Kemas Kadir; warga
JA van Rijn van Alkemade; OL Helfrich [asisten sementara untuk Jambi]; dan
Pangeran Praboe Nega.
0 Komentar