Oleh: Jumardi Putra*
Saya tidak tahu kalimat apa yang tepat menggambarkan
kebersamaan kita hampir sebulan ini, kecuali “Yen Becik, Ayo Bareng” (Kalau
Baik, Mari Bersama). Orang Lombok menyebutnya, “Lamun Te Bagus, To
Barang-Barang.” Orang Singkil (Aceh) mengistilahkan, “Muda Mende, Aci
Khebak-khebak.” Pun orang Madura menyebutnya, “Maguh pidheh, mayuh papadheh".
Perbedaan masing-masing kita, baik sebagai pemeluk agama
Islam, Kristen, Katolik, Budha, Penghayat Aliran Kepercayaan maupun sebagai ras
dan suku, nyatanya tidak membuat masing-masing kita kesulitan berbagi cerita, pikiran dan pengalaman tanpa perlu harus saling
merendahkan, apalagi membenci.
Keberagaman kita menegaskan bahwa “identitas” tidak tumbuh
dalam ruang “kedap suara.” Dengan caranya masing-masing, beberapa hari ini,
satu sama lain menceritakan (atau lebih tepatnya mendialogkan) “Who am I?” atau
yang lazim disebut “identitas,” baik yang melekat maupun yang dilekatkan.
Menyeruak “sejarah” yang berkelindan, saling-tukar, dan saling mengisi
identitas itu sendiri. Begitu juga kebalikannya; politik (pe)rukunan,
uniformitas, diskriminasi, serta prasangka kultural (generally good dan
generally bad) yang selalu dipupuk hingga kini.
Secara terbuka itu semua kita “bongkar”, tidak dalam ranah
teologis (yang selama ini dikaburkan ke dalam dua wajah: relativisme atau pun
sinkretisme), tapi secara sosiologis dan institusionalitas, guna mengasah afeksi
sosial kita tentang “kesetaraan” sekaligus cerita-cerita lain yang mengingkari
hal itu.
Untuk apa? Memastikan rahmat keragaman di republik ini
sedang dihadapkan pada ancaman: perubahan demografis, relasi sosial,
ketimpangan struktural, dan penunggalan identitas, baik oleh negara ataupun
“aktor-aktor” yang menggunakan alat negara untuk meluluskan paham atau sikap
anti-keragaman ke dalam bentuk kebijakan atau bentuk-bentuk lainnya.
Relevan kiranya kita menghayati pandangan Buya Syafii
Maarif berikut ini, “Tuhan telah menciptakan keberbagaian, tetapi sebagian
manusia justru memilih serba uniformitas yang dapat mematikan ketulusan dan
kejujuran. Akhirnya, berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara dalam perbedaan
berhenti sebagai slogan.”
*Kesan-pesan lepas belajar bersama kawan-kawan SPK CRCS UGM Advance, 2017.
0 Komentar