“Beratnya
muatanku tak seberat rinduku padamu,” begitu teks di bokong sebuah truk saya
jumpai saat menuju Kota berjuluk Bumi
Langkah Serentak Limbai Seayun, Kabupaten Bungo, belum lama ini.
Peristiwa
serupa kerap saya dapati saat bepergian ke daerah-daerah dalam provinsi Jambi. Begitu juga suatu kali saat penulis menempuh perjalanan dari Semarang menuju Blora,
Rembang, Jepara, Kudus, dan kembali lagi ke ibukota yang dikenal luas dengan
Museum Lawang Sewu itu.
Agaknya
berpapasan dengan bodi truk bertuliskan kata-kata lucu, ironi, sensasional,
nakal dan penuh intrik, tak lain itu adalah kisah seru sebuah perjalanan.
Acapkali kita dibuat terperangah, terhibur, atau bahkan tersindir oleh
kata-kata tersebut.
Tak jarang saya mesti menguntit sebuah truk sampai mendapatkan foto teks dalam posisi ideal. Terkadang saya harus meminta izin pada sopir. Terang saja sang sopir menunjukkan raut wajah keheranan, meski berakhir dengan senyuman.
Pengalaman demikian itu seolah menyiangi pandangan sebagian orang perihal kesan negatif truk di jalanan, lebih-lebih konvoi truk pengangkut Batubara yang muatannya melebihi tonase yang dapat merusak jalan, lajunya yang kencang membuat pengendara lain tak tenang, dan bahkan telah memakan tidak sedikit korban.
Tersebab
menggunakan kendaraan travel menuju Kota Bungo, sudah barang tentu saya
berinteraksi dengan penumpang lainnya. Rupanya Andre, salah seorang penumpang
juga menyimpan ceritera serupa berkaitan teks di badan truk.
“Bila
sopir kawin lagi, silahkan menghubungi no hp +6852….”
“Bukan
salah ibu mengandung, salah bapak nggak pake sarung”;
“Jangan
dinikahi bila segel rusak”
“Dah
lama gak gitu, eh pas gitu gak lama”, dan
“Cintamu
tak semurni bensinku”.
Demikian
Andre membacakan beberapa potong teks di pantat truk yang membuat kami semobil
dibuat tertawa terpingkal-pingkal.
Kita
sebut fenomena ini sebagai apa? Sebagian besar dari kita, jauh
sebelum jalur penerbangan menjadi primadona transportasi publik, jalan darat
dengan segala pernak-perniknya menyimpan banyak cerita, salah satunya menjumpai teks-teks di bokong dan badan truk. Hanya saja sekarang ini sudah
jauh berkurang.
Beragam
teks tersebut lebih mengandung nilai seni yang otonom sekaligus khas, daripada
memajang iklan produk kecantikan atau memajang poster calon anggota legislatif, calaon Bupati, atau calon-calon lain yang piawai menampilkan senyuman menipu, membosankan dan sarat
dengan kepentingan politik jangka pendek.
Selain itu, kepiawaian penulis teks di badan truk jelas menunjukkan kemampuan mengolah wacana, menangkap realitas yang majemuk, serta problematika kehidupan sehari-hari kaum papa, utamanya isu ekonomi seperti teks berikut ini:
“Pulang
malu tak pulang rindu, Demi anak istri”
“Jangan
ditabrak! Hutang Belum lunas”
“Bukannya
Aku tak memperhatikanmu, tetapi Aku sibuk bekerja untuk membahagiakanmu”
“Aku
kerja keras, karena aku yakin untuk halalin Kamu tak cukup dengan cinta", dan
“Bersatu di pangkalan bersaing di jalanan”.
Kali
lain kita bisa menjumpai percikan teks berhubungan soal agama:
“Ridhlo
Illahi, Utamakan sholat”, dan bahkan sedikit satire “Ngebut adalah ibadah.
Semakin ngebut semakin dekat dengan Tuhan".
Rasanya
ke depan saya perlu mewawancarai si penulis teks di badan truk,
kira-kira apa yang melatari pilihan beragam teks tersebut.
Membaca
teks-teks di badan truk secara “hitam-putih”, hemat saya di samping tidak
memberi makna apa-apa bagi kita, juga menutup kesempatan kita belajar secara
arif tentang realitas dunia para sopir lengkap tenunan pengalaman mereka.
Jalanan
itu dunia yang keras. Menjadi sopir juga tidak gampang, apatahlagi dalam
situasi ekonomi tidak menentu. Luapan perasaan sang sopir dan profesi yang
digelutinya tampak terang benderang, sebagaimana teks berikut ini:
“Pergi
jelas, pulang entah kapan, hasil pas-pasan”
“Putus
cinta sudah biasa, putus rokok merana, putus rem matilah kita”
“Cintaku
berat di bensin”, dan
“2
Anak cukup, 2 istri bangkrut. Selingkuh Oke!”.
Meminjam
pandangan semiotika Roland Barthes, wacana (teks) tertulis di badan truk
tersebut tak lain merupakan sistem komunikasi yang memuat pesan. Beragam teks
di badan truk menjadi cerminan permasalahan sosio-kultur sebagian besar
masyarakat akar rumput di Indonesia, yang melulu berkutat pada isu ekonomi,
kriminalitas, perselingkuhan, krisis spiritualitas, distribusi keadilan yang
tidak merata, serta kenyataan-kenyataan kecil yang paling fundamental yang
kadang luput dari perhatian.
Tidak
berlebihan kalau saya menyebut dunia sopir adalah ruang pergulatan yang
menjanjikan banyak sisi untuk ditilik. Di satu sisi, ia dikenal sebagai profesi
yang kerap bertugas berhari-hari di luar kota bahkan harus ke luar pulau dengan
meninggalkan anak dan istri, tetapi di saat yang sama beban serta godaan yang
tidak begitu enteng berada di pundaknya sepanjang jalan. Singkatnya, dunia
sopir menyerupai kepadatan yang menguras emosi dan energi, yang terkadang jatuh
dan mengeluh pada batas-batas harapan sendiri.
Acapkali
sopir truk tampil urakan. Bau keringat yang menganggu. Ada juga yang menjadi
pengunjung setia warung-warung remang di bibir jalan. Meski begitu, saya berkeyakinan sebagian besar mereka adalah orang-orang baik. Mereka manusia biasa. Mungkin
mereka datang dari kalangan muda yang menanggung ekonomi keluarga, dan saat
yang sama didesak kepastian oleh calon mertua. Mungkin mereka ayah dari
beberapa anak, suami yang setia pada belahan jiwanya. Suami yang mendambakan
anak-anaknya, sebagaimana digambarkan oleh Rabindranath Tagore,“Berbahagialah
engkau, duduk di tanah, bermain dengan ranting patah sepanjang pagi.”
Teks-teks
di bokong truk adalah wajah kita. Sebagian kehidupan kita tersaji di situ. Ada
banyak filosofi hidup yang bisa dimaknai lebih dalam. Meski bisa jadi teks-teks
tersebut muncul karena iseng belaka, tapi jika didalami, banyak pesan penting
yang dapat menjadi i’tibar bagi
sesiapa saja.
Barangkali
Gubernur, Bupati/Wali Kota di Provinsi Jambi atau calon kepala daerah yang akan berlaga,
sekali-kali perlu memahami kandungan filosofis tulisan di badan dan bokong truk
itu, seperti percikan kalimat berikut ini:
“Anda
melucuti waktu untuk penumpukan harta dan kenyamanan. Kami butuh uang melunasi
hutang”.
Tidakkah ini tentang ketimpangan pendapatan yang masuk akal, yang kadang luput dari perhatian pengambil kebijakan?
*Esai
ini terbit pertama kali di rubrik oase portal kajanglako.com pada 1
Juni 2020.
0 Komentar