Oleh: Jumardi Putra*
Saya masih ingat, selain Budayawan Jafar Rassuh, sejarawan
Fakhrudin Saudagar, perupa Fauzi dan beberapa akademisi dari Universitas Jambi,
UIN STS Jambi, STISIP NH Jambi, dan kawan-kawan dari LSM, Datuk Sulaiman selalu
menyempatkan hadir dan antusias mengikuti jalannya diskusi. Berempat nama itu,
plus sesekali hadir budayawan Junaidi T. Noor, banyak memerankan sebagai
penanggap sekaligus penggugah semangat. Dari situ saya mengetahui Datuk
Sulaiman selain antusias juga aktif terlibat. Beliau tak canggung bertanya,
tetapi juga bisa berpanjang-panjang menjawab sebuah pertanyaan, apatahlagi
mengenai geneologi Melayu Jambi.
Gawai saya bertubi-tubi menerima pesan pendek via aplikasi
WhatsApp dengan isi senada dan foto sosok lelaki yang sama: H. Sulaiman Hasan,
tokoh adat Melayu Jambi bergelar Datuk Bandar Paduko Batuah, telah berpulang ke
haribaanNya.
Sejenak saya terdiam. Tanah Pilih Pusako Betuah, Kota Jambi,
kehilangan sosok berdedikasi, setelah belum genap setahun sebelumnya, budayawan
Junaidi T. Noor mangkat. Menyeruak di pikiran saya kenangan bersamanya semasa hidup.
Muncul rasa bersalah lantaran cukup lama tak mengunjungi sesepuh satu ini.
Sebagai
orang terdekat, rasanya belum. Tetapi hampir tiga tahun, 2011-2014, saya intens
berjumpa dan berdiskusi dengannya. Semasa beliau sehat, saya kerap berkunjung
ke rumahnya di Lorong Batuah Kelurahan Mayang Mangurai, Kecamatan Kotabaru.
Agaknya cukup bagi saya mengenal sosok pria kelahiran Desa Teluk Pandak,
Kecamatan Tanah Sepenggal, Kabupaten Bungo, 31 Desember 1942 ini.
Tahun 2012-2013, difasilitasi oleh Dewan Kesenian Jambi
(DK-Jambi) semasa kepemimpinan Aswan Zahari, penulis bersama Datuk Sulaiman
Hasan, Dr. Maizar Karim dan sejarawan Fakhrudin Saudagar (keduanya Dosen FKIP
Universitas Jambi) serta Datuk Herman Basyir, sekretaris Lembaga Adat Melayu
(LAM) Provinsi Jambi, menginventarisasi ribuan Seloko Adat Melayu Jambi dari
berbagai daerah di Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah. Bersama mereka, saya
berkesempatan bincang-bincang banyak hal selain seloko, yakni tentang sastra
daerah dan sejarah Jambi. Kini, dari keempat nama itu, hanya tersisa Dr. Maizar
Karim (Allahu yarhuum).
Gayung pun bersambut. Sepanjang 2012 sampai awal 2014,
DK-Jambi memiliki program diskusi rutin yang dinamai Forum Uncang Budaya (FUB)
Jambi. Diksi “Uncang” ini pertama kali disematkan oleh budayawan Junaidi T.
Noor saat diskusi berlangsung di ruang rapat kantor Jambi Ekspress. Diskusi ini
beberapa kali digelar di banyak tempat, tapi umumnya di sekretariat DK-Jambi di sayap kiri Gedung Olah Seni (GOS) Kotabaru. Melalui forum ini
berbagai topik tentang sejarah dan budaya Jambi dibentangkan oleh pemantik dari
dalam maupun luar negeri.
Hadir sebagai pemantik diskusi di forum ini ketika
itu, untuk menyebut contoh, seperti jurnalis dan sastrawan Elisabeth D.
Inandiak (Prancis), antropolog Dr. Jonathan Zilberg (University of Illinois at
Urbana-Champaign, USA), antropolog Dr. Adi Prasetidjo (Yogyakarta), antropolog
dan Direktur Yayasan LKiS Hairus Salim (Yogyakarta), pengacara senior kelahiran
Tungkal, Kamal Firdaus (kini mukim di Yogyakarta), antropolog Prof. Muntolib
(Guru Besar UIN STS Jambi), dan peneliti sejarah Tanjung Jabung Barat, Syamsul
Bahri. Pada momen lainnya, masih di DK-Jambi, pernah hadir intelektual-aktivis
Roem Topatimasang dan Mahmudi (keduanya sesepuh INSIST Yogyakarta).
Pengalaman serupa ketika penulis bersama Datuk Sulaiman
Hasan dan Dr. Ali Muzakir (Dosen UIN STS Jambi), diundang Direktorat
Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, mengikuti dialog
Melayu se-Asia Tenggara pada 3-5 Desember 2012 di Pekanbaru. Meski kondisi
fisiknya tak lagi muda, berambut tipis putih seluruh, beliau tetap semangat
mengikuti seluruh rangkaian kegiatan. Galibnya di Jambi, di forum itu Datuk
menggunakan pakaian khas Jambi. Yang menarik buat saya, tepat saat panel
diskusi mengenal Sejarah Melayu oleh panelis yang datang dari berbagai
Universitas di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara, salah satunya yang saya
ingat sejarawan Dr. Bondan Kanumuyoso dari Universitas Indonesia, menyampaikan jaringan pelayaran Melayu.
Agaknya, karena tidak tersebut Jambi dalam kertas
kerja maupun penyampaian panelis, Datuk dengan semangat menggunakan sebaik
mungkin sesi pertanyaan. Dalam kesempatan itu beliau tidak bertanya, tapi
justru menyampaikan pendapatnya yang menempatkan Jambi dalam konteks
sejarah pelayaran Melayu. Sesuatu yang amat penting menurutnya, apatahlagi
merujuk hasil seminar internasional Melayu Kuno tahun 1992 di Kota Jambi semasa
kepemimpinan Gubernur Jambi Abdurrahman Sayoeti.
Soal isi pendapat Datuk ketika itu, galibnya saya ketahui sepanjang berdiskusi antara sesama pegiat sejarah di
Jambi, sah-sah saja berbeda dengan disertai argumentasi dan data masing-masing.
Poin saya adalah, betapa Datuk Sulaiman Hasan, dengan penuh percaya diri
menyampaikan pendapat di muka forum yang dihadiri para ahli saat itu.
Selain itu, tentu saja keaktifan dirinya sebagai penasehat Lembaga
Adat Melayu (LAM) Tanah Pilih Pusako Batuah Kota Jambi dan sekaligus pengurus
LAM Provinsi Jambi, kian meyakinkan kita kesungguhan Datuk Sulaiman Hasan ikut
berkontribusi bagi pelestarian budaya dan adat Melayu Jambi.
Kemudian, selain
ikut berjasa memberikan sebutan adat untuk objek-objek tertentu di Kota Jambi,
beliau juga didapuk sebagai narasumber penyusunan Perda nomor 3 tahun 2014
Tentang Penetapan Hari Jadi Kota Jambi serta Perda nomor 4 tahun 2014 tentang
LAM Kota Jambi. Menariknya lagi, beliau menjadi salah satu tokoh yang ikut
memediasi polemik kepemimpinan Kesultanan Jambi yang baru. Beliau sempat
menceritakan hal ini kepada saya, tetapi tidak saya tuliskan dalam kesempatan
ini.
***
Jumat, 5 Juni 2020, sekira pukul 15.10 WIB, Datuk Sulaiman
Hasan meninggal dunia dalam usia 78 tahun. Meski berat bagi keluarga tetapi
mereka ikhlas menerima, apatahlagi setelah sebelumnya almarhum bolak-balik
berobat di Rumah Sakit. Nurmi Yakub, istrinya, menceritakan Datuk Sulaiman
terserang struk sejak akhir 2014. Sejak itu hingga meninggal beliau tak bisa
lagi berbicara dengan leluasa. Kondisi kesehatan beliau sempat turun-naik.
Bagi Nurmi Yakub, suaminya tipikal praktisi Adat yang tak
kenal lelah. Sakitlah yang membuatnya bisa istirahat. Selain itu, sebagian
hidupnya banyak diperuntukkan bagi pelestarian budaya dan adat Melayu Jambi.
Kediamannya kerapkali didatangi para peneliti dari dalam maupun luar negeri.
“Beliau selalu membuka diri. Sebagai istri tentu saya mendukung sepenuhnya,“
imbuhnya kepada saya tadi malam.
Tidak hanya peneliti, lanjutnya, pejabat
pemerintah Kota maupun Provinsi Jambi juga mengenal baik sosok Datuk. “Selain
pihak pemerintah daerah kerap mengundang Datuk ke berbagai forum diskusi,
mereka acapkali berkunjung ke rumah untuk meminta pandangan Datuk, dan bahkan
sekadar meminta dibuatkan pantun,” kenangnya.
Sebagaimana Nurmi Yakub, hal senada dikatakan Usman, ketua
pelaksana BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) wilayah Jambi, yang
kebetulan bersamaan dengan penulis takjiah ke kediaman almarhum tadi malam.
Bagi Usman, Datuk Sulaiman Hasan adalah salah satu tokoh adat yang menaruh
perhatian terhadap pelestarian adat di provinsi Jambi, terutama di Kota Jambi,
tempat beliau tinggal dan bekerja hingga menutup usia. “Yang tak banyak orang
tahu, selain aktif di bidang budaya, Datuk Sulaiman Hasan juga aktif bersama
AMAN sejak tahun 1999 memperjuangkan masyarakat Adat di provinsi Jambi hingga ke forum-forum
nasional, terlepas apapun latar belakang budaya dan agama masyarakat. “Dengan
segala kelebihan dan kekurangannya, Datuk Sulaiman adalah pelaku adat yang
tegas dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi,” ujarnya.
Tidaklah berlebihan rasanya, penasihat
Lembaga Adat Melayu (LAM) Tanah Pilih Pusako Batuah Kota Jambi ini disebut
kamus adat berjalan. Jam terbangnya di lapangan budaya dan adat tak diragukan
lagi. Ia terkadang mesti ke daerah-daerah yang terlibat konflik antar warga,
utamanya yang gagal diselesaikan melalui jalur hukum positif oleh penegak
hukum. Tak banyak lagi orang macam beliau ini.
Hanya tinggal hitungan jari,
salah satunya Datuk Azra’i Albasyari bergelar Depati Setio Junjung Peseko,
ketua LAM Adat Kota Jambi sekaligus Sekretaris Bersama Lembaga Adat Melayu
se-Sumatra, dan tentu saja sesepuh adat yang tinggal di Desa-desa di
Kabupaten/Kota dalam provinsi Jambi. Khasnya praktisi adat, pengetahuannya
tersimpan baik di dalam ingatan dan laku hidup.
Saya pikir ini tantangan kita
bersama, karena dari sedikit sesepuh adat di Provinsi Jambi, belum ada (kalau
bukan amat sedikit) karya tulis yang fokus menggali pemikiran dan pandangan
mereka. Namun demikian, saya yakin, sebagian pengetahuan yang mereka miliki,
sudah tertulis melalui banyak kajian yang dilakukan oleh peneliti, meski dengan
fokus yang beragam.
Saya tidak ikut mengantar Datuk Sulaiman ke tempat
peristirahatannya. Beliau dimakamkan lepas waktu Magrib, Jumat, 5 Juni 2020,
hanya berselang jam setelah dirinya menghembuskan nafas untuk terakhir
kalinya. Meski terdengar “keberatan” dari beberapa orang warga, dan mereka yang
mengetahui sepak terjang beliau di lapangan kebudayaan dan adat semasa hidup,
karena rasanya ingin bertemu dan memberikan penghormatan untuk terakhir
kalinya, tetapi pilihan keluarga untuk segera mengkebumikan beliau di hari yang
sama patut kita hormati.
"Keluarga ikhlas menerima. Maafkan bila ada kesalatan
Datuk semasa hidup. Insyallah kebaikan beliau tak akan pernah digantikan dengan
yang lain oleh Allah SWT. Terima kasih doa para kerabat dan mereka yang pernah
berinteraksi dengan beliau, sekalipun tak sempat menjeguk dan mengantar
almarhum sampai ke liang kuburnya,” ujar istrinya menutup pembicaraan.
Malam mulai larut. Usai bincang-bincang bersama Nurmi Yakub,
yang akrab disapa Nekno, istri Datuk Sulaiman Hasan, saya pamit. Dalam
perjalanan pulang, saya teringat kalimat menggugah penyair Mesir, Abd Al-Rahman
Shukri, “Hidup tak lain dari kematian demi kematian melulu. Kebaikan dan
kesenangan hanya pinjaman, lekas berlalu.” Selamat Jalan, Datuk. Bahagialah di
sisi Allah SWT. Amin.
*Tulisan ini terbit pertama kali di rubrik Sosok portal kajanglako.com pada 6
Juni 2020.
0 Komentar