ilustrasi |
Oleh:
Jumardi Putra*
“Civilizations
die from suicide, not by murder”. (Arnold J. Toynbee)
Praktik politik di negeri ini bagai
kerumuman orang-orang di pasar. Transaksi antar partai maupun elit politik
diwarnai “kegaduhan”. Para caleg maupun kandidat presiden-wakil terperangkap
dalam sangkar virtual. Di ruang terbuka, janji-janji 'serumpun padi' berhenti
pada simbol-simbol umum yang dikemas begitu rupa sehingga menjadi seolah-olah
program. Padahal hakikat simbol baluran itu tak lebih dari sekadar tebaran
slogan.
Saat yang sama, di tengah-tengah kesengsaraan kaum
miskin, di puncak piramida kita melihat banyak pula yang hidup dalam
kebahagiaan tanpa batas. Setidaknya dominasi kaum superkaya itu tercermin
dalam data penguasaan dana simpanan di perbankan. Dari sekitar Rp. 1.380
trilliun dana pihak ketiga di bank pada akhir Juli 2007, 80 persen dikuasai
hanya oleh 1, 82 persen pemegang rekening. Itu berarti dari 80, 3 juta pemegang
rekening di bank, 1, 47 menguasai 80 persen dana simpanan (www.investorindonesia.com).
Parahnya lagi, turbulensi kejiwaan keluarga miskin sekadar
menjadi komiditi di televisi dan acara berbungkus sosial lainnya. Bagaimana
dengan mitos desentralisasi, antitesa sentralisasi, yang diyakini mempercepat
dan memeratakan kesejahteraan? Tampaknya mitos tersebut perlu kita kritisi
ulang. Apa pasal? Telah lahir raja-raja baru dari Sabang sampai Merauke, yang
justru melumpuhkan prinsip demokrasi substansial. Sebut saja praktik korupsi
pemerintah daerah dewasa ini membuat kita mengurut dada. Kementerian Dalam
Negeri menyebutkan sejak tahun 2004 sampai Februari 2013 terdapat 291 kepala
daerah, baik Gubernur/Bupati/Wali Kota terjerat kasus korupsi.
Selain kepala daerah, angka korupsi juga merangkak
naik di kalangan politisi di DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Adapun anggota
DPRD Kabupaten/Kota tercatat sebanyak 431 orang dan DPRD Provinsi terhitung
2.545 orang. Tentu jumlah di atas diprediksi terus membengkak di tahun-tahun mendatang,
sebagaimana laporan Transparancy International yang menyebutkan Indeks Persepsi
Korupsi (Corruption Perception Index) Indonesia tahun 2013 berada di urutan 32
dengan perolehan ranking 114 di dunia dan 26 di Benua Asia.
Negara lain, yang notabene mendapat kemerdekaan (de jure) semasa atau setelah
Indonesia, justru berhasil keluar dari kemelut keterbelakangan, baik secara
ekonomi maupun pendidikan. Tidak berlebihan, bila Komarudin Hidayat mengibaratkan
negeri ini bagai pasien rumah sakit: “Di saat negara-negara tetangga sudah
keluar menjalani rawat jalan, bahkan sebagian sudah sembuh dari “wabah krisis
ekonomi”, tetapi kita masih telentang di ruang ICU atau Unit Gawat Darurat.”
Keadaan demikian mengingatkan saya pada ucapan
filusuf, penyair, dan sejarawan Johann Christoph Friedrich von Schiller, “Eine
Grosse Epochas Jahrhundert geboren, Aber der grosse moment findet ein kleines
Geschlecht” (Abadnya abad besar yang melahirkan zaman besar, tetapi momen
sebesar ini hanya mendapatkan manusia kerdil).
Mungkin pengibaratan di atas
terlalu tajam, tetapi begitulah keadaan pasca reformasi di republik ini. Faktanya betapa pun kalkulasi ekonomi yang disampaikan oleh pemerintah,
seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, dan investasi, yang mengalami
perbaikan, tetapi pelaku usaha kecil dan masyarakat sipil umumnya merasa tidak
merasakan langsung dampaknya.
Oleh karena itu, Pemilu Presiden 2014 yang sudah
depan mata ini memunculkan pertanyaan, akankah kita sebagai bangsa punya kemampuan
belajar terhadap pelbagai kegagalan pemerintahan sebelumnya? Jika Pemilu kali
ini tidak menghasilkan kepemimpinan yang memiliki visi jauh ke depan, jujur,
bersih, solid, dan keras bekerja, tentu pekerjaan rumah yang sangat berat itu
sulit dipikul lagi.
Itu artinya, masing-masing kita menaruh harapan besar,
Pemilu kali ini dapat menampilkan kepemimpinan nasional, sebagaimana
digambarkan budayawan Mohammad Sobari (2006) berikut ini, “Pemimpin yang bisa
membangun kepercayaan seluruh rakyatnya, bahwa Indonesiaku bukan hanya milikku,
melainkan juga Indonesiamu, milikmu. Indonesiaku pelan-pelan kita dirikan di
atas impian-impian dan aspirasi kultural yang sangat beragam, penuh variasi,
penuh nuansa, dan membuat kita kaya bagaikan taman bunga yang semarak dan harum
dalam benak dan alam ideal kita.”
Selanjutnya, rakyat sendiri harus mampu menunjukkan
dirinya sebagai masyarakat yang tidak gampang terpukau oleh retorika politik
kaum politisi atau pun partai yang hanya memperdagangkan janji-janji kosong. Kenapa
hal itu menjadi penting? Agar penyelenggara pemilu (KPU) atau pun lembaga survei tidak hanya menjadi kalkulator bagi partisipasi warga. Dengan kata lain,
kita tidak mau, suara rakyat, untuk lima tahun periode kekuasaan, digunakan
para elit yang hanya mementingkan diri dan kelompoknya.
Relevan kita merujuk refleksi budayawan
Radhar Panca Dahana (2013) berikut ini, “Wahai saudara-saudara pemegang kuasa
dan kebijakan, jadilah juga penguasa kebajikan, jadi tuntunan dan acuan, jadi
otoritas yang membanggakan, di mana pundak Anda sudah kami perkuat dengan
seluruh sumber daya yang kami miliki, agar kami bisa bersandar saat kami butuh
bimbingan dan semangat. Dan, di situlah saatnya kita bersama. Bekerja sama,
tidak untuk kita saja, tapi juga untuk anak, cucu, buyut yang lahir dari rahim
kebangsaan kita.
* Tulisan
ini terbit pertama kali di portal LPM ARENA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun
2014 (lpmarena.com).
0 Komentar