Tari Niti Mahligai-Kerinci. Sumber foto: Tribunjambi |
Oleh: Jumardi Putra*
Bertempat di gedung Procenium Taman Budaya Jambi
(TBJ), Tim Kesenian Kabupaten Kerinci menyuguhkan pergelaran seni pertunjukan
yang diberi tajuk Bumi Sakti Alam Kerinci. Kegiatan tersebut merupakan
rangkaian sebagai Duta Kesenian Provinsi Jambi, yang akan mengikuti Pentas Tari
Nasional di Tenggarong Kalimantan Timur, pada 17 Juni 2011.
Salah satu tarian yang mencuri perhatian pentonton
malam itu adalah Niti Mahligai. Tarian itu diangkat dari akar tradisi
Proto-Melayu Kerinci yang bernuansa magis, sehingga tepat malam apresiasi
tersebut diberi tajuk "Bumi Sakti Alam Kerinci." Selain tari Niti
Mahligai, juga disajikan garapan pertunjukan yang berakar kuat dari tradisi
Kerinci lainnya, seperti Mindulahin dan Sekintang Dayo.
Usai pementasan, di tempat yang sama, Dewan Kesenian
Jambi (DK-Jambi) mengadakan dialog apresiasi seni. Hadir sebagai penanggap dari
DKJambi, yaitu Budayawan Jafar Rasuh, Musisi Wiro A. Sani, Koreografer Darwan
Asri, Ketua Harian DK-Jambi Naswan Iskandar, dan Ali Siwon sebagai Ketua
Asosiasi Pengusaha Tour & Travel Indonesia (Asita), serta para pecinta seni
budaya Jambi lainnya. Berikut petikan diskusi berdasarkan pantauan penulis.
Seni pertunjukan adalah artikulasi berkesenian yang
disajikan dalam format pementasan. Kategori itu diperlukan karena seringkali
artefak kebudayaan spesifik yang kita kenal dalam bentuk tarian, nyanyian,
ornamen, dan sebagainya merupakan bagian utuh dari suatu pentas pertunjukan.
Seni performance biasanya melibatkan empat unsur: waktu, ruang, tubuh si
seniman, dan hubungan seniman dengan penonton.
Meskipun seni performance bisa juga dikatakan
termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan seni mainstream seperti teater, tari,
musik dan sirkus, tapi biasanya kegiatan-kegiatan seni tersebut pada umumnya
lebih dikenal dengan istilah seni pertunjukan. Mendasari hal itu, Jafar Rassuh
mengatakan sebagai seni pertunjukan, sepilihan tarian yang ditampilkan pada
malam apresiasi tersebut masih jauh dari sempurna. Secara umum, ada beberapa hal
yang patut dipikirkan secara serius, manakala tarian melibatkan bermacam
instrumen, seperti tata panggung, pencahayaan, musik, dan instrumen teknis
lainnya. Begitu juga dari aspek kekaryaan yang mesti didukung kreativitas serta
inovasi.
“Seluruh penari tampak atraktif di atas pentas,
tetapi ruh tariannya hilang, lantaran pesan yang ingin disampaikan kepada
penonton tidak sejalan dengan yang senyatanya muncul di atas pentas,” imbuhnya.
Selanjutnya, sebagai sarana komunikasi, tari
memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Di berbagai acara, tari
dapat berfungsi menurut kepentingannya. Masyarakat membutuhkan tari bukan saja
sebagai kepuasan estetis, melainkan juga sebagai sarana upacara agama dan adat.
Dalam konteks itu, tari niti mahligai masih berada di ranah ritual, sehingga
tidak dijumpai adanya upaya dekonstruksi. Apabila disimak secara khusus, tambah
Ja’far, tari membuat seseorang tergerak untuk mengikuti irama tari, gerak tari,
maupun unjuk kemampuan, dan kemauan kepada umum secara jelas. Karena tari
memberikan penghayatan rasa, empati, simpati, dan kepuasan tersendiri terutama
bagi pendukungnya.
Hal semacam itu, sebagai seni pertunjukkan, memerlukan
pembaruan di sana-sini, tidak lagi mapan dalam kungkungan tradisi lama, yang
hanya menghasilkan kejumudan lantaran berhenti pada pengulangan-pengulangan.
Jika demikian halnya, meminjam pendapat Suka Hardjana (2004), “maka tugas seni
kontemporer haruslah mampu membangun “kesinambungan” proses membuat kesenian
tradisi agar selalu menemukan nilai-nilai barunya; agar ia hadir bukan sebagai
barang antik kehidupan modern, tetapi sebagai cermin proses sejarah dan sebagai
roh tindak laku kontemporer. Di sini tampak jelas, apa yang menjadi misi seni
kontemporer tidak lain adalah membantu masyarakat modern menemukan kembali
kesadarannya.”
Khusus tari, koreografer Darwan Asri, menjelaskan
kesenian merupakan sesuatu yang hidup senafas dengan mekarnya rasa keindahan
yang tumbuh dalam sanubari manusia dari masa ke masa. Seni diciptakan untuk
melahirkan gelombang kalbu rasa keindahan dan merupakan kreasi bentuk-bentuk
simbolis dari perasaan manusia, dalam hal ini, seni tari adalah keindahan
ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan berbentuk gerak tubuh yang diperhalus
melalui estetika.
Menurutnya, secara teknis pertunjukan, ada hal yang
perlu dimatangkan oleh tim kesenian Kabupaten Kerinci. Transformasi nilai tari
dalam diri masing-masing penari dinilai belumlah maksimal. Di antara banyak
penari, sedikit kita menemukan sosok penari yang betul-betul menjiwai perannya.
Padahal, menari bukan semata-mata gerakan fisik, tetapi ada proses transformasi
nilai kepada penontonnya. Ditambahkan olehnya, menyangkut hubungan musik dan
gerak anggota tubuh yang selaras dengan bunyi musik adalah tari. Irama musik
sebagai pengiring dapat digunakan untuk mengungkapkan maksud dan tujuan yang
ingin disampaikan pencipta tari melalui penari, sehingga yang diperlukan adalah
setiap tari membutuhkan jenis musik tertentu.
Dalam kaitan itu, lagu yang digunakan adalah lagu
yang benar-benar mewakili maksud yang tersembunyi dalam tarian tersebut.
“Jangan sampai ada pemahaman, ketika membawakan tari daerah, maka cukup
mengunakan lagu daerah, apapun jenisnya, yang penting lagu daerah! Hal semacam
itu, patut diperhatikan secara serius. Maka, idealnya, setiap tari menghasilkan
musik (lagu) baru tersendiri,” tegasnya.
Melengkapi pendapat keduanya, musisi Wiro A. Sani,
memberi catatan dalam pementasan tersebut masih ditemui kejanggalan, yaitu pada
penampilan tari niti mahligai, penonton disuguhkan kehadiran tim pembantu, yang
bertugas menyediakan alat pertunjukan, seperti kaca, pisau, arang, dan
lain-lain, yang hadir berulangkali saat tarian sedang berlangsung.
“Seyogyanya hal-hal semacam itu sudah dipikirkan
sejak awal pementasan, sehingga tidak mempengaruhi dinamika tarian yang sedang
diperankan oleh masing-masing penari,” kilahnya.
Hal lain ditambahkan oleh Naswan Iskandar. Dalam
wujudnya, seni tari memiliki dua peruntukan, di satu sisi, seni tari sebagai
ritual sekelompok masyarakat dan seni tarisebagai pertunjukan yang melibatkan
alat pendukung modern. Sudah barang tentu keduanya memiliki prasyarat yang
berbeda. Ia menambahkan, sebagai ritual, tentu tidak dalam kerangka
pertunjukan, melainkan sebagai perwujudan totalitas hubungan manusia dengan
alam dan manusia dengan Sang pencipta.
Menurutnya, tarian Niti Mahligai diangkat dari
tradisi dan ritual masa lampau pra-Islam di Kerinci yang kental sekali bau
magisnya. Pertunjukan itu merupakan gabungan dari tari, silat, tawa (mantra),
dan mercok (atraksi debus Kerinci). Dalam hal ini, tentu ketetapan sebagai
ritual merupakan keniscayaan untuk dijaga dan terus dilestarikan. Diakuinya,
yang ditampilkan pada malam apresiasi tersebut masih dalam kerangka ritual,
meski terkadang beredar anggapan keliru di antara penari yang menganggap bahwa
mereka sedang mementaskan seni pertunjukkan. Sehingga massage yang terkandung
di baliknya tidak sampai kepada penonton.
Lalu, dalam konteks seni pertunjukan,
niti mahligai merupakan seni yang mentransendenkan cita-cita masyarakat
kekinian melalui ikatan batin yang dijalinkan lewat sebuah pertunjukan. Di
samping itu, juga menjadi alat ekspresi persoalanpersoalan dan harapan-harapan
masyarakat antara masa lalu, kini, dan masa yang datang.
Akhirnya, meminjam pendapat Soedarsono Esthu
SaTjiptorahardjo, Guru tetap pada Bengkel Teater Rendra (2007), “Sebagai seni
(pertunjukan) kontemporer, maka tugas seni kontemporer tak lain adalah
mengenali, menggali, merekonstruksi, menganalisis, mengartikulasikan,
mengkritik, mengapresiasi, mengemas, dan memediakan apa yang tengah menjadi
kegelisahan masyarakat modern, untuk paling tidak, dicarikan jalan tengah, via
media aura, melalui penyingkapan.”
*Tulisan ini terbit pertama kali di buletin
Tembilang, Dewan Kesenian Jambi (2011).
0 Komentar