Oleh: Jumardi Putra*
Bagi pecinta buku, lebih-lebih buku-buku lama, Hottong adalah
salah satu alternatif toko buku yang patut dikunjungi. Beberapa hari lalu saya
menyempatkan singgah di toko buku tersebut yang beralamat di pusat perekonomian Kota
Jambi, tepatnya di pasar Rawasari, jalan Iskandar Muda Nomor 63.
Lawatan ini
bukan kali pertama sejak saya ketahui keberadaannya pada tahun 2012. Medio
2017, saya sempat bercakap-cakap dengan pemilik toko buku Hottong, dan berharap
yang bersangkutan berkenan menjadi salah satu narasumber dalam dialog Beranda
Budaya TVRI Jambi dengan tajuk Kota dan Buku, dimana ketika itu saya dipercaya
menjadi pemandu acaranya, tetapi gayung belum bersambut.
"Saya merasa
kikuk tampil di layar kaca," begitu kelakarnya pada saya tiga tahun yang
lalu.
Hottong resmi menjadi nama toko buku pada tahun 1989,
setelah dua tahun sebelumnya memakai nama Nelson, tidak lain dari nama
pemiliknya. Bahkan, papan nama bertuliskan toko buku Nelson masih terpampang
menggantung di lorong masuk pemisah antara rak dan lapak buku dengan ruangan
keluarga di ruko yang ditempatinya sekarang.
Sebelum terjun berbisnis buku, pria asal Sumatra Utara ini
pernah bekerja sebagai karyawan toko buku di Jakarta selama hampir 2 tahun
(1985-1987). Pada akhir 1987 ia memilih merantau ke Kota Jambi sembari memulai
bisnis buku kecil-kecilan dalam bentuk membuka lapak kaki lima di kawasan pasar
Angso Duo.
Dua tahun berjalan usahanya mulai menunjukkan geliat cukup berarti.
Ia yang semula membuka lapak di pinggir jalan mulai mengembangkan sayap bisnis
buku dan pindah ke sebuah ruko pada tahun 1989 di alamat yang ia tempati
sekarang. Meski sempat berpindah ruko dua kali, tapi lokasinya masih berada di
alamat yang sama.
Anda tak perlu membayangan toko buku Hottong ini laiknya
Gramedia yang berada di Jalan Sumantri Brojonegoro Nomor 52, Solok Sipin,
Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi. Perbedaan antara keduanya amat jelas. Ruangannya
sumpek dan sedikit sempit untuk seukuran toko buku, dan ditambahlagi tidak
tersedia meja maupun kursi bagi pengunjung yang ingin sekadar membaca maupun
beristirahat. Begitu juga jumlah koleksi buku milik Hottong jelas tak sebanding
dengan Gramedia yang dibangun pada 3 Desember 2007 itu.
Tetapi kenapa toko buku Hottong kerap dikunjungi warga
sampai sekarang, bahkan datang dari luar Kota Jambi, sebut saja dari daerah
Bahar, Muarojambi, dan Sabak, Tanjung Jabung Timur? Diakui Nelson, selain
karena koleksi bukunya, terutama buku-buku bekas dan terbitan tahun lama, juga
harganya yang terjangkau.
“Paling banter harga tertinggi di kisaran Rp. 150.000
(dengan catatan buku-buku kedokteran, ekonomi-bisnis, dan hukum yang
berjilid-jilid) dan harga terendah dimulai dari Rp. 8000 per judul buku,” imbuh
lelaki tambun ini.
Koleksi buku di toko Hottong ini terbilang beragam dan
semuanya didatangkan dari Jakarta Pusat. Baik karya fiksi maupun non fiksi.
Sebut saja seperti majalah Tempo, Majalah Pantau, Majalah Gatra, kamus bahasa
Asing, tabloid kecantikan, ilmu fisika, pendidikan, seni budaya, pertanian,
hukum, buku masak, dan yang tak kalah menarik, majalah misteri maupun primbon.
Begitu juga pengunjung akan mudah menjumpai komik, cerita silat, cerita rakyat
Nusantara, dan juga bacaan dewasa seperti Fredy S dan sejenisnya. Selain karya
terjemahan, juga tersedia buku-buku pembelajaran untuk satuan pendidikan dasar,
menengah hingga perguruan tinggi, tak terkecuali literatur kesehatan dan motivasi.
Sedangkan ketersediaan karya fiksi berupa novel, untuk menyebut beberapa nama
penulis, seperti Pramoedya Ananta Toer, Marah Rusli, A.A Navis, Andrea Hirata,
Habiburrahman Elsyirazi, Asma Nadia, Tere Liye, dan yang paling kiwari Boni
Chandra. Sayangnya, novel-novel tersebut umumnya adalah produk bajakan (untuk
menyebut bukan orisinal).
Saya sendiri tergiur ingin membeli buku-buku fiksi tersebut
lantaran harganya miring, tetapi saya urungkan dikarenakan bajakan. Buku-buku
KW tersebut jelas menghambat perkembangan industri buku di tanah air, dan tentu
saja bagi penulis yang dalam tata niaga perbukuan adalah pihak yang belum
mendapatkan apresiasi yang layak hingga sekarang. Begitu juga bagi
penerbit-penerbit kecil dengan modal terbatas yang konsisten menghasilkan
buku-buku bermutu baik.
Sepengamatan saya, tidak semua buku di toko Hottong produk
KW. Masih lebih banyak produk orisinal ketimbang KW dari segi jumlah. Pada
kunjungan tersebut saya memilih membeli Pantau, majalah dengan khas liputan
bergenre jurnalisme sastrawi, edisi Nomor 3 Februari tahun 2004 dan buku karya
Agus Santosa, berjudul Memoar Biru Gie (Soe Hok-Gie), aktivis dan penulis
produktif (1942-1969), adik dari Soe Hok Djin, yang kelak dikenal dengan nama
Prof. Arief Budiman.
Mendapatkan buku-buku bagus semacam itu di kota yang belum
banyak toko buku, dan dari sedikit toko buku itu pula tidak semuanya menjual
buku-buku bermutu, adalah kepuasan tersendiri.
Menurut pak Nelson, tidak mudah berbisnis buku sekarang ini,
apatahlagi di tengah menjamur dan kian mudahnya akses terhadap literatur
digital. Bahkan, tidak sedikit toko buku di Kota Jambi baik sebelum, semasa dan
setelah dirinya memulai bisnis buku berakhir gulung tikar. Namun demikian, pak
Nelson tak patah arang. Puluhan tahun memilih profesi sebagai penjual buku
cukup menjadi alasan baginya konsisten di jalur ini dan terus menerus berpikir
keras untuk bertahan agar terus berkembang.
Menimbang situasi pandemi korona sekarang ini, kepada Dila,
karyawati pak Nelson saya bertanya, adakah pengaruh terhadap penjualan buku.
“Iya Bang. Pengunjung sangat sedikit yang datang. Otomatis penjualan menurun.
Tetapi perlahan-lahan, bersamaan dengan masa “new-normal” sekarang ini,
pengunjung mulai berdatangan,” ujarnya.
Demikian penggalan riwayat toko buku Hottong. Salah satu
toko buku tua yang masih bertahan di tengah menjamurnya toko-toko buku baru
lainnya baik di Kota Jambi maupun di Kabupaten/Kota dalam provinsi Jambi yang
jumlah keseluruhannya sampai sekarang mencapai 59 toko buku (merujuk data yang
termaktub di laman web berikut ini:
https://palingmenarik.name/market/2018/01/lengkap-murah-toko-buku-di-jambi.html).
Akhirnya, melawat ke toko buku Hottong ini, meski
belum disertai fasilitas yang memadai bagi pengunjung, menjadi menarik
karena sejarah sang pemilik, koleksi buku yang dijual, dan tentu saja harganya
yang miring.
*Kota Jambi.
0 Komentar