Oleh:
Jumardi Putra*
Desember
1989 beredar sebuah draf buku berjudul "Jambi dalam Sejarah Nusantara,
692-1949 M". Naskah setebal 600 halaman itu ditulis oleh A. Mukty
Nasruddin, seorang veteran kelahiran 1925 di Guruntuo, Kabupaten Sarolangun Bangko
(sekarang masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Sarolangun).
Di
tengah minimnya literatur sejarah Jambi, karya mendiang A. Mukty yang mencatat
perjalanan Jambi dari masa ke masa selama 13 abad ini kerap dirujuk para
sarjana baik dari dalam maupun luar negeri, untuk menyebut contoh, seperti
sejarahwan Elsbeth Locher-Scolten dalam bukunya, “Sumatraans Sultanaat en
Koloniale Staat: De Relatie Djambi-Batavia (1830-1907)" (Leiden, 1994),
Fiona Kerlogue dalam "Kinship and Food in South East Asia" (Nias
Press, 2007), dan Lindayanti, dkk, dalam bukunya “Jambi dalam Sejarah 1500-
1942 M” (Disbudpar Jambi, 2013).
Sepembacaan
penulis, baik pada beberapa buku tentang sejarah Jambi maupun melalui
penelusuran sumber literatur digital, belum ada tulisan yang secara khusus
membahas sosok A. Mukty Nasruddin. Siapa sesunggunya sosok ini selain seorang
veteran? Apatahlagi almarhum A. Mukty Nasruddin ini disebut-sebut memiliki
hubungan darah dengan Pakubuwono III, yang makamnya sekarang berada di Desa
Lubuk Landai, Kec. Tanah Sepenggal Lintas, Kabupaten Bungo.
Mencari tahu keberadaan pihak keluarga almarhum menjadi pilihan yang tidak
terelakkan bagi penulis untuk mulai menyusun jejak sejarah sosok yang
juga memiliki hubungan baik dengan tokoh sekaliber Syafruddin Prawiranegara, seorang pejuang kemerdekaan, Menteri, Gubernur Bank Indonesia, Wakil Perdana Menteri dan pernah menjabat sebagai pemimpin tertinggi di Indonesia dalam masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia pada 19 Desember 1948.
Menimbang mendiang A. Mukty Nasruddin (PKRI. NPV. 5000. 930) dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan (TMP) Satria Bakti, yang berlokasi di Tambak Sari, Kec.
Jambi Selatan, Kota Jambi, maka selain kepada juru rawat TMP, pilihan bertanya ke Dinas
Sosial Provinsi Jambi masuk akal untuk mendapatkan informasi keberadaan pihak
keluarga almarhum, tetapi nyatanya tak cukup membantu. Waktu terus berjalan,
sosok A. Mukty Nasruddin masih menjadi tanda tanya.
Penulis sempat bertanya
pada budayawan Junaidi T. Noor maupun sejarahwan Fakhruddin Saudagar, tapi
hingga keduanya tutup usia, keberadaan pihak keluarga A. Mukty Nasruddin belum
penulis ketahui pasti.
***
Berkat bantuan Pak Hendri Mansur, niat penulis bertemu pihak
keluarga almarhum sejak lima tahun lalu akhirnya terealisasi. Penulis
dipertemukan dengan pak Perri Muhyiddin, anak kedelapan dari sebelas bersaudara
buah pernikahan A. Mukty Nasruddin dengan istrinya, Asyiah bin
Syamsudin. A. Mukty Nasruddin meninggal dunia dalam usia 68 tahun pada 1992.
Sementara istrinya, Asyiah bin Syamsudin, meninggal pada usia 86 tahun dan
dikebumikan di TPU Sukarejo, kota Jambi.
Pertemuan
kami berlangsung malam hari di rumah saudari bungsu pak Perri Muhyiddin, yaitu
Ibu Sri Mulyati, yang berada di perumahan Arta Uli, 2, Pal Merah Lama, Kota
Jambi. Pak Perri Muhyiddin sekeluarga sudah menetap lama di Kota Bandung. Pada
kesempatan inilah pertama kali penulis melihat foto wajah almarhum A. Mukty
Nasruddin, lengkap memakai peci hitam, jas putih dan dilengkapi dengan lencana
dan Bintang Gerilya.
Berikut
wawancara penulis (P) bersama pak Perri Muhyiddin (PM) tentang sosok mendiang A. Mukty Nasruddin semasa hidup.
P:
Bagaimana sosok A. Mukty Nasruddin di mata keluarga?
PM: Almarhum adalah pribadi yang taat beragama, tegas, disiplin, dan humoris.
Semasa hidup beliau mudah bergaul dengan siapa saja. Baik ketika masih di Gurun
Tuo, Merangin, hingga beliau bekerja di Kuala Tungkal, dan mengisi hari-hari
tua bersama istrinya di daerah Sukorejo, Kota Jambi. Ia senang bergaul dengan
banyak orang. Beliau hidup sederhana. Kami, anak-anak dari almarhum, merasakan
kehidupan yang sulit, tidak sebagaimana umumnya anak-anak pejabat pemerintah
daerah di masa itu.
P:
Bagaimana posisi almarhum di hadapan birokrasi dan pemerintahan provinsi Jambi?
PM:
Prinsipnya beliau bisa bergaul dengan siapa saja. Tak pandang pejabat atau
rakyat biasa. Namun beliau bersikap tegas bila pemerintah maupun DPRD tidak
menjalankan fungsinya, lebih-lebih masa Orde Baru, dan almarhum ikut memberikan solusi langsung kepada Gubernur. Meski Gubernur Jambi berganti-ganti tidak
membuat beliau tergiur kembali ke dunia politik di Jambi. Sejak tahun 1949
sampai meninggal dunia almarhum tidak lagi bekerja di pemerintahan.
Saya
ingat salah satu momen, yaitu sambutan Gubernur Jambi, Abdurrahman Sayoeti, di
hadapan jenazah almarhum di kediaman orang tua kami di Sukarejo pada tahun
1992. Abdurrahman Sayoeti mengatakan “Inilah Abang sebenar-benarnya Abang sayo.
Ia datang menunjukkan kesalahan saya dan menunjukkan kebenaran pada saya.
Beliau tidak berharap apapun dari saya!”.
P:
Bagaimana riwayat pendidikan A. Mukty Nasruddin?
PM:
Dalam masa penjajahan Belanda, almarhum menamatkan pendidikan Hollandsch
Inlandsche School (HIS), hampir sama dengan Eurospeesch Lagere School (ELS).
HIS adalah jenjang untuk sekolah dasar. Yang membedakan antara ELS dan HIS,
adalah kelas sosial siswanya. ELS untuk keturunan Belanda, sedangkan HIS
diperuntukkan keluarga Bangsawan dan keluarga tokoh ternama. Selepas HIS, A.
Mukty Nasruddin melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) adalah
Sekolah Menengah Pertama pada zaman pemerintah kolonial Belanda di Indonesia.
P:
Almarhum terlibat aktif di organisasi apa saja semasa hidup?
PM:
Di zaman Hindia Belanda, almarhum pernah aktif di Kepanduan/Pramuka "Nederlands-Indische
Padvinders Vereeniging" (NIPV) di Jambi/Jakarta. Sementara zaman Jepang ia
tergabung dalam Seinendan (Barisan Pemuda). Berlanjut di zaman kemerdekaan
aktif di organisasi kepemudaan bentukan veteran, “Voor Onze Jeugd" (VOJ),
untuk kawula muda atau "Varia Orang Jauhari", dan selanjutnya
tergabung ke dalam Gerakan Pemuda Islam
Indonesia (GPI) di Jambi, aktif di “Masyumi” Jambi sebagai sekretaris wilayah,
dan aktif di Lembaga Adat Provinsi Jambi.
P:
Apa saja jabatan yang pernah diamanahi kepada A. Mukty Nasruddin semasa hidup?
PM:
Beliau pernah menjadi kepala sekolah dasar (Hutsuko Gakkoco) di kampungnya dan
mengajar di Madrasah Tsaqafah di Gurun Tuo, Merangin. Beliau juga pernah
diminta warga ikut pemilihan Pasirah di Guruntuo, tapi gagal. Selain itu,
almarhum terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melawan penjajah Belanda
di Jambi.
Almarhum pernah dipercaya sebagai staf Biro Organisasi Resimen 16
Jambi (1946-1947), kepala evakuasi merangkap wakil kepala Seksi Politik/Ekonomi
dan Sosial Intelligence Service Sub Jambi Hilir di Kualatungkal (1948), dan
kepala Seksi Poleksos D.III (Jawatan Tungkal Area) merangkap kepala Suplai
Angkatan Perang (1949).
Ada
cerita menarik yang selalu dikenang. Ketika saya masih SMP, almarhum Bapak
menceritakan langsung ke saya, “Tahun 1954 saat Wakil Presiden Bung Hatta dari
Bukittingi menuju Merangin, dalam perjalanan melewati Desa Guruan Tuo, diminta
oleh bapak saya berhenti dan keluar dari Mobil lalu menyampaikan pidato di
hadapan anak didiknya dan warga setempat. Itulah momen istimewa, dan sekaligus
pertemuan pertama kali antara Bung Hatta dengan A. Mukty Nasruddin, seorang
Guru SD lulusan HIS dan MULO.
P:
Apa pekerjaan almarhum setelah tidak lagi di Militer?
PM:
Demi menafkahi keluarga, tokoh yang pernah dipercaya menjadi sekretaris wilayah
Masyumi Batanghari tahun 1950 ini pernah bekerja sebagai bendahara di kantor
Merpati Arlines pada tahun 1980-1986 dan bekerja sebagai manajer OPS (Oesaha
Perusahaan Swasta) pelayaran Niaga, dan Direktur Hotel Sambu (Samsoedin Bujang
pada tahun 1960an) di Kebun Jahe. Kemudian,
almarhum sempat bergabung ke PPP di Jambi (antara tahun 1978-1989). Selain di
bidang pertahanan, almarhum pernah sebagai dosen luar biasa di Fakultas Hukum
dan sejarah STIKIP antara tahun 1970-1977 (berubah menjadi Universitas
Batanghari sejak 1985).
P:
Apakah Anda menyaksikan almarhum saat menulis draf buku “Jambi dalam Sejarah
Nusantara, 692-1949 M”?
PM:
Saya menyaksikan secara langsung ketika almarhum menulis buku itu. Buku
tersebut dikerjakan almarhum selama hampir lima tahun (1985-1989). Buku dengan
tebal 600 halaman itu mengangkat sejarah Jambi dari masa kerajaan bercorak
Hindu-Budha hingga masukya Islam dengan ditandai Kesultanan dan dipungkasi
periode revolusi kemerdekaan di Jambi.
Usahanya ketika itu, selain mengumpulkan
beragam sumber literatur, tak terkecuali literatur berbahasa Belanda dan
Inggris, juga kegigihannya menemui sumber informan yang betul-betul menjadi
pelaku sejarah, seperti cucu Sultan Taha Saifuddin dan anak buah Sultan Taha
Saifuddin dalam masa perang melawan Belanda. Bisa dicek di buku tersebut.
P
: Apa hobi Pak A. Mukty Nasruddin?
PM
: Almarhum penyuka buku, menonton sepak bola dan suka menyanyi.
P
: Masih terawat koleksi buku-buku peninggalan almarhum?
PM
: Itulah persoalan kami, buku-buku tersebut terserak di beberapa sanak saudara
kami. Saya akan mencoba menulusuri kembali. Semoga masih ada.
P:
Mengingat pentingnya isu buku karya almarhum, adakah rencana dibukukan?
PM:
Saya, mewakili pihak keluarga sedang menulis ulang draf buku almarhum. Memang
ada niat untuk membukukannya secara utuh. Tidak dikurangi dan ditambah, kecuali
perbaikan tata bahasa dan penulisan serta pengantar oleh ahli sejarah. Semoga
pemerintah Provinsi Jambi tergerak untuk membukukan naskah ini sehingga bisa
diakses oleh anak-anak sekolah hingga perguruan tinggi, khususnya di provinsi
Jambi.
Demikian
wawancara saya bersama pak Perri Muhyiddin. Dalam perjalanan pulang penulis
teringat penggalan kalimat menarik dalam sekapur sirih A. Mukty Nasruddin di
bukunya “bagaikan mentari yang menyinari rembulan, cahayanya menimpa
laut, dimana kilauan air itulah yang mampu penyusun sajikan”. Saya pikir yang diharapkan oleh almarhum sudah tercapai. Tidak sedikit para sarjana
mendapatkan manfaat dari buku yang ditulisnya.
Penulisan sejarah oleh A. Mukty Nasruddin ini sesungguhnya menjawab apa yang pernah disampaikan sejarahwan Dr. Jang Aisyah Muttalib
pada ceramah ilmiahnya dalam rangkaian HUT Provinsi Jambi tahun 1986, dimana A.
Mukty Nasruddin dan Jang Aisjah Muttalib bersua, yaitu bahwa “Sesuatu
daerah yang tidak memiliki sejarah daerahnya sendiri, menunjukkan seakan daerah
itu belum matang dan dianjurkan agar putra/i daerahnya berusaha menulis sejarah
daerahnya secara ilmiah.
*Tulisan ini terbit pertama kali di rubrik sosok portal kajanglako.com pada tanggal 1 Agustus 2020.
0 Komentar